Pembatasan Sosial Skala Besar dan Darurat Sipil, Tepatkah?

TILIK.id, Jakarta — Presiden Jokowi telah mengeluarkan kebijakan untuk mencegan wabah virus corona makin bertambah. Kebijakan itu adalah menerapkan pembatasan sosial berskala besar yang diikuti dengan pemberlakuan darurat sipil.

Kebijakan itu menuai banyak protes, terutama pemberlakuan darurat sipiil. Boleh dikata publik menolak kebijakan darurat sipil itu.

Membahas kebijakan itu, praktisi hukum yang juga Sekjen LBH Pelita Umat dan Ketua Eksekutif Nasional BHP KSHUMI, Chandra Purna Irawan, menyampaikan pendapat hukumnya.

Menurut dia, ada empat point krusial atas kebijakan tersebut, utamanya soal darurat sipil. Pertama, desakan pemberlakuan Karantina Wilayah berpotensi tidak terjadi.

Dikatakan, Jokowi akan melakukan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, lebih disiplin dan lebih efektif lagi sehingga perlu didampingi kebijakan darurat sipil.

Pembatasan berskala besar ini juga patut ditopang dengan pemberlakuan karantina wilayah, karena dengan karantina wilayah undang-undang mengamanatkan pemerintah untuk berkewajiban dan bertanggung jawab akan kebutuhan hidup.

“Menurut saya, dengan pemberlakuan pembatasan skala besar dan darurat sipil, maka potensi kewajiban dan tanggungjawab negara akan kebutuhan dasar rakyat berpotensi tidak tertunaikan,” kata Chandra.

BACA JUGA :  Warga Sudah Bisa Lepas Masker di Ruang Terbuka

Kedua, tambahnya, patut diduga Pemerintah Pusat menghindari status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat. Dengan demikian, Pemerintah Pusat tidak berkenan untuk memberlakukan Karantina Wilayah.

Karantina Wilayah adalah salah satu respons terhadap karantina kesehatan. Penanggulangan Bencana masih dapat dilakukan pemerintah dalam penanganan wabah COVID-19.

“Oleh karena itu, pemerintah belum saatnya menerepakan keadaan darurat militer dan darurat sipil,” kata Chandra.

Ketiga, patut diduga Pemerintah “lari” dari kewajiban dan tanggung jawab untuk pemenuhan kebutuhan dasar rakyat apabila terjadi karantina kesehatan masyarakat dan/atau karantina wilayah.

“Kewajiban dan tanggungjawab (obligation and responsibility) telah dirmuskan dalam pasal 55 ayat (1) UU no 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” katanya lagi.

Keempat, menurut Chandra lagi, bahwa patut diduga Keengganan menetapkan status karantina wilayah dan/atau lockdown dan/atau karantina kesehatan adalah menunjuk pada dasar politik dan ekonomi dalam penanggulangan pandemi corona. (lms)

Komentar