by M Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik)
PERPPU No 1 tahun 2020 sangat jelas memanfaatkan situasi wabah untuk penguatan kepentingan Pemerintah. Mereduksi kewenangan DPR, BPK, dan juga badan yudisial. Secara hukum sudah dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Konstitusi. Pelanggaran seperti ini harus dihentikan.
Dua jalan konstitusional yang dapat dilakukan. Pertama yaitu apa yang sedang dijalankan oleh beberapa tokoh dengan melakukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Perppu bertentangan dengan UUD 1945. Kedua adalah penolakan atau ketidaksetujuan DPR untuk menjadikan Perppu sebagai undang-undang.
Ironi jika sampai DPR menyetujui intervensi eksekutif dalam menggerus fungsi pengawasan dan anggaran badan legislatif. Pemerintah memang keterlaluan memanfaatkan situasi krisis untuk berlaku sewenang wenang terhadap keuangan negara. Jika DPR sepakat dengan Perppu ini maka tamatlah riwayat kedaulatan rakyat melalui lembaga perwakilan.
Di tengah sikap frustrasi rakyat atas kepedulian pemerintah, masih ada harap pada DPR untuk dapat menahan intervensi. Demikian juga MK diharapkan masih memiliki nurani kebenaran dan kejujuran. Jika dua lembaga ini tidak mampu menahan laju kesewenang-wenangan, maka “distrust” menjadi menyeluruh.
Rakyat bisa bergerak sendiri. Ini namanya “people power”.
Saat ini memang corona menghambat aksi. Akan tetapi jika jadi aksi buruh “mayday” di akhir april ke gedung DPR untuk menembus corona, maka akan menjadi fenomena yang spektakuker. Pilihan sulit antara risiko wabah dengan suara hati yang berhubungan dengan perut. Atau keyakinan kebenaran yang mesti disuarakan melawan para penguasa pencuri kesempatan.
Omnibus law tidak boleh menjadi “mainan” eksekutif dengan “menyetel” DPR. Omnibus law bukan komoditi yang bisa dilakukan “tawar menawar” antara kedua lembaga. DPR harus lebih peka pada persoalan aspirasi dan kondisi masyarakat. Tunda pembahasan omnibus law.
DPR harus menggeliat dan lebih fokus pada hal yang berhubungan dengan penderitaan rakyat. Waspada terhadap “modus” Perppu sebagai alat membangun pemerintahan otoriter. Pemerintah Jokowi telah empat kali menggunakan kewenangan mengeluarkan Perppu walau tidak ada situasi “kegentingan yang memaksa”.
Pertama, Perppu No 1 tahun 2015 tentang KPK. Menyangkut pengisian kekosongan Pimpinan. Kedua, Perppu No 1 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak. Ada soal “kebiri” segala. Ketiga, Perppu No 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan. Nah yang ini untuk kepentingan pajak. Keempat, Perppu No 2 tahun 2017 tentang Ormas yang tujuannya untuk membantai HTI.
Semua Perppu itu tidak memenuhi syarat negara yang dalam situasi darurat atau genting.
Perppu adalah akal akalan atau jalan menuju UU. Sayangnya DPR selalu setuju saja meski publik banyak mengkritisi. Kini Perppu No 1 tahun 2020 dibuat akal akalan pula, memanfaatkan situasi. Ini negara apa, hampir setiap tahun ada Perppu.
Perppu adalah jalan penggalangan kekuasaan dengan memperalat hukum. Perppu yang dibuat Pemerintahan Jokowi tidak memenuhi syarat.
DPR harus kritis dan kuat, DPR harus berani menolak, DPR bukan kepanjangan tangan eksekutif. DPR harus menggeliat dan berdaulat. DPR mesti benar benar menjadi wakil rakyat. Bukan wakil pejabat yang dirasakan semakin kehilangan martabat.
Komentar