Oleh: Dr. H. Abustan,SH.MH
(Pengajar Ilmu Hukum di Universitas Islam Jakarta-UID)
DALAM situasi seperti saat ini, maka satu-satunya harapan untuk selamat dari krisis pandemi Covid-19 adalah mempererat ikatan solidaritas bersama antar warga dan menumbuhkan semangat kearifan lokal. Karena itu, inisiatif berbagai komunitas pada level masyarakat tergambar melalui sikap gotong royong untuk saling membantu dan/atau membangun kebersamaan antara satu dengan yang lainnya.
Bahkan, tak hanya sikap saling menolong yang ditunjukkan rakyat di daerah, tetapi juga tanggung jawab sosial. Hal itu secara kasat mata diwujudkan dengan sukarela menaati anjuran untuk menjaga jarak (physical distancing) dan menghindari kerumunan. Kontribusi yang sekilas terasa sederhana itu, bisa berperan besar menekan laju penyebaran virus corona di tengah masyarakat.
Tak dapat dipungkiri pula, sikap yang melekat (in-herent) dalam diri masyarakat ini, menjadi “mantra” yang seringkali diucapkan oleh pejabat pusat, tentang pentingnya kearifan lokal, sikap gotong royong, dan memelihara/memperkuat ikatan-ikatan akar budaya lokal yang merupakan inti dari pada nilai kearifan yang masih bersemayam dalam prilaku masyarakat.
“Inilah modal besar bangsa Indonesia, yakni cultur kita (budaya) yang belum tercerabut dari akarnya” ujar Kepala KSP Moeldoko.
Atau dalam istilah Jubir Presiden Fajroel Rachman di acara ILC bahwa solidaritas dan sikap gotong royong masyarakat bermunculan sebagai suatu pertumbuhan ke arah yang positif.
Sejatinya itulah nilai yang bisa dibilang mempersatukan bangsa kita yang inklusif serta kosmopolit ini, menjadi identitas diri bangsa dan negara. Atau dalam bahasa Koentjaraningrat: nilai-nilai budaya yang didefinisikan sebagai konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat.
Konon kata Samuel Huntington, kini kita memasuki babakan baru benturan peradaban dan budaya. Dan, menurutnya konflik kultural yang paling berbahaya terjadi di sepanjang hari persinggungan antar peradaban. Sesungguhnya, kejadian-kejadian konkrit setiap saat terbentang dihadapan kita.
Memang, terlalu muluk rasanya jika mengatakan virus corona ini merupakan refleksi pertarungan antara blok Barat ataupun Timur, Komunisme atau Imperialisme, Kapitalisme- Marxisme, Borjuis-Proletar. Jadi, pandemi Covid-19 tidak kenal kelas sosial. Apakah itu kelas sosial besar (kaya), kelas menengah dan kelas miskin. Singkatnya, virus ini tidak mengenal kategori dan atau pertentangan kelas yang ada di lapis strata masyarakat.
Sekali lagi, ancaman global virus pandemi ini tak mengenal strata sosial, apakah itu namanya raja, kaisar, dan wong cilik. Dimata virus ini, semuanya di beri label kedudukan yang sama (equal) harkat dan martabatnya. Tak ada yang namanya orang kuat (power full) atau memiliki kekebalan hukum, apalagi kekuasaan (dinasti). Intinya, semua dapat dilumat dan diluluhlantakan tanpa mengenal derajat profesi/batas-batas teritorial.
Dengan demikian, kondisi masa sulit seperti sekarang, solidaritas sosial sebagai ikatan nilai-nilai budaya yang masih tersisa sebagai wujud kearifan lokal menjadi satu-satunya harapan yang bisa diandalkan untuk menangkal daya sebaran Covid-19.
Karena itu, kepedulian dan gotong royong di level akar rumput merupakan sebuah solusi yang jauh lebih efektif ketimbang menunggu realisasi janji-janji bantuan-uluran tangan pemerintah pusat.
Wabah semasif ini butuh gerak bersama semua kalangan, bukan hanya sebatas personal atau individu satu-dua orang. Akan tetapi, bergerak seperti kelompok swadaya masyarakat untuk meringankan beban kelompok masyarakat.
Pada level publik, kepedulian kolektif semacam ini menjadj angin segar di tengah terus bertumbuhnys korban wabah virus corona.
Sampai kemarin, trend perkembangan yang terus meningkat. Maka haruslah di lawan dengan aksi-aksi solidaritas yang mampu menembus sekat sosial, ekonomi, dan politik. Bahkan, aktifitas semacam ini harus terus digalakkan di seluruh Indonesia. Atau dengan kata lain, mulai dari titik ibu kota negara (Jakarta) yang populer dengan istilah eficentrum pandemi, sampai ke pesisir daerah ke pegunungan dan bukit-bukit. Virus ini juga datang tanpa mengenal batas-batas wilayah .
Terakhir, buat goverment yang melakukan tata kelola pemerintahan, jangan lagi melihat dan merespon keadaan dengan gaya birokrasi yang kental. Situasi darurat kesehatan yang digaungkan harus berbarengan dengan kerja cepat, masif dengan atmosfir tinggi. Karena itu, blokade birokrasi yang memperlambat pelayanan pencegahan virus harus diterobos.
Komentar