Oleh: Anton Permana
(Kader FKPPI), Alumni Lemhannas RI PPRA 58 tahun 2018)
PERSETERUAN antara mantan Sekjen Meneg BUMN Muhammad Said Didu dengan Menko Maritim Jendral TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan sudah mencuat dan berujung ke ranah hukum.
Ada yang menganggap hal ini ‘cemen’ dan ada juga yang menganggap hal serius sekali. Tapi ada juga yang cuek bebek alias ‘basipakak bangak’.
Persiteruan antara MSD (singkatan buat Muhammad Said Didu) dengan ‘Opung’ panggilan kita buat Luhut Binsar, ibarat titik puncak letupan gelombang distorsi polarisasi masyarakat kita hari ini. Yaitu antara kelompok penguasa oligarkis dengan kelompok masyarakat yang kritis.
Dalam konteks negara demokrasi, kritikan adalah salah satu bentuk konstribusi verbalistik sebagai bentuk implementasi dari kualitas demokrasi dalam melakukan sosial control masyarakat kepada pemerintah. Dan perlu kita ingat bersama, bahwa sampai hari ini, secara konstitusional Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi azas kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat (berkedaulatan rakyat). Dimana hukum menjadi panglima. Makanya Indonesia disebut sebagai negara hukum.
Namun sayangnya, hari ini secara empirik dalam implementasi pemerintahan hari ini, azas ini bergesar jauh dari negara hukum menjadi negara kekuasaan. Dimana pemerintah menjadikan dirinya itu seolah negara. Sedangkan negara itu terdiri dari tiga elemen yaitu; wilayah, rakyat, dan pemerintah.
Jadi wajar, dalam realisasi pemerintahan kita hari ini sering terjadi ‘abuse of power’ penyalahgunaan kekuasaan secara gila-gilaan. Kritikan dianggap ujaran kebencian. Kritikan dikaitkan dengan rongrongan terhadap kewibawaan negara, Seperti di negara komunis.
Dan perseteruan antara MSD dan Opung ini adalah salah satu bentuk benturan natural dari friksi bernegara demokrasi. Namun, ketika Opung membawa persiteruan ini ke ranah hukum, di mana Opung yang saat ini menjabat sebagai pejabat negara dikritik oleh masyarakat sipil terdidik, sehingga semua terasa berubah dari suasana demokratis menjadi otokrasi otoriter.
Di sinilah penulis melihat sesuatu yang janggal, sesuatu yang sudah tak lazim lagi dilakukan oleh seorang tokoh senior, negarawan, mantan Jendral bintang tiga Opung LBP kita ini. Dan sebagai anak TNI, keluarga besar TNI hal inilah yang sangat kita sayangkan dari seorang Opung yang seharusnya memberikan contoh teladan kepada para junior, anak cucu, dan rakyat Indonesia bagaiama hidup di alam demokrasi yang baik dan beradab.
Pada kesempatan ini kita tak perlu secara khusus membahas MSD, karena MSD adalah bahagian dari masyarakat sipil (civil society) yang menjalankan fungsinya sebagai cendikiawan, pakar, kritikus, yang dilindungi oleh UUD 1945 pasal 28 tentang kebebasan setiap penduduk dalam menyampaikan pendapatnya. Dan kita tentu semua yakin, sebagai mantan birokrat dengan jabatan tertinggi secara administratif (eselon I) MSD pasti sudah mempunyai data dan argumentasi yang kuat dalam menyampaikan pendapat dan kritikannya.
Dan kita mesti ingat, bahwa apa yang disampaikan MSD itu adalah representasi dari kegelisahan jutaan rakyat Indonesia dalam melihat kinerja pemerintah hari ini yang amburadul. Bedanya, ada yang berani secara terbuka, ada yang dibelakang layar.
Permasalahan yang kita bahas adalah fokus pada sosok dan kualitas kenegarawan seorang Opung LBP terhadap bangsa Indonesia, negara dan rakyat. Seorang mantan TNI dengan pangkat jendral bintang tiga (kemudian jadi bintang empat atas anugerah dari presiden BJ Habibie), seharusnya kita tidak meragukan lagi nasionalisme, patriotisme, dan kenegarawan Opung LBP. Apalagi Opung ini juga berasal dari satuan elit pasukan khusus TNI AD.
Sikap Opung sejak menjadi menko maritim yang begitu dominan dalam pemerintahan, memang sudah menjadi sorotan publik. Apakah itu secara ilmu hukum tata negara, birokrasi, dan juga etika politik. Peran dominan Opung ini yang boleh dikatakan full power mengendalikan istana bahkan presiden sekalipun, menjadikan dirinya mendapat julukan ‘menteri segala urusan’ bahkan Opung sering dianggap sebagai ‘the real presiden of Indonesia’.
Permasalahan tidak akan muncul kalau Opung memainkan perannya secara proporsional dan profesional. Bermula dari basicnya yang juga terkenal sebagai pengusaha owner Toba group, kebijakan dan manuver Opung lintas kementrian yang zig-zag kemana-mana inilah yang akhirnya mendapat sorotan sinis dari banyak pihak.
Sejak sikap reaktif Opung dalam menyikapi kasus reklamasi teluk Jakarta disalah satu TV Nasional yang begitu kelihatan arogan dan tendensiusnya, sampai yang terakhir agresifitas Opung dalam membangun ibu kota baru dan pembelaan mati-matian Opung terhadap TKA China yang masuk Indonesia secara membabi buta. Padahal bangsa kita sedang dilanda kekalutan dan kepanikan atas wabah virus yang berasal dari China ini.
Sebelum pecah ke publik tentang sikap tendensius Opung yang sangat berpihak pada China ini, bagi kalangan elit politik dan ekonomi, sepak terjang Opung dalam berbagai bisnis di negeri ini juga sudah menjadi gunjingan dan perbincangan negatif. Hampir disetiap lini bisnis basah baik itu export-import, tambang, migas, lahan, perkebunan, perdagangan, bahkan sampai penempatan jabatan strategis dan militer, Opung lah decision makernya.
Tak luput juga jabatan strategis sebagai Danpaspampres bintang dua yang disandang menantunya pun jadi gunjingan sinis di kalangan TNI AD. Karena tanpa sekolah seperti Sesko TNI dan Lemhannas, menantunya dapat pangkat bintang dua dengan mudah bak jalan tol. Padahal kalau berbicara tentang letting angkatan, menantunya itu masih tergolong junior dan banyak melangkahi para seniornya yang secara kualitas, bibit-bobot, serta kelengkapan sekolah pendidikan lebih lengkap paripurna. Ini tentu mengundang kecemburuan tidak sehat ditubuh TNI.
Dari akumulasi sepak terjang Opung yang begitu itulah akhirnya ada yang berani menyampaikan secara terbuka kepada publik, bahwa Opung dalam pikirannya hanya uang, uang, tanpa memikirkan nasib bangsa. Di tengah musibah corona dan krisis ekononi ini masih berbicara bangun ibu kota. Di tengah jatuhnya ratusan nyawa manusia masih juga melakukan pembelaan dan memback up masuknya TKA China ke Indonesia. Dan selaku mantan orang dalam pemerintahan, tentu MSD sangat tahu persis apa dan bagaimana sepak terjang Opung di dalam pemerintahan. Dan penulis yakin akan lebih banyak lagi yang akan dibuka MSD ke publik kalau berlanjut keranah hukum.
Sebenarnya tidak hanya MSD yang mengeluarkan kritikan pedas pada Opung. Ada juga ekonom senior UI Bapak Faisal Basri yang mengatakan Opung lebih berbahaya dari pada covid19. Belum lagi dari para senior, junior Opung di TNI. Artinya ini menggambarkan, bahwa sebenarnya sudah terlalu banyak himbauan, kritikan, dan ultimatum diberikan pada Opung. Yang menandakan, berarti sudah terlalu banyak langkah, kebijakan Opung ini yang membahayakan kehidupan bangsa dan negara.
Hal inilah selaku keluarga besar anak tentara yang sangat kita sayangkan. Prilaku dan tindakan Opung sangat kontradiktif dengan jiwa patriotisne, nasionalisme, sebagai mantan tentara.
Dari akumulasi ini jugalah, akhirnya masyarakat Indonesia kembali membongkar siapa Opung, jejak rekamnya, sampai kedekatan Opung dengan maestro inteligent Indonesia mantan Panglima ABRI yaitu LB Moerdani. Kiprah Opung dalam melengserkan Soeharto sampai Opung dapat penghargaan Jendral bintang empat oleh BJ Habibie. Kiprah Opung sejak jadi Dubes Singapore, Menteri Perdagangan, bahkan sampai masa lalu Opung yang takut terjun payung ketika operasi seroja di Timor Timur pun dibuka secara telanjang di sosial media.
Dan itu semua adalah konsekuensi menjadi pejabat publik di negara demokrasi seperti Indonesia.
Sikap opung membawa kritikan masyarakat ke ranah hukum akhirnya menjadi bumerang bagi Opung sendiri. Karena, kedewasaan, kenegarawanan Opung dalam berpolitik dan bernegara dipertanyakan. Tidak hanya itu, nasionalisme dan patriotisme seorang Opung dengan deretan begitu panjang pengalaman berjabatannyapun mulai diragukan.
Dari akumulasi penjelasan di atas itulah akhirnya wajar muncul berbagai asumsi dan dugaan, apakah semua kesemrawutan dan kerusakan negara hari ini ada hubungan dengan Opung ? Dimana negara seakan tergadai kepada China? Negara saat ini tanpa kemandirian tanpa kedaulatan? Negara kalah oleh kepentingan politik dan ekonomi?
Parahnya lagi adalah, hilangnya keharmonisan sesama anak bangsa oleh perpecahan berbasis SARA? Munculnya rasisme dan phobia terhadap Islam? Munculnya sentimen antara istilah minoritas dan mayoritas? Semakin suburnya liberalisme dan style bernegara ala komunisne? Terciptanya gap yang curam antara agama dan negara khususnya negara dengan Islam?
Semua asumsi negatif tentang kerusakan negara di atas sekarang ini mengarahkan busur anak panahnya ke wajah Opung. Karena Opunglah saat ini the man behind the super power in Indonesia. Opunglah saat ini yang pegang kendali penuh remote kontrol istana.
Tak ada Jendral aktif yang tidak takut sama Opung. Tak ada pejabat eselon dan menteri yang tidak takut sama Opung. Tak ada pengusaha dan BUMN yang tidak tunduk dengan Opung. Bahkan presiden pun bertekuk lutut dihadapan Opung. Hampir semua partai politik ngeri-ngeri sedap dengan Opung.
Jadi wajar juga akhirnya banyak pertanyaan keraguan terhadap Opung. Untuk siapa sebenarnya Opung bekerja hari ini. Kepada siapa Opung ini mengabdi. Kemana arah orientasi bernegara Opung hari ini? Masih adakah merah putih di dada Opung? Masih adakah Indonesia didalam pikiran Opung? Masih adakah bekas tempaan Lembah Tidar, semangat gelombang ombak Pantai Selatan di jiwa Opung sebagai seorang mantan Komando, Pasukan elite kebanggaan bangsa Indonesia?
Kita semua sudah tahu. Bagi siapa saja yang terkait dengan pangkat jabatan, bisnis dan proyek di negara kita hari ini pasti akan tunduk dengan Opung. Namun Opung mesti ingat juga. Masih banyak juga para jendral, baik yang sudah pensiun, aktif, para tentara, para tokoh, aktifis, rakyat yang tidak peduli dengan pangkat jabatan atau uang dari Opung. Masih banyak di negeri ini para merah putih sejati, para kesatria, dan pejuang yang tak peduli dengan siapa Opung. Yaitu orang orang yang ikhlas dan peduli terhadap nasib bangsa ini. Yaitu orang-orang yang selama ini diam, mengamati, dan menghitung gerak langkah Opung dalam mengelola negara ini. Dan orang-orang yang juga sebenarnya sayang dan peduli dengan keselamatan Opung juga sebagai senior, bapak, dan orang tua.
Sudah saatnya Opung kita himbau dan sarankan untuk instropeksi diri sebelum Opung melangkah lebih jauh keluar dari garis lurus nilai-nilai kebangsaan.
Opung adalah senior kami, orang tua kami, paman kami, abang kami, dan juga guru kami. Yang seharusnya mewariskan nilai loyalitas kebangsaan, kedewasaan dalam berpolitik dan bernegara, serta contoh tauladan mengabdi secara totalitas kepada bangsa dan rakyat Indonesia.
Jujur hari ini kita semua mulai ragu kepada Opung. Saat ini banyak pihak yang gelisah dan geram melihat sepak terjang Opung. Untuk itu. Mari sejenak kita melihat sejarah dunia ini. Bahwa sehebat apapun seorang Pemimpin, segagah appaun seorang Jendral tentara, sekaya raya apapun seorang pengusaha, pasti akan mati juga. Pasti akan dikubur juga. Minimal pasti akan jadi tua renta juga kalau umur panjang.
Cuma yang membedakannya adalah, ada yang akhirnya mati dengan terhormat di bawah upacara penghormatan dan deraian air mata. Ada yang mati dalam senyuman disamping keluarga tercinta. Tapi ada juga ada yang mati dalam keterasingan, azab penyakit, dan penjara. Bahkan juga ada para pemimpin yang mati di tiang gantungan, dan moncong senjata anak buahnya atas hukuman sebagai pengkhianat negara.
Tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan. Roda kekuasaan itu berputar. Mari kita berikan yang terbaik buat bangsa ini. Mari kita tinggalkan sejarah dan legacy yang baik buat bangsa ini, agar selalu dikenang oleh anak cucu kita kelak di kemudian hari.
Kalau ada dendam masa lalu mari hapuskan. Kalau ada misi-misi jahat yang pernah terlintas mari buang dan hentikan. Karena kita semua adalah sudara satu bangsa. Satu nasib, dan satu masa depan. Salam Indonesia. Salam Persatuan.
Batam, 06 April 2020
Komentar