Tim Advokasi Novel: Pembacaan Dakwaan hanya Formalitas

TILIK.ID, Jakarta- Tim Advokasi Novel Baswedan menilai sidang pembacaan dakwaan terhadap dua terdakwa pelaku penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut hanya formalitas belaka serta tidak berorientasi mengungkap aktor intelektualnya.

“Tim advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka. Sidang dilangsungkan cepat, tidak ada eksepsi, tidak berorientasi mengungkap aktor intelektual, dan kemungkinan besar berujung hukuman yang ringan,” kata perwakilan tim advokasi M Isnur melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Kamis.

Pada hari ini Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Utara membacakan dakwaan terhadap dua polisi aktif dari Satuan Gegana Korps Brimob Kelapa Dua, Depok Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette yang didakwa menyerang penyidik KPK Novel Baswedan.

“Dakwaan JPU menunjukkan bahwa kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa yang tidak ada kaitannya dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK yang selama ini terus diterima oleh para penyidik KPK,” ujar Isnur.

Menurut Isnur, hal itu ditunjukkan dari ketiadaan pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pasal 340 atau pasal pembunuhan berencana sesuai fakta bahwa Novel diserang karena kerja menyidik kasus korupsi dan hampir saja kehilangan nyawanya akibat cairan air keras yang masuk ke paru-paru.

BACA JUGA :  Bogor Siapkan Dua Skenario Hadapi Lockdown

“Kedua, dakwaan JPU sangat bertentangan dengan temuan Tim Pencari Fakta bentukan Polri untuk kasus Novel Baswedan yang menemukan bahwa motif penyiraman air keras terhadap Novel yang berkaitan dengan kasus-kasus korupsi besar yang ditanganinya,” ujar Isnur.

Padahal dakwaan JPU yang mengamini motif sakit hati (membenci) Novel Baswedan, karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi kepolisian sangat terkait dengan kerja Novel di KPK.

“Tidak mungkin sakit hati karena urusan pribadi, pasti karena Novel menyidik kasus korupsi termasuk di kepolisian. Terlebih lagi selama ini, Novel tidak mengenal atau pun berhubungan pribadi dengan terdakwa maupun dalam menyidik tindak pidana korupsi,” ujar Isnur.

Selanjutnya dalam dakwaan JPU juga tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

“Patut diduga jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan. Hal ini bertentangan dengan temuan dari Tim Pencari Fakta bentukan Polri yang menyebutkan bahwa ada aktor intelektual di balik kasus Novel Baswedan,” ujar Isnur pula.

Selain itu, Mabes Polri juga menyediakan 9 orang pengacara untuk membela para terdakwa.

“Hal yang sangat janggal karena perbuatan pidana para terdakwa bukanlah tindakan dalam melaksanakan tugas institusi, namun mendapatkan pembelaan dari institusi kepolisian,” ungkap Isnur.

BACA JUGA :  NA, KPK, dan Jejaring Korupsi di Sulsel

Dengan hadirnya 9 orang pengacara yang mendampingi kedua terdakwa, namun tidak mengajukan eksepsi (nota keberatan), hal tersebut menambah kejanggalan.

“Sidang perdana yang dilangsungkan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara menunjukkan Mahkamah Agung tidak sensitif terhadap ancaman Virus Corona yang mengancam kesehatan publik. Tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah dan sangat berisiko memperluas ancaman penularan Virus Corona,” kata Isnur pula.

Tim Advokasi Novel Baswedan pun meminta agar majelis hakim mampu untuk mengadili kasus tersebut dengan independen dan progresif untuk mengungkap kebenaran materiil dalam kasus Novel Baswedan, sehingga persidangan kasus ini dapat memberikan keadilan bagi korban dan masyarakat.

“Kami juga mendesak agar Komisi Yudisial, Badan Pengawas Mahkamah Agung, Komisi Kejaksaan, Komnas HAM, Ombudsman RI, dan organisasi advokat untuk aktif memantau seluruh proses persidangan kasus ini,” kata Isnur lagi.

Selanjutnya, ia mendesak Komnas HAM memantau persidangan ini, karena terindikasi untuk menyembunyikan jejak pelaku perencana atau penggerak dan jauh dari temuan Komnas HAM.

“Kami mengajak masyarakat dan media tetap mengawal pengungkapan kasus hingga ke aktor intelektual, ‘jenderal’ di balik kasus penyiraman air keras Novel Baswedan,” ujar Isnur.

Dalam dakwaan, JPU mengatakan Rahmat Kadir Mahulette tidak suka atau membenci Novel Baswedan, karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

BACA JUGA :  Perlu Pemisahan Antara Institusi Penegak Hukum dan Lembaga Keamanan Dalam Negeri

Rahmat selanjutnya membuat rencana untuk menyerang Novel dibantu dengan rekannya yang juga anggota Brimob Polri, Ronny Bugis. Aksi tersebut dilakukan pada 8-11 April 2017.

Pada Selasa, 11 April 2017 sekitar pukul 03.00 WIB di Asrama Gegana Brimob Kelapa Dua, Depok, Ronny diminta Rahmat untuk mengantarkannya ke Kelapa Gading, Jakarta Utara, sambil Rahmat membawa cairan asam sulfat (H2SO4) dalam gelas (mug) kaleng motif loreng hijau terbungkus plastik warna hitam.
Ronny pun mengantarkan Rahmat menggunakan sepeda motornya ke rumah Novel sesuai dengan rute yang ditentukan Rahmat.

Sekitar pukul 05.10 WIB, Ronny dan Rahmat melihat Novel berjalan keluar dari Masjid Al-Ikhsan menuju tempat tinggalnya. Pada saat itu, Ronny diberitahu oleh Rahmat bahwa ia akan memberikan pelajaran kepada seseorang, sehingga Ronny diminta oleh Rahmat untuk mengendarai motornya secara pelan-pelan mendekati Novel sambil bersiap-siap menyiramkan cairan asam sulfat (H2SO4) yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Perbuatan keduanya mengakibatkan Novel mengalami penyakit atau halangan dalam menjalankan pekerjaan, kerusakan pada selaput bening (kornea) mata kanan dan kiri yang berpotensi menyebabkan kebutaan atau hilangnya panca indra penglihatan. (iwk/ant)

Komentar