by: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
BERMULA dari surat Anies ke Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Nagih utang! Ada 5,1 triliun Dana Bagi Hasil (DBH) penerimaan pajak Pemprov DKI di Kementerian Keuangan.
Gak cair-cair. Dalam kesempatan teleconference dengan Wapres, Anies menyinggung soal dana ini. Minta bantuan wapres untuk dorong Menkeu agar hak Pemprov DKI tersebut segera bisa dicairkan. Pemprov DKI butuh dana itu untuk atasi Covid-19 dan dampak ekonominya. Urgent!
Esoknya, teleconference Anies dan wapres viral. Kok bisa? Tak biasanya Anies buka perbincangan pribadi ke publik. Apalagi menyinggung soal dana dimana menkeu ikut disebut-sebut. Ini pembicaraan internal pemerintahan.
Selama ini, Anies tak suka kegaduhan. Apalagi buka front di publik. Sama sekali, ini bukan watak Anies. Ia tipe pemimpin yang lebih suka kerja silent. Senyap, tapi hasil bisa dirasakan rakyat. Itulah Anies yang selama ini dikenal publik.
Cek sana sini, akhirnya dapat informasi. Pertama, inisiatif teleconference berasal dari wapres. Bukan dari Anies. Kedua, pihak yang mempublish video tersebut adalah tim dari wapres.
Langkah wapres benar. Ini menunjukkan bahwa selama pandemi Covid-19 wapres terus bekerja. Koordinasi dengan sejumlah kepala daerah adalah bagian dari bukti kerja itu. Publik juga berhak tahu apa yang dikerjakan wapres. Selain hak untuk dapat info terkait perkembangan penanganan Covid-19.
Beberapa pekan kemudian, Sri Mulyani tampil ke publik. Menyoal bansos DKI. Katanya, Pemprov DKI gak punya dana. Gak sanggup berikan bantuan untuk 1,1 juta warga terdampak covid-19.
Sri Mulyani tak sendirian. Menteri Sosial Juliari P Batubara dan Menteri PMK Muhadjir Effendy juga ikut menyerang Anies. Obyeknya sama: soal bansos.
Kepada pihak lain Mensos bilang: saya kira gak usah ribut-ribut soal data, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, secara gotong royong (Kompas 2/5). Tapi kepada Anies, mensos justru mempersoalkan data itu. Kok beda sikap ya?
Kenapa yang disoal hanya Anies? Gak kepala daerah lainnya? Emang kepala daerah yang lain beres soal anggaran, data dan pembagian bansosnya? “Rasanya kental politis”, kata Zita Anjani, Wakil Ketua DPRD DKI dari Fraksi PAN. Justru Pak Anies minta dicover dari pusat karena ingin warganya sejahtera, tegas anggota Fraksi PAN ini lagi.
Ditagih gak bayar, malah cari-cari kesalahan! Kira-kira seperti itu logika yang ada di kepala rakyat. Kalau gak bisa lunasin hutang, minta maaf dong… Bukan malah cari-cari kesalahan. Rupanya, rakyat punya cara berpikirnya sendiri. Beda dengan cara berpikir para menteri itu.
Dana DBH Pemprov DKI 2019 sebesar 5,1 triliun dan kuartal II tahun ini sebesar Rp 2,4 triliun. Total 7,5, triliun. Baru dicairkan oleh Kemenkeu Rp 2,56 triliun. Sri Mulyani seharusnya tak sekadar mengkritik Pemprov DKI, tetapi segera membayar DBH penerimaan pajak yang merupakan bagian dari hak Pemprov DKI, kata Mujiyono, anggota DPRD DKI dari Fraksi Demokrat.
Sri Mulyani sakiti hati warga Ibu Kota! Begitu kata M. Taupik. Sengak! “Pernyataan Sri Mulyani tersebut 100 persen tidak sesuai fakta, alias hoaks”, tegas M. Taupik. Wakil Ketua DPRD dari Gerindra ini menyayangkan pernyataan menteri keuangan tersebut. Tidak hanya M. Taufik. Arbi Sanit dan sejumlah tokoh juga menyesalkan sikap para menteri itu.
Dianggap tak punya anggaran, Pemprov DKI siapkan dana 5 triliun untuk menangani covid-19 dan dampak ekonominya. Di antaranya berupa bantuan yang “sudah dibagi” ke warga DKI sebelum PSBB diberlakukan. Jadi, sebelum ada PSBB, dan sebelum pemerintah pusat turun, warga DKI sudah dapat bantuan dari Pemprov.
Ada double penerimaan. Warga terima dari pemerintah daerah, terima juga dari pemerintah pusat. Harusnya tidak double, kata pihak kemensos.
Apa masalahnya kalau warga terima double? Tanya M. Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI. Toh tidak dalam waktu dan pekan yang sama, protesnya. Jadi, tidak hanya hotel bintang lima untuk tenaga medis saja yang disoal, warga DKI terima bantuan double juga ada pihak yang menyoal.
Lepas siapa yang benar dan siapa yang salah, mestinya urusan macam ini bisa dikomunikasikan dan didiskusikan secara internal. Kenapa tidak teleconference saja via zoom berempat. Tiga menteri ajak Anies diskusi. Tapi, kenapa justru dijadikan konsumsi publik?
Wajar jika banyak pihak kemudian mengartikan ini sebagai bentuk penjegalan terhadap Anies untuk 2024. Rakyat kelaparan kok diseret-seret ke urusan politik 2024. Gak elok, seru M. Taufik. Jangan sampai perseteruan politik mengganggu perut rakyat, imbuhnya.
Rasionalitas ini otomatis muncul di benak rakyat mengingat sering terjadinya serangan yang dianggap mendiskreditkan posisi Anies. Ini berlangsung sejak pidato pertama Anies pasca pelantikan 2017. Tak berhenti hingga sekarang. Sudah tiga tahun berjalan. Apalagi publik membaca bahwa serangan kepada Anies bersifat terstruktur dan sistematis.
Keadaan inilah yang justru membuat gelombang empati publik kepada Anies makin besar. Ketika semua bentuk serangan itu tak pernah direspon secara reaktif, Anies berhasil mengambil hati rakyat. Serangan akhirnya menjadi kredit poin buat Anies.
Anies lebih memilih fokus kerja di tengah banjirnya serangan tersebut. Ini langkah tepat. Meski tak perlu harus mendengungkan kata kerja… Kerja… Kerja…. Selama hasil kerja bisa dirasakan oleh rakyat, maka akan jadi investasi sosial dan politik yang efektif.
Akhirnya, siapapun yang mencoba menyerang Anies akan berhadapan secara otomatis dengan para pendukung dan simpatisannya. Fakta ini bisa dilihat di media dan medsos. Anies punya relawan dan buzzer lepas yang berlimpah di setiap sudut kota. Mereka tak saling mengenal satu dengan yang lain. Sebab, mereka tak dibayar, dan tak ada kordinatornya seperti buzzer sebelah.
Jakarta, 9 Mei 2020
Komentar