JOKOWI CUCI TANGAN

by Tarmidzi Yusuf
(Pengamat Politik Islam)

MUSIM pandemi Covid-19 harus banyak cuci tangan. Dengan sabun atau hand sanitizer. Biar aman dari terinfeksi virus corona.

Trend ini pula yang diikuti Jokowi. Tidak mau karantina wilayah tiba-tiba lompat darurat sipil.

Lari dari UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan ke Perppu era Sukarno. Perppu No 23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

Publik curiga. Jokowi cuci tangan dari konsekuensi pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat bila karantina wilayah di berlakukan sesuai pasal 4 UU No 6/2018.

Aneh juga tiba-tiba lompat ke darurat sipil. Lockdown ditolak. Karantina wilayah tidak mau. Ada apa? Atau memang ada skenario pandemi Covid-19 ke arah kerusuhan sosial sehingga harus darurat sipil?

Padahal masih ada UU No 6/2018 dan UU No 24/2007 tentang Penanggulan Bencana.

Setidaknya ada tiga poin yang dapat kita ambil dari langkah Jokowi ini.

Pertama, Jokowi cuci tangan. UU No 6/2018 dan UU No 24/2007 mewajibkan pemerintah pusat menanggung kebutuhan hidup rakyat di daerah karantina wilayah dan darurat bencana.

BACA JUGA :  Warga Jakarta Berlimpah Subsidi

Kedua, Jokowi membaca ada gelagat munculnya masalah sosial baru. Kerusuhan sosial akibat pandemi Covid-19.

Satu sisi rakyat dihimbau stay at home. Tidak keluar rumah. Sisi lain, rakyat butuh makan. Berarti harus keluar rumah.

Ancaman kerusuhan tinggi. Bila Jokowi lari dari tanggung jawab dengan membebankan ke pemerintah daerah.

Ibaratnya dengan menggunakan Perppu No 23/1959, kepala di lepas, kaki di rantai. Begitulah yang dialami Gubernur/Walikota/Bupati saat ini. Perlawanan dari daerah sudah terasa. Menunggu bom waktu.

Bila melihat data Per Agustus 2019 (bps.go.id) jumlah pengangguran 7,05 juta, setengah pengangguran (kerja kurang dari 35 jam/pekan tapi msh mencari pekerjaan) 8,14juta, dan pekerja paruh waktu (kerja kurang dari 35 jam/pekan tapi tdk mencari pekerjaan) 28,41juta. Total 43,6 juta.

Sebanyak 43,6 juta penduduk terancam kelaparan. Mereka tidak bisa kerja. Ini ancaman serius terjadinya masalah sosial. Kerusuhan mudah disulut.

Apalagi ada pihak-pihak tertentu yang ‘bermain’. Senang bikin rusuh untuk agenda politik mereka dengan mengkambinghitamkan kelompok lain, khususnya umat Islam.

BACA JUGA :  Penundaan Pemilu: Dari Jokowi untuk Jokowi?

‘Pemain’ tersebut ada di ring satu kekuasaan. Kejam dan bengis. Menghalalkan segala cara. Demi agenda politik mereka. Rakyat yang menjadi tumbal.

Ketiga, pemberlakuan darurat sipil artinya negara dalam keadaan bahaya. Bahaya pandemi Covid-19 atau kekuasaan Jokowi dalam bahaya. Dua-duanya.

Inilah akibat salah input dan salah hitung. Akhirnya rakyat yang menanggung.

Bandung
6 Sya’ban 1441/31 Maret 2020

Komentar