Kecerdasan Sosial Diperlukan untuk Pengelolaan Bencana Pandemi Covid-19

Oleh: Dr. Yogi Prabowo, SpOT
(Pendiri, Relawan dan Presidium MER-C)

BANYAK permasalahan sosial timbul akibat kegagalan dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat, sehingga antara masyarakat, pemerintah dan nakes tidak bisa berjalan sinergis bahkan sering bertolak belakang. Sikap dan pandangan mereka tidak sama, ada yang sangat ketakutan, ada yang biasa-biasa saja dan malah ada yang “menantang” Covid-19 itu sendiri.

Polarisasi sikap-sikap ini adalah hasil pengelolaan yang sudah keliru sejak awal, sehingga antara nakes, masyarakat dan pemerintah memiliki keyakinan masing-masing.

Nakes keseharian bertemu dengan pasien Covid-19 mulai dari yang ringan hingga yang berat. Banyaknya nakes yang wafat cukup menimbulkan psikotrauma bagi nakes. Untuk ini sikap nakes pun terbelah tergantung pada level dampak psikotrauma yang ditimbulkan. Nakes yang sudah lelah menghadapi pasien Covid-19 yang tidak berhenti-berhenti mengalir ke prakteknya akan bertambah psikotraumanya ketika melihat masyarakat abai dalam menjalankan prokes dan akan cenderung merekomendasikan Lockdown ketimbang solusi yang lain. Namun ada juga nakes yang berupaya meraba rasakan kesulitan yang terjadi di masyarakat itu sendiri dan memahami untuk mencari solusi.

BACA JUGA :  Upaya Putuskan Covid-19, Pertamina Bantu 5.000 APD Kepada BNPB

Di sisi lain masyarakat juga terbelah sikapnya. Ada yang ketakutan berlebihan akibat melihat kerabat, teman yang terkena Covid-19 yang berat lalu meninggal. Sementara ada yang menganggap Covid-19 itu biasa saja karena mereka melihat kerabat, kawan kena Covid-19 yang ringan akan sembuh sendiri, hongga malah ada yang menantang karena menganggap Covid-19 itu bohong, sebab mereka melihat yang kena Covid-19 baik-baik saja. Apalagi mereka disuruh lockdown yang akan mengganggu ekonomi mereka, maka timbullah “perlawanan”, berkembanglah pemikiran-pemikiran “liar” ke berbagai arah mengkait-kaitkan dengan berbagai aspek seperti politik, dll.

Situasi pelayanan medis diperburuk dengan sikap-sikap ketakutan dan panik yang membuat mereka dikit-dikit datang berbondong-bondong memenuhi IGD dan RS, menyebabkan overload RS dan gagal pelayanan. Sebenarnya bagi penderita Covid-19 yang ringan akan banyak bahaya dan kerugiannya bila datang ke IGD atau RS, yaitu:

1. Apabila pasien Covid-19 banyak berkumpul, akan menyebabkan “viral load” di ruangan tersebut tinggi, malah akan bisa memperburuk resiko infeksinya;

2. Nakes akan kehilangan fokus dalam mengelola pasien karena banyaknya pasien sehingga bisa timbul kelalaian;

BACA JUGA :  Uji Air Sisa Tambang Emas Martabe, PT AR Konsisten Jaga Kualitas

3. Pasien-pasien yang non Covid-19 bisa tertular Covid-19;

4. Resiko nakes terinfeksi akan lebih tinggi sehingga akan membahayakan pelayanan menyebabkan gagal atau kolapsnya pelayanan.

Egoisme yang timbul hanya akan berdampak buruk dan menyebabkan karamnya kapal pelayanan. Membiarkan situasi “head to head” antara nakes dan masyarakat ini dimana keduanya adalah termasuk “korban bencana” yang sama-sama mengalami psikotrauma, hanya akan menimbulkan konflik berkepanjangan, perang medsos berkepanjangan. Contoh teranyar adalah kisruh Covid-19 di Madura.

Sejatinya secara etika para “korban bencana” ini jangan dibiarkan “head to head” yang akan menyebabkan secondary disaster. Namun perlu dikelola dengan kecerdasan sosial yang mumpuni. Kisruh seperti di atas harusnya bisa dijembatani dengan melibatkan ulama, karena karakter orang Madura yang taat kepada ulama. Harusnya ulama jangan hanya didekati dan dilibatkan ketika menjelang pilpres, tetapi juga libatkan, masukkan ke dalam satgas Covid-19.

Pertanyaannya siapa yang mengelola tersebut? Harusnya pemerintah bisa memposisikan diri, organisasi profesi, organisasi masyarakat, dll. Mereka harusnya menahan ego, bersatu, bahu membahu menyusun langkah strategis dan nyata dalam menghadapi situasi.
“Dialah”nya malah diantara mereka juga sering tidak sejalan.

BACA JUGA :  Reshuffle Kabinet, Prabowo dan Sejumlah Menteri Dipanggil ke Istana

Pemerintah dengan “tugas politik” nya kerap mengabaikan masukan-masukan dari para pakar. Di sisi lain organisasi profesi kerap mengambil sikap “All or None” tak mau kompromi terhadap situasi, memberikan anjuran ekstrim tanpa mencermati aspek lain dalam masyarakat. Misalnya; polemik sekolah tatap muka, tanpa solusi cerdas. Para organisasi profesi ini harusnya jangan berperan hanya sebagai Wakil yang mewakili suara para nakes yang terdampak bencana, tapi harus bisa lebih menjadi Jembatan komunikasi baik itu ke masyarakat ataupun pemerintah. Sehingga bisa duduk bareng, mengukur resiko dan menghasilkan solusi jalan tengah yang nyata. Oleh karena itu, mari kita kedepankan “kecerdasan sosial” kita dalam mengelola pandemi ini.

Salam Cerdas Kemanusiaan.

Komentar