Efek Berang Brigjen Junior

Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

BRIGADIR Jenderal Junior Tumilaar berang. Dipicu ulah korporasi besar (real estate) yang (dianggap) mencaplok tanah rakyat. Pencaplokan itu berakibat bubarnya tatanan kehidupan masyarakat setempat yang sudah menyejarah. Peristiwa itu berbuntut pemanggilan-penahanan seorang Babinsa oleh Polisi.

Setidaknya, ada dua hal yang membuat Brigjen Junior berang: kesemenaan korporasi terhadap rakyat yang menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat, dan tindakan terhadap Babinsa yang dinilai tidak proporsional dan tidak prosedural. Cara yang dipilih sang Brigjen memang unik: mengirim surat pribadi (tulisan tangan) kepada Kapolri. Dan, mengeksposnya melalui media sosial. Tentu saja memicu kehebohan.

Konflik seputar tanah antara korporasi versus rakyat memang masalah serius di negeri ini. Karena, dimana-mana, rakyat lemah – tak berdaya. Maka, korporasi (selalu) menang. Situasi ketidakadilan yang menunjukkan keberadaan negara dalam ketiak kapital. Brigjen Junior membela rakyat karena menjunjung tinggi komitmen dan eksistensi TNI sebagai tentara rakyat. Dan, Babinsa unsur ‘terdepan’ dalam sistem pertanahan negara, karena Babinsa berinteraksi langsung dengan rakyat di medan akar rumput.

TNI seturut sejarahnya memang lahir dari rakyat. Cikal bakalnya: laskar-laskar rakyat (Hizbullah, Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia-BPRInya Bung Tomo, PETA, dll), pada masa revolusi kemerdekaan yang bercorak perang gerilya-perang semesta, yang hanya mungkin dilakukan dengan melibatkan-dukungan penuh rakyat.

Sekadar ilustrasi, para pengusaha rokok kretek di Kudus dan sekitarnya yang umumnya dari kalangan muslim, memberikan bantuan keuangan yang signifikan kepada laskar-laskar revolusi (Sri Margana, 2014.).

Setelah mencapai kemerdekaan, dilakukan pengorganisasian secara rasional dan sesuai kaidah militer moderen. Terbentuklah TNI. Tentu dengan ongkos sosial politik yang tidak kecil. Isu rasionalisasi itu memicu konflik-gejolak di kalangan tentara pada masa-masa awal.

BACA JUGA :  Presiden Dilarang Bilang “Tidak Tau Adanya RUU HIP”

Jenderal Besar Soedirman, yang memang murni berangkat dari rakyat, sebagai Pimpinan Tertinggi TNI, didampingi Bung Tomo sebagai Wakil Panglima dengan pangkat Letjen, sebelum mengundurkan diri karena lebih memilih memimpin BPRI (Poeze, 2017), menggariskan doktrin Tentara Rakyat. TNI menyatu-manunggal dengan rakyat.
Kemanunggalan itu mengilhami-direfleksikan Gesang melalui tembang ‘Caping Gunung’. Dengan demikian, TNI tak bisa dipisahkan dari ‘politik rakyat’: keselamatan bangsa, kedaulatan negara, …..

Doktrin itu dicanggihkan P. Harto-penguasa Orba dengan Dwi Fungsi ABRI. Dapat dimengerti bila politik luhur yang dimaksudkan fungsi sosial politik dalam Dwi Fungsi itu: kedaulatan negara, keselamatan rakyat, keadilan, …… Kenyataannya, Dwi Fungsi lebih berguna meligitimasi dan membuka jalan bagi tentara terlibat dalam politik sehari-hari yang sarat kekerasan. Jadilah Indonesia Orba negara otoritarian birokratik yang backbone-nya tentara.

TNI trengginas berkiprah dalam semua lini kehidupan masyarakat-bangsa melalui skema militer sebagai institusi, militer yang disipilkan, dan tokoh-tokoh militer yang terus berkarya, melalui Golkar yang memiliki 3 kanal: A (ABRI), B (Birokrasi), dan G (Golkar). Bidang garap utamanya: politik dan ekonomi-bisnis. Juga mengurus sepak bola (PSSI). Tentu watak praetorian (pengaja penguasa untuk kepentingan ekonomi dan politik) tak terhindarkan. Karena Orba cukup lama berkuasa, tak aneh bila watak itu terinstitusionalisasi- mendarah mendaging.

Reformasi mengubah segalanya. Termasuk TNI. Karena, demokrasi liberal tak terelakkan, supremasi sipil tak dapat ditawar. Tentara kembali ke barak. AHY tampaknya membaca secara tepat perubahan itu. Maka, memilih pensiun dini, cukup dengan pangkat Mayor. Dalam doktrin Tentara Rakyat tentu tak dikenal mundur-pensiun dini dalam keadaan segar bugar. Tapi, wajar bagi tentara professional. Maka, harus dilakukan perubahan orientasi-doktrin TNI.

BACA JUGA :  Jokowi vs Puan Maharani

TNI paska reformasi adalah TNI professional, yang harus hanya berurusan dengan pertahanan negara-teknis perang. Layaknya militer Amerika.

Bila tak salah tangkap, itulah poin pokok yang hendak disampaikan Jenderal Agus Wijoyo, Gubernur Lemhanas, ketika menjelaskan tindakan Brigjen Junior dinilai salah-melanggar Undang-Undang Tentara. Brigjen Junior dianggap masih berorientasi-doktrin lama.

Memang, penjelasan Jenderal Agus mengandung pernyataan-pernyataan yang mengacaukan logika demokrasi, juga kedaulatan di tangan rakyat, (Rakyat milik Presiden …..), sehingga menimbulkan kerancuan berpikir dan dikritik keras sejumlah pengamat.

Pada dasarnya, tidak masalah terjadi perubahan doktrik TNI. (Tentu itu isu krusial bagi TNI). Karena, TNI masa kini harus profesional, moderen, menempatkan diri sesuai tata sistem demokrasi, layaknya US Army. Itulah tuntutan dan kebutuhan aktual. Tapi menjadi persoalan besar ketika:

Pertama: budaya supremasi sipil belum mapan, apalagi tidak bertanggungjawab. Bukan karena ada atau tidak ada tokoh sipil yang hebat, tapi lebih karena kemapanan supremasi hukum, praksis demokrasi, dan akal sehat. Tanpa prasyarat itu, TNI rentan menjadi alat penguasa untuk memertahankan kepentingan politiknya, seraya menelantarkan rakyat, membahayakan bangsa dan negara.

Kedua: TNI sendiri setengah hati terhadap doktrin dan orientasi barunya sebagai tentara professional. Misteri yang mengiringi proses pergantian Panglima, Perang melawan spanduk di Petamburan, pengerahan pasukan untuk menghadang demo mahasiswa, pernyataan semua agama sama, radikalisme, …. mengindikasikan TNI masih kental dengan urusan dan pengaruh politik sehari-hari. Selaras perubahan doktrin itu, mestinya nama TNI berubah menjadi Tentara Indonesia (TI) saja, untuk memutus kesinambungan dan beban historis serta menandai kelahirannnya pada era (paska) reformasi. Pengorganisasiannya juga harus disesuaikan. Sementara ini masih persis jaman Orba: Kodam sampai Koramil.

BACA JUGA :  Pontifex dan Koyaknya Langit Suci

Ketiga: TNI sebagai institusi dan personil, khususnya tokoh-tokohnya, para perwira tinggi, harus konsisten menerima konsekuensi dan pembagian bidang kerja-pengabdian. Tidak mencampuradukkan karir tentara professional dengan politik, bisnis. Para jenderal US Army setelah pensiun tidak lantas berbondong-bondong menjadi anggota DPR, mendirikan Parpol, berdesakan masuk kabinet melalui pintu tim sukses Capres. Karena, semua itu pasti menimbulakan konflik kepentingan yang merusak tatanan bernegara.

Keempat: budaya praetorian ekonomi juga harus dikikis dari tubuh TNI. Rangkap kegiatan sebagai tentara profesional dan pebisnis yang menggurita juga harus dicegah. Karena potensial terjadi penyipangan-penyalahgunaan kewenangan, sebagaimana dilansir sejumlah LSM Nasional yang meneliti bisnis pertambangan di Papua, juga Pandora Paper.

Bila tidak demikian, rakyat pasti terpuruk – menjadi korban. Karena tidak ada lagi pihak yang membela, sebagaimana Brigjen Junior, sementara semua pihak yang mengklaim atas nama rakyat, beramai-ramai menganiaya rakyat. Lain soal bila Bung Tomo hidup kembali. Setidaknya, rakyat punya pilihan: bergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia. (lms)

Komentar