KLB versus KLB

bang sèm

KAMERA yang dipergunakan merekam peristiwa politik sebagai matahati, dari masa ke masa, selalu menghadirkan pelajaran menarik tentang berbagai hal yang kontradiktif dan kontroversi satu dengan lainnya.

Kamera yang dipergunakan sebagai matahati dan dikendalikan dengan keseimbangan nalar, naluri, rasa dan indria yang selaras menghadirkan berbagai isyarat yang mendidik kita untuk membedakan mana kejujuran dan ketidakjujuran, mana kebenaran dan dusta, mana kebaikan dan keburukan, mana kecerdasan mana pula kebebalan, pun mana keikhlasan mana pula kemunafikan.

Perhatikan dengan seksama raut sekaligus watak manusia yang terekam dalam peristiwa politik itu. Coba kumpulkan foto peristiwa-peristiwa historis politik sejak era pra kemerdekaan sampai yang terjadi kemarin atau hari ini. Pergunakan mata kita sebagai matahati juga, ambil jarak — untuk menjaga independensi — dengan setiap hasil rekaman gambar (terutama videotik). Segera kita akan menyaksikan beberapa KLB di situ. Paling tidak tiga KLB.

Pertama, KLB – Kelompok Liar Berangasan. Meski figur-figur yang terekam dalam gambar berusaha akting disertai dengan retorika (secara audial) yang dipatut-patutkan, mereka yang berjiwa liar, berangasan, khianat, pandai memutar-balikkan fakta, munafik dan rendah moral, tak bisa menyembunyikan dirinya sebagai bagian dari KLB ini. Bara murka, marah, culas, ambisius, dan sejenisnya nampak dengan jelas pada gambar yang terekam kamera.

Kedua, KLB – Kelompok Legawa Bijaksana. Dengan atau tanpa mematut-matut diri, apalagi berakting, gambar rekaman manusia dalam suatu peristiwa politik yang tampil di media, dengan jelas menghadirkan figur-figur manusia atau pemimpin yang legawa dan bijaksana dalam menjalan kehidupan. Kesejukan, keikhlasan, kearifan, nampak di wajah-wajah mereka.

BACA JUGA :  Jokowi Tumbang oleh Ulah Menteri

Ketiga, KLB – Kelompok Lugas Bernas. Gambar-gambar yang terekam oleh kamera juga menghadirkan sosok-sosok pribadi yang lugas dan bernas. Wajah mereka tak menyembunyikan kecerdasan, meski mereka terkesan berusaha untuk merendah hati. Ekspresi lugas dan bernas yang tertampak dari rekaman wajah mereka, mengirim berbagai isyarat kecenderungan diri mereka saat memikirkan atau tidak memikirkan sesuatu. Sekaligus mengirimkan signal bagaimana suasana hati mereka saat menghadapi suatu masalah yang kompleks, rumit, bahkan berisiko.

Di antara ketiga KLB tersebut terdapat berbagai varian yang menunjukkan karakter masing-masing figur-figur yang cenderung fleksibel untuk beradaptasi dengan masing-masing KLB. Ada yang menampakkan sosok yang cenderung luwes berani, dan lain-lain.

Setiap orang tak pernah sadar, wajah mereka merupakan representasi karakter pribadi mereka, atau jendela yang memperlihatkan apa yang ada di dalam diri, termasuk watak dan karakter asli yang menjelaskan, manusia macam bagaimana dia.

Fisiognomi (dari bahasa Yunani φύσις physis) sebagai praktik menilai karakter atau kepribadian seseorang dari penampilan luarnya — terutama wajah, atau sering disebut sebagai pseudosain dalam definisi kontemporer, memandu siapa saja untuk mengenali siapa sungguh manusia-manusia dan bagaimana watak mereka dalam suatu peristiwa politik. Sejalan dengan kaidah, wajah dan auranya menunjukkan hati manusianya. Bahkan memandu kita untuk melakukan introspeksi tentang diri kita sendiri.

BACA JUGA :  Formula E, Event Internasional yang Dijegal

Saya menggunakan cara ini untuk mengetahui (khususnya bagi kepentingan diri sendiri) bagaimana karakter manusia di dalam suatu kelompok (organisasi, khasnya partai politik). Ini penting bagi saya, sebagai langkah awal mendekati masalah dan kemudian menyigi sumber masalah, sehingga dapat memahami apa sungguh pemantik atau pemicu suatu friksi atau konflik politik terjadi.

Dengan menggunakan instrumen fisiognomi pula, biasanya saya menunjukkan sikap dalam mencermati friksi dan konflik yang terjadi di dalam partai politik. Karena biasanya, friksi yang cepat berkembang dalam konflik suatu partai politik

Melihat model friksi dan konflik di lingkungan partai politik yang selama ini terjadi, mulai dari PKB, PPP, Golkar, dengan pendekatan ini saya melihat secara budaya terjadi degradasi yang merisaukan. Terutama, karena partai politik didominasi oleh para politisi dan amat sedikit negarawan.

Akibatnya partai politik cenderung sibuk dengan pusaran kekuasaan dan habitus politik yang karib dengan insinuasi, infiltrasi, intervensi, dan segala aksi taktikal yang membawa serta kepentingan sesat sesaat. Maka salah satu fungsi utama edukasi politik – kaderisasi bukan menjadi sesuatu yang prioritas.

BACA JUGA :  Kita Ini Bangsa Apa?

Partai politik cenderung membiarkan dirinya menjadi ajang sengketa internal yang membuka peluang bagi masuknya kepentingan eksternal. Di situ, terasa sekali pragmatisme yang diwarnai oleh transaksi politik. Muaranya, jelas terbukanya ruang oligarki politik.

Mungkin karena itu juga pada proses rekruitmen kader, pimpinan dan pengurus partai politik, ogah menggunakan berbagai instrumen seleksi yang obyektif, seperti psikometri atau instrumen lain.

Sejumlah teman, pimpinan dan pengurus partai politik dan anggota parlemen dalam diskusi internal di luar lingkungan partai politik, menyatakan terus terang, logika saya tak relevan diterapkan di era politik praktis kini.

Boleh jadi pandangan mereka benar. Namun, saya tetap pada pandangan, instrumen-instrumen seperti psikometri dan fisiognomi diperlukan dalam proses seleksi kader. Terutama, ketika partai politiik hendak diposisikan sebagai ekspresi peradaban. Paling tidak, ketika budaya politik hendak dihidupkan dalam konteks yang lebih luas, transformasi politik.

Friksi atau konflik politik yang hanya berkisar sebagai wujud pertikaian KLB versus KLB, akan membuat kepercayaan rakyat terhadap partai politik rontok. Apalagi ekspresi yang nampak di media, yang senang sekali menghadirkan pertikaian sosial, lebih banyak wajah-wajah kelompok liar berangasan. Tak pandai berdebat, tapi jago sentak sengor lebih banyak berkilah dan beralasan sambil tak tahu cara terbaik berargumentasi. Neurotik! |

Komentar