Best Friend or Worst Enemy

by M Rizal Fadillah
(Pemerhati Politik dan Kebangsaan)

KEMENANGAN Taliban dan mengusir Amerika suatu hal yang besar. Joe Biden Presiden AS menyebut evakuasi tentara dan orang-orang sekutunya adalah misi terbesar dan tersulit. Peristiwa Vietnam terulang dengan lebih menyedihkan. Betapa dahsyat “blitzkrieg” pasukan Taliban memguasai Kabul. Tak ada pilihan selain cepat kabur.

Uni Sovyet, Inggris, dan kini Amerika merasakan ketangguhan pejuang-pejuang Afghanistan yang anti imperialisme. Sulit menaklukan hingga tuntas atau selesai. Melelahkan dan membuat putus asa. Untuk menangkap dan membunuh dua tokoh Gulbuddin Hekmatyar (Mujahidin) dan Mullah Omar (Taliban) saja Amerika dan penguasa bonekanya tidak mampu. Pejuang Afghanistan adalah “the worst enemy”.

Agama Islam yang membentuk kepribadian dan kekuatan mentalnya di samping pantang menyerah juga memiliki kemampuan untuk menggalang solidaritas. Mujahidin tak dapat mengusir Sovyet tanpa solidaritas rakyat, begitu juga Taliban tidak bisa mengusir Amerika tanpa simpati rakyat. Diplomasi dunia dengan pola yang soft and smart mampu membangun kepercayaan dan harapan. Mereka adalah “the best friend”.

BACA JUGA :  Pesaing Anies, Jangan Sembunyi di Belakang Buzzer

“Best friend or worst enemy” menjadi julukan para pejuang Afghanistan. Nah kini siapapun dapat melakukan pilihan salah satu di antara keduanya. Indonesia tidak terkecuali. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut “Afghan owned and Afghan led” untuk menunjukkan empati penyelesaian oleh bangsa Afghanistan sendiri. Indonesia sejak awal telah ikut berkontribusi dalam proses perdamaian sebagai “co-fasilitators” atau “like minded” di Afghanistan. Retno Hadir menyaksikan pertemuan perdamaian di Doha Februari 2020.

Nah kini sikap Pemerintah dan para pendukung diuji konsistensinya dalam menempatkan Taliban sebagai best friend. Tetap mendorong perdamaian atau justru memojokkan dengan stigma negatif sebagai teroris atau kelompok radikal. Jika Pemerintah tetap konsisten degan prinsip mendorong perdamaian dan “Afghan owned and Afghan led” maka cegah stigma negatif.

Para Islamophobia, buzzer bayaran, serta tokoh penghasut, termasuk tokoh agama, yang terus memprovokasi bahaya Taliban untuk Indonesia dengan mengaitkan terorisme, radikalisme, atau ekstrimisme haruslah dicegah dan ditindak. Karena hal ini justru kontra produktif dan hanya akan menciptakan keretakan di dalam negeri. Membangun konflik yang tidak perlu. Simpati pada keberhasilan Taliban bukan bagian dari terorisme. Jangan bodoh dan sempit dalam berpandangan.

BACA JUGA :  Setelah Holywings, Apalagi?

Semoga bangsa Indonesia menjadikan Afghanistan sebagai “best friend” dan tidak memusuhinya sebab mereka itu bukan kelompok dan bangsa kaleng-kaleng. Kita pun tidak mau tentunya dianggap sebagai bangsa kaleng kaleng oleh yang dapat menjadi “the worst enemy”.

Bandung, 23 Agustus 2021

Komentar