Oleh Moh. Bahri, S.Pd.I., SH
(Anggota DPRD Prov. Banten, Fraksi Gerindra, dan Presidium MD KAHMI Kab.Tangerang)
MAULANA Jalaludin Rumi saat ditanya musik jenis apa yang haram? Sang sufi menjawab: musik yang berasal dari suara sendok dan piring di meja makan orang kaya, yang terdengar oleh orang miskin yang kelaparan.
Paragraf di atas memang sebentuk satire. Sindiran halus untuk dua hal yang kontras. Tentang “yang berkelebihan” dan “yang berkekurangan”. Sekaligus menohok kita tentang masalah kepedulian.
Poin ini, yakni kepedulian, yang wajib menguat lebih ketat. Bukankah saat ini musibah nyaris tak lagi pilih-pilih?
Bangsa kita didera aneka prahara. Di darat, laut, udara! Pesawat Sriwijaya Air yang jatuh di awal tahun. Banjir, longsor, gempa, erupsi gunung berapi, terorisme, pandemi, dan baru-baru saja: tenggelamnya KRI Nanggala 402.
Jelas korban yang terkena bisa siapa saja. Miskin, kaya, khalayak jelata, prajurit, pejabat, pengusaha, dosen, mahasiswa dan semua!
Skala musibah pun selalu mengguncang. Tak alang kepalang.
Al-Qur’an memberikan perspektif tegas, bahwa musibah hanya terjadi atas izin Allah (At Taghabun, Ayat 11). Prahara yang membawa duka, juga bisa berbentuk sebagai ujian, teguran, untuk mengasah kualitas keimanan (Al Ankabut, Ayat 2-3 ).
Istimewanya, Al-Qur’an tak melulu mengurai aspek musibah. Melainkan juga sikap terbaik menghadapinya. Yakni agar kita kian meneguhkan kesabaran (Ali Imron, Ayat 200). Seraya menuntun kita agar meminta pertolongan Allah dengan sabar dan shalat (Al Baqarah, Ayat 45).
Inilah peta jalan menghadapi musibah versi Al-Qur’an.
Sementara kerangka panduannya adalah: jangan takut dan jangan bersedih atas segala cobaan (At Taubah, Ayat 40). Dan bila kita bersikap reaktif negatif, maka Al-Qur’an menyindir kita sebagai “manusia tukang mengeluh (Al Ma’arij, Ayat 19-21).
Begitu sistematis “alur pikir” Al-Qur’an atas musibah. Memberi penjelasan dari aspek definisi, teori, dan solusi. Inilah salah satu kehebatan Al-Qur’an, yang menurut Prof. Dr. Quraish Shihab, selalu memuaskan otak dan hati.
Kaidah ilmu pun memiliki kerangka yang mirip. Para psikolog dan ahli ilmu jiwa, memastikan bahwa mereka yang bersabar, tabah, terus optimis, dan peduli sesama, adalah yang paling mampu untuk menghadapi musibah.
Sebaliknya, individu atau kelompok yang lembek, pengecut, dan mudah marah atas musibah, paling membinasakan (untuk diri dan sekelilingnya).
Victor Frankl dalam buku Mans Search Meaning (Manusia Mencari Makna), menyebut ini sebagai daya proses adaptasi jiwa.
Manusia yang bisa bertahan di tengah musibah adalah mereka yang terus mengerjakan kebaikan-kebaikan (meski terlihat sepele).
Merawat kebaikan hati (dengan tidak dengki). Merawat kebaikan tindakan (menolong sesama yang juga tertimpa bencana). Merawat harapan (percaya ada sisi baik, hikmah di balik musibah).
Dalam kajian psikologi terkini, semua itu disebut: advertisy quotient, alias kecerdasan mengatasi masalah.
Kecerdasan mengatasi masalah adalah kombinasi istimewa atas kerja otak, hati, dan keimanan.
Mereka yang genius secara intelektual belum tentu menjadi paling tabah saat kena musibah. Bisa jadi justru malah frustrasi lalu bunuh diri.
Mereka yang dikenal santun, murah senyum, dan berkarakter baik, juga belum tentu tahan saat menghadapi cobaan. Bisa jadi mereka berubah pemberang dan pemarah.
Maka butuh satu lagi tiang penyangga, agar manusia lulus dari ujian (besar atau kecil). Yakni keteguhan Iman. Dalam bahasa ilmu pengetahuan, disebut God Spot, titik keberadaan Tuhan.
Insan yang memegang teguh tauhid, percaya bahwa segalanya datang dari Allah. Lantas hatinya memohon bimbingan agar diberi kesabaran. Perilakunya tetap dijaga untuk selalu mengerjakan amal kebajikan. Dan otaknya tetap berfungsi berfikir mencari solusi.
Inilah potret kecerdasan qur’ani. Yakni melihat masalah secara utuh, tidak grasa grusu.
Jika karakter kecerdasan qur’ani ini menguat, maka Insya Allah bangsa ini keluar dari musibah lantas meraih berkah.
Karena tetap berprasangka baik atas segala yang terjadi. Terus giat mengerjakan amal ibadah. Seraya tekun mencari jalan keluar. Dan semua itu dihiasi dengan sikap peduli.
Dalam suasana Nuzulul Qur’an ini, mari kita tarik refleksi diri. Agar memperkuat kecerdasan qur’ani. Wallahu a’lam bisshawab.
Komentar