Gerakan Civil Society Jawaban Atas Keinginan Publik untuk Perubahan

TILIK.id, Jakarta – Diskusi virtual oleh Kelompok UMA (Usaha Memajukan Anakbangsa) kembali diigelar dengan tema “Kerusakan di Segala Bidang Bisa Berujung Pergantian Kepemimpinan melalui Amademen UUD 45”.

Tempil sebagai pengantar diskusi mantan anggota DPR RI dari Golkar HM Sofhian Mile dan dipandu Ir Tigor Sihite.

Peserta diskusi antara lain pengamat hukum Djabir Mawardy, mantan anggota DPR RI Unchu Natsir, pakar kesehatan dr Herry Norman, Anthony Hilman, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, dan lainnya.

Diskusi berlangsung cair, saling menanggapi. Selanjutnya bebas memberi argumen dan tanggapan setelah diberikan pengantar tema. Semua fokus pada tema.

Herry Norman dalam paparannya menyebut gerakan revolusi untuk perubahan sabagaimana diwacanakan, tidaklah efektif. Tidak mudah dilakukan. Kalau ada gerakan 66, gerakan 98, maka sekarang tidak bisa dilakukan. Mengapa?

Jika contoh masa lalu isunya ekonomi atau politik, maka yang bisa sekarang adalah dengan memakai isu Covid-19. Covid ini ditangani tidak profesional. Negara seperti tidak hadir untuk menjaga kesehatan masyarakat, padahal kesehatan masyarakat adalah kewajiban pemerintah sebagaimana diatur dalam UU.

“Tapi faktanya penanganan Covid ini seperti terlambat, seperti diulur-ulur, diperlambat. UU, peraturan dikeluarkan jauh sesudah dinyatakan ada yang positif. Demikian juga pelaksanaan PSBB sendiri diperlambat, diulur-ulur. Di DKI sendiri untuk melaksanakan PSBB teelambat,” kata Herry Norman.

Di samping itu, kebijakan PSBB pun tidak bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Artinya sepertinya ada arah untuk diserahkan pada masyarakat sebabagaimana konsep herd immunity. Di sini negara ingin lepas tangan dan menyerahkan kepada masyarakat menjaga diri masing-masing.

“Dengan begitu, mengusir Covid-19 akan makin lebih susah. Ada kemungkinan kita akan jauh sekali bisa mengusirnya,” kata Herry Norman.

Isu amandemen UUD 45, kata Herry, juga terlalu jauh untuk dipakai. Kalau mau isu yang dipakai adalah isu covid ini. Karena pemerintah sekarang ini menjadikan isu covid sebagai perisai untuk mengeluarkan kebijakan untuk tujuan lain.

BACA JUGA :  Pecah, Penambahan Kasus Baru Nasional dan Jakarta Capai Record Tertinggi

“Jadi saya lebih cenderung untuk menggunakan isu kesehatan, Covid ini, yang mengarah kepada herd immunity untuk menembus perisai atau tameng covid yang digunakan penguasa. Pemerintah telah mengabaikan pembatasan sosial sebenarnya,” kata Herry Norman.

Tigor Sihite sebagai host diskusi menambahkan sangat paham mengapa Luhut dan Jokowi tidak senang dengan PSBB. Di Amerika itu, dengan malakukan lock down, sampai akhir April itu sudah mencapai hampir 46 juta.

“Mengapa saya mereferensikan Amerika, karena Amerika ini tipikalnya sama dengan kita. Jumlah penduduknya hampir sama dengan kita, sektor-sektor yang kena dengan covid ini hampir mirip. Cuma di sana, mereka datanya update,” kata Tigor.

Sementara itu, Unchu Natsir memaparkan bahwa masalah di Indonesia kalau lihat situasinya sudah terlalu dalam. Pemerintah sekarang sudah berorientasi kekuasaan, bukan pada rakyat lagi. Kita tahu di belakang kekuasaan ada kekuatan capitalis dari luar.

“Dalam situasi sekarang ini, kalau ingin melakukan perubahan, jika kita berharap secara konstitusional di DPR, MPR, atau dengan amandemen kembali ke UUD 45, dengan menjadi negara kekuasaan seperti sekarang ini, sudah tidak mungkin,” katanya.

Unchu memberi contoh seperti Perppu No. 1 2020 yang sudah dibawa ke MK karena banyak cacattnya, seperti bertentangan dengan UUD, namun dengan kekuasaan yang sudah menguasai semua lini, politik sudah dikuasai, DPR dikuasai, akhirnya disahkan juga oleh DPR menjadi UU.

“Artinya kekuasaan ini sudah mengatur semua dengan kuat. Jadi perubahan yang kita inginkan melalui amandemen sangat jauh, apalagi kalau mau kembali ke UUD 45 yang asli. Berat itu,” ujar mantan anggota DPR RI ini.

BACA JUGA :  Diskusi UMA soal Covid, Darul Siska: Perlu Rembuk Nasional

Unchu mengatakan, dari fakta di lapisan bawah, di Bekasi misalnya, kegelisahan rakyat soal perut ini susah untuk diabaikan. Ini sangat mengkhawatirkan bisa terjadi gejolak.

“Buruh ini bisa bergerak, kalau mahasiswa jangan kita harapkan. Sudah tidak ada gerakan-gerakan mahasiswa seperti tahun 65-66, 98. Jauh harapan itu,” kata Unchu.

Unchu yang mengaku banyak berkomunikasi dengan arus bawah di Bekasi mengatakan, pemilik pabrik, pengusaha saat ini sangat gelisah dengan situasi ekonomi saat ini. Bahkan, kata Unchu, ekonomi bisa menjadi pemicu gerakan-gerakan massa.

“Kita khawatir, karena kuatnya kekuasaan, gerakan-gerakan seperti ini bisa cepat dipatahkan. Apalagi jika gerakan-gerakan itu kehilangan arah,” ujarnya.

Karena itu, katanya, perlu memperluas komunikasi kepada kelompok-kelompok masyarakat. Ini mesti dijalin bagaimana bisa mengadakan perubahan besar. Melalui DPR, MPR dan amandemen sudah berat dilakukan. Kalau tidak, kekuasaan ini makin kuat.

“Tetapi saya masih punya keyakinan pada teman-teman kita di DPR. Secara individu masih ada yang punya idealisme yang bisa kita ajak juga bicara. Sedangkan kalau partai, kalau ada perubahan besar dari bawah mereka akan ikut arus juga, karena partai ini perlu survive,” beber Unchu.

Sementara itu, Ferry Mursyidan Baldan dalam paparannya mengatakan, bahwa ada situasi yang berbeda pada krisis politik dan ekonomi kita dari sajak tahun 65, 98, sampai sekarang.

“Hanya, kita tidak bisa lagi mamakai cara seperti 98. Kalau dulu, pers dan parlemen masih bisa kita harapkan. Kalau hari ini hampir kita tidak bisa berharap karena semakin kita berharap semakin menemukan kekecewaan,” kata Ferry M Baldan.

Menurut mantan Ketua Umum PB HMI ini, yang perlu kita lakukan adalah berpikir tentang adanya energi yang sudah muncul pembangkangan. Pembangkangan itu dua sumbernya. Pertama keresahan masyarakat secara keseluruhan dan ketidakteraturan dalam penataan pengelola negara. Dalam hal ini pembangkangan daerah.

BACA JUGA :  Revisi UU ITE Harus Hadirkan Kedamaian

“Adanya pembangkangan masyarakat dan daerah kepada pusat, saya kira sudah menemukan alasan atau menemukan jalan untuk memulai sebuah gerakan,” ujarnya.

Hanya, kata Ferry. harus dicermati jangan sampai terjebak memunculkan figur-figur pemimpin oposisi. Kalau ini dimunculkan, maka khawatir nanti menemui jalan buntu. Karena ini bisa membuat kembali pada debat siapa yang layak jadi oposisi. Kita akan disibukkan di sana nanti.

“Memunculkan Amies Rais juga menimbulkan pro kontra. Yang dimunculkan sebaiknya opinion leader, dan spesialisasi isu penting dimunculkan dulu. Dari segi konstitusi bernegara atau segi sosial ekonominya, kemudian dari politiknya,” kata Ferry.

Naiknya iuran BPJS tidak perlu dilawan dengan menghadang kenaikan itu. Sebaiknya seolah membiarkan saja namun kita bangun opini ketidak puasan masyarakat, beban yang meninggi masyarakat. Opinion leadernya yang bernain di sana.

“Jadi pengelompokan opinion leader ini penting dan spesialisasi isu. Jangan semua bicara pada isu generalisasi, bahwa semua isu ditanggapi. Perlu fokus pada hukum dan konstitusi, sosial dan ekonomi, serta politik dan pergerakan massa,” ujarnya.

Pengelompokan ini, menurut Ferry, akan memunculkan orang-orang dengan sendirinya. Karena situasinya, itu akan mendorong kekuatan-kekuatan untuk menata barisan. Hukum, ekonomi, politik dan pergerakan akhirnya nanti akan tersambung untuk agenda amandemen.

“Inti dari semua itu adalah fokus pada opinion leadernya, tidak pada oposisi leadernya. Jangan ada fokus-fokus yang membuat kekuasaan menguat. Karena fokus kita adalah dua. Yaitu pembangkangan terhadap pengelolaan negara, dan potensi dari pembangkangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat,” katanya.

Mengelola dua fokus ini, menurut Ferry, menjadi kekuatan pengganti dari hilangnya harapan kita pada parlemen dan parpol. (lmd)

Komentar