Oleh: Smith Alhadar
BELUM pernah ada presiden Indonesia yang demikian tak punya wibawa di mata sebagian publik kecuali Jokowi. Yusril Ihza Mahendra pernah menyebutnya presiden goblok, dan Rocky Gerung bilang dungu.
Sejumlah pakar politik dari luar mendeskripsikan Jokowi inkompeten dan tak punya kapasitas untuk memimpin negara. Dengan kata lain, mereka menganggap Jokowi tidak cerdas. Tapi bukan hanya orang luar yang melecehkannya, Jokowi sendiri mengatakan dirinya tidak pintar. Diakui IPK-nya di bawah 2.
Memang tidak mungkin seseorang punya wawasan luas kalau tidak suka membaca buku sebagaimana Jokowi. Ia mengaku hanya suka membaca komik Ko Ping Ho dan Sinchan. Tidak pernah membaca literatur sejarah dan politik.
Kalau mereka menganggap Jokowi tidak kompeten, sangat tepat. Itu terlihat dari ketidakmampuannya mengelola negara. Sejak memimpin pada 2014, demokrasi, korupsi, dan HAM Indonesia memburuk. Demikian juga pengentasan kemiskinan dan pelayanan sosial. Dan di masa krisis pandemi Covid-19 ini keidakmampuannya mengurus negara terlihat mencolok.
Beleid-beleid yang dikeluarkan untuk menanggulangi corona simpang-siur, berubah-ubah, dan tidak efektif. Bahkan, culas. Atas nama perang terhadap Covid-19, ia mengeluarkan Perppu No 1 Tahun 2020 yang memungkinkan negara berutang lagi hingga 60 persen dari PDB, melebarkan defisit melebihi 3 persen, merampas hak budgeting DPR, dan membuka peluang lebar-lebar bagi terjadinya penggarongan uang negara oleh para pejabat.
Semua itu melanggar UU dan konstitusi. Belum lagi RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang mendahulukan kepentingan investor ketimbang buruh, dan RUU Minerba yang memberi peluang bagi pemodal untuk mengeksploitasi lingkungan.
Demi investor, persyaratan amdal dalam mengelola tambang mineral dan batubara dikesampingkan. Lalu, Jokowi membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya TKA Cina di saat buruh lokal kehilangan pekerjaan.
Keculasan Jokowi juga terlihat dari upaya melemahkan KPK di tengah masih tingginya korupsi. Akibat pelemahan itu, KPK tidak dapat mengusut kasus-kasus korupsi yang terjadi di depan mata, terutama skandal megakorupsi Jiwasraya dan Asabri. Belum lagi puluhan janji Jokowi selama kampanye yang belum ada satu pun yang dipenuhi.
Bertumpuknya kesemrawutan dan keculasan yang terjadi saat ini bersumber dari inkompetensinya. Negara diatur oleh kaum oligarki dan dikendalikan oleh LBP. Ia hanya tinggal menandatangani beleid-beleid pemerintahan tanpa ia fahami. Omongannya yang tidak kredibel dan perintahnya yang tidak realistis menggambarkan ketidakmampuannya.
Maka, kita menyaksikan bermunculannya permintaan agar Jokowi mengundurkan diri. Salah satunya yang viral dan menjadi perbincangan publik belakangan ini datang dari mantan prajurit infantri Ruslan Buton. Ia ditangkap di kampung halamannya (Buton, Sultra), dibawa ke Jakarta, dan langsung dijebloskan ke penjara.
Selain permintaan Jokowi mundur dilakukan secara pribadi, Ruslan juga memimpin Yayasan Eks Prajurit Trimarta Nusantara yang menghimpun ratusan eks prajurit TNI. Organisasi ini juga mengirim surat terbuka kepada Jokowi memintanya mundur dari jabatannya selaku presiden.
Mestinya Ruslan tidak dihukum karena pasal penghinaan terhadap presiden telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Permintaan agar Jokowi mundur juga konstitusional. Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum dari Universitas Trisakti, berpendapat, apa yang dikatakan Ruslan belum bisa dikualifikasi sebagai tindak pidana. Ia hanya menyampaikan aspirasi. Menurut Refly Harun, pakar hukum tata negara, meminta presiden mundur itu tidak apa-apa dalam demokrasi.
Bahkan, menurutnya, aksi publik menggelar diskusi atau demonstrasi meminta presiden turun adalah hal yang diperbolehkan dalam iklim demokrasi. Dus, apa yang dilakukan Ruslan sah-sah saja. Diskusi tentang pemecatan presiden yang direncanakan mahasiswa UGM pun tidak mengapa. Kajian akademik soal pemecatan presiden bukan hal terlarang. Sepanjang aturan Konstitusi mengatur soal pemecatan presiden, kajian itu menjadi sah.
Namun demikian, Ruslan diciduk dan seminar di UGM diteror. Alasannya sangat politis. Ruslan dikenal sangat ketat mengawasi TKA Cina di Maluku Utara ketika bertugas di Ternate sampai 2017. Dia bahkan pernah menyekap TKA Cina yang tak memiliki dokumen yang sah sebagai pekerja. Hal ini merepotkan dan membuat marah penguasa pusat. Karenanya, ini diduga menjadi sebab ia dipecat dari ketentaraan pada 2018.
Sedangkan teror terhadap narasumber dan penyelenggara seminar di UGM bertujuan membatalkan acara yang bisa mencerahkan mahasiswa UGM tentang ikhwal impeachment terhadap presiden. Mengingat situasi kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat sedang terpuruk akibat diterpa Covid-19 dan salah urus negara, yang dapat berujung pada turbulensi politik ke depan, maka segala hal yang dapat menginspirasi mahasiswa untuk bergerak harus dimatikan sedini mungkin.
Rezim berpikir, kalau seminar di UGM dibiarkan, seminar-seminar serupa bisa timbul di kampus-kampus lain, sehingga bisa menjadi momentum bagi kebangkitan mahasiswa melawan rezim.
Bagaimanapun, menghukum orang yang meminta presiden “mundur”, seperti yang dilakukan Ruslan Buton, berangkat dari jiwa yang kerdil. Semangat otoritarian Orde Baru dalam menjaga kelangsungan hidup rezim dengan cara-cara represif dan opresif hendak dibawa masuk. Tentunya ini cara bodoh — karena dilakukan pada ruang dan waktu yang salah — yang hanya akan memperbesar perlawanan rakyat terhadap rezim.
Komentar