Pemerintah Sepi, Polisi Bernyali

by: Ludiro Prajoko                              (Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

DIAM itu emas, kata pepatah. Tak ada yang membantah. Karena, tak ada yang ingin dicap: kerak besi. Tapi, pepatah itu tidak berlaku bagi Pemerintah. Kecuali bila ingin dianggap: Pemerintah tai besi. Belum pernah terjadi yang begitu. Terbukti, tak ada paragraf dalam sejarah tentang pemerintahan tai besi.

Keanehan memang terjadi. Pemerintah sepi, tak bersuara terkait tragedi-pelanggaran berat HAM: Polisi menembak mati 6 anggota FPI. Dunia ramai, tapi, sejauh ini, pemerintah belum memberikan pernyataan resmi. Menkopolhukam tampaknya menahan diri. Tak seperti biasanya, gemar membikin panas hati.

Mengemuka berbagai tuntutan dari para tokoh, ormas, lembaga NGO yang berkompeten dalam isu HAM dan penegakan hukum: Bentuk Tim Independen Pencari Fakta, copot Kapolri dan Kapolda Metro Jaya, adili polisi pelaku pembunuhan.

Menarik dicermati tanggapan Senayan. Fraksi PKS dan Demokrat, mengeluarkan pernyataan mendukung pembentukan Tim Pencari Fakta. Komisi III menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan keluarga korban pembunuhan. Publik bisa mengakses melalui berbagai saluran. Tanpa Gerindra dan PDI-P, tentu RDPU tak bakal digelar. Gejala baik paska dua orang menteri ditangkap karena korupsi.

BACA JUGA :  Segunung Etika Cara Anies Berpolitik

Sejauh ini, Pemerintah diam. Mengapa? Bisa jadi:
Pemerintah dan rakyat memang bersimpang jalan. Rakyat menempuh jalur lurus, Pemerintah serong kiri. Perpisahan dengan elevasi 45 derajat, menurut geometri. Tak bertemu dalam kehendak dan kepentingan. Enam orang dibunuh secara keji, menjadi konsekuensi. Atau,

Tragedi itu: sesuatu yang terjadi di luar kendali Pemerintah. Menyimpang dari protap misi. Bukan kreatifitas atau kesalahan teknis di lapangan, tetapi akibat intervensi sub-sub kuasa atau metakuasa yang leluasa memengaruhi jalur komando operasi, dengan aneka kemungkinan kepentingan: idelogis sampai pemberitaan terkait korupsi. Atau,

Tragedi itu mungkin, memang sesuatu yang diperhitungkan dalam analisis-penilaian situasi. Menjadi semacam testing the water, sebagai bagian dari simulasi grand strategy guna menakar daya gugat kekuatan oposisi.

Pemerintah tampaknya sudah bulat memerangi kubu oposisi yang mengusung revolusi akhlak ini. Didukung polisi yang sangat bernyali. Hanya selang sehari dari pemakaman korban pembantaian, Polda Metro Jaya menetapkan HRS sebagai tersangka tindak pidana kerumunan.

Publik jelas-jelas memandang itu sebagai ketidakadilan dalam penegakan hukum. Polisi sudah hilang rasa peduli terhadap penilaian publik, dalam dan luar negeri, terhadap penegakan hukum di negeri ini. Polisi menunjukkan secara tegas, dirinya tidak berurusan dengan sejarah. Tapi, belum dapat dipastikan, tindakan itu: kriminalisasi atau siasat untuk bernegosiasi.

BACA JUGA :  Bunda Merry Pahlawan Kita

Maka, dapat dimengerti bila Pemerintah dalam menghadapi kasus tregedi yang menimpa 6 anggota FPI, sepi dan berteguh hati. Karena: aparat koersi berbaris rapi di depannya. Pemerintah tentu paham sekali, isu HAM tak lagi bertemu dengan konstelasi politik diaras nasional maupun internasional yang telah berubah cukup mendasar.

Sementara, kekuatan oposisi tak cukup terkonsolidasi. Pemerintah bergerak cepat, mendahului, mumpung kekuatan oposisi, belum memiliki road map yang pasti.

Komentar