Oleh DR H.Abustan, SH.MH
TATKALA kita diuji dengan pandemi corona, ada banyak keluhan atas kegamangan, ketidaksigapan, ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan jajaran pemerintahan dalam menangani wabah yang mematikan ini.
Walaupun keluhan yang sama juga terjadi di beberapa negara. Namun, ada sudut pandang yang menunjukkan sesuatu hal yang lain adalah kebijakan yang sering berubah-rubah, bahkan pemerintah pusat (central goverment) seringkali mengeluarkan kebijakan yang saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya.
Fenomena tersebut, tentu hanya akan membingungkan dan/atau menciptakan polusi kegaduhan di masyarakat. Bayangkan, jika hanya memgatur soal yang sepele seperti mudik menjadi begitu rumit dan menimbulkan turunan masalah yang begitu rupa, sehingga berbagai kebijakan (regulasi) di level menteri saling bertentangan (dualisme).
Bahkan, terkait keterlambatan pemerintah dalam mengantisipasi sesuatu pristiwa juga menjadi sorotan. Katakanlah banyak yang mempertanyakan pemerintah yang awal-walnya terlihat masih bisa ketawa soal Covid-19. Ada kesan over-confident sehingga “terlambat” sekitar dua bulan menyiapkan negara dan warga negara menghadapi penyebaran wabah corona. Sikap pemerintah ini dinilai kurang cepat & tidak kompak., Akibatnya kehilangan momentum untuk membendung laju pandemi Covid-19.
Selain itu, juga disayangkan ketika Presiden tidak memberlakukan karantina total (lock down) di jakarta atau di wilayah Jawa. Apalagi pemerintah daerah (Gubernur DKI) kabarnya yang dimintakan adalah dengan sistem lock down. Akan tetapi, seperti yang kita lihat justru yang diberikan pembebasan sosial. Hal ini, banyak yang menyesalkan dengan pilihan pemerintah pusat tersebut .
Tampaknya, keraguan/keterlambatan mengambil keputusan itulah yang ikut berkontribusi atas kelambatan penyelesaian penyeberan virus corona ini. Yang pasti pula, pembatasan sosial dan fisik ini juga diperkirakan akan mencetak orang miskin baru. Ada sekitar 40 juta warga miskin, pengangguran, tenaga kerja informal, dan buruh tani yang hidupnya kian menjerit.
Namun, terlepas dari segala aneka macam stimulus, kinerja pemerintah masih saja dinilai keteteran dalam mengatasi wabah corona ini. Bahkan, yang nampak dipermukaan justru perbedaan pendapat/tidak kompak di kalangan pejabat, baik pada level menteri maupun antara pemerintah pusat dan daerah. Satu diantara pejabat yang bisa jadi contoh konkrit adalah Sehan Salim Landjar (Bupati Boltim) yang banyak viral di medsos yang melawan kebijakan pusat. Alasannya sederhana, bahwa ia lebih paham kondisi dan kebutuhan daerahnya.
Idealnya, memang harus demikian. Pemerintah daerah (Pemda) selaku local goverment seyogyanya harus di dengar dan diapresiasi pendapat mereka. Berbagai persepsi dan perspektif harus di dengar dan menjadi masukan sebelum mengambil keputusan, bukan sebaliknya pusat langsung mendikte suatu keputusan secara serta merta kepada daerah.
Dengan demikian, pemerintah pusat selaku central goverment sebenarnya yang paling tepat dilakukan adalah memposisikan diri untuk melakukan langkah kordinatif, evaluasi, dan monitoring berbagai fenomena terhadap pandemi Covid-19 yang ada di daerah. Sesungguhnya itu yang menjadi urgen, agar kebijakan yang ditelorkan pemerintah pusat benar-benar responsif-solutif untuk masing-masing daerah .
Hal seperti itulah, yang luput dari perhatian pusat. Padahal, masalahnya sangat sensitif dan krusial, sehingga sejak awal sebelum menetapkan sesuatu kebijakan perlu membangun/memperoleh kesamaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah.
Sebab bagaimanapun, kebijakan desentralisasi dan otonomi tak hanya bertujuan untuk memajukan daerah, tapi juga harus mampu menjaga dinamika pola hubungan antara pusat dan daerah. Dari pengalaman virus corona ini, menjadi sangat gamblang bahwa pemerintah belum berhasil mewujudkan kemandirian daerah di era otonomi sekarang ini .
Akibat dinamika otda ini, perbenturan paradigmatik terkadang tak dapat dihindari. Pengelolaan SDM pusat dan daerah selalu memperhatikan kotak besar organ negara yang terpisah karena dianutnya desentralisasi. Kotak organ negara yang diperhatikan adalah adanya organ pemegang political outhority. SDM negara terpisah jadi dua: lokal dan nasional jika terjadi desentralisasi. Dan, implikasinya kekuasaan pengelolaan SDM dari A sampai Z ada pada daerah otonom..Sementara pusat membuat code of conduct untuk dipatuhi.
Jadi, sekali lagi, harmonisasi dinamika pusat dan daerah harus diapresiasi, sehingga menjadi poin prioritas yang harus di kerjakan pasca pandemi Covid-19 ini berlalu. Bukan saja pada tataran bunyi pasal-pasal yang mengaturnya, melainkan sejak paradigma pemerintahannya (pusat-daerah) harus pula disamakan persepsinya.
Komentar