TENTARA

by: Ludiro Prajoko

JENDERAL Sudirman memutuskan: Gerilya! Presiden Soekarno berjanji bergabung. Belakangan beliau berubah pikiran dan, memutuskan tak pergi dari Ibu Kota.

Sejak awal Republik ini, hubungan Tentara dengan politik, menjadi isu krusial, dilematis. Tampaknya, sampai hari ini, belum selesai. Doktrin tentara jelas dan tegas: tentara bukan kelompok partisan. Ideologi dan politik Tentara: Negara.

Boleh jadi, Cokro Aminoto orang pertama yang membayangkan negara itu. Pada lambang SI tahun 1917, beliau simbolisasikan dengan gambar jantung hati: sesuatu yang didamba, dicinta. Di dalamnya ada gambar pantai, sebuah sampan menuju matahari terbit, dan seekor banteng utuh.

Negara memang menyaratkan adanya wilayah, rakyat, pemerintahan. Juga ideal-ideal yang dibayangkan dapat digapai bersama: keadilan, kesejahteraan, …

Pada kedua sisi gambar jantung hati itu, tertancap aneka senjata tradisional, khas Nusantara. Negara memang harus dijaga, dilindungi, oleh kekuatan bersenjata: Tentara.

Bagaimana seharusnya Tentara menjaga dan melindungi negara? Perang, bila rongrongan dari luar. Selebihnya, menjadi perkara yang tak mungkin disterilkan dari politik. Karena itu, harus berdasar hukum. Rumitnya, tak mudah dipraktikkan.

BACA JUGA :  Apresiasi Tinggi Masyarakat Melayu untuk Anies Baswedan

Sejarah menyimpan catatan melimpah. Dalam Negara Orla, (dapat dipahami bila) Tentara terseret arus ideologi, mengalir dalam kanal-kanal idelogi – partai politik. Juga ada Tentara Soekarnois. Peristiwa-peristiwa penting terjadi: Pemberontakan Madiun, Dewan Gajah, Banteng, dan G 30 S/PKI.

Lalu dikoreksi dan dimurnikan oleh Negara Orba. Pancasila, UUD 45, NKRI, …. Tak bisa diutak-atik. Tapi yang mewujud: Negara Otoritarian Birokratik, dan Tentara menjadi soko guru utamanya. Tentara mengurus politik sehari-hari. Perang dan politik menjadi tautan seturut wejangan Von Clausewitz.

Negara Reformasi menggiring tentara kembali ke barak. Perubahan deras berlangsung di luar barak: amandemen, supremasi sipil, demokrasi liberal, ….. Pancasila bukan barang sakral, dapat dipertanyakan, dan UUD 45 sepakat diubah.

Negara dalam doktrin dan realitas tak selalu kongruen. Faktor krusialnya: Pemerintah. Pemosisian Tentara dalam _Negara Indonesia Baru_ jelas dan tegas: melindungi Negara dan rakyat, mengedepankan kepentingan Negara, suci dari politik partisan.

Tapi, Tentara tampak kikuk dihadang supremasi sipil: sekecil apapun pelibatan tentara dalam wilayah sipil harus dengan keputusan politik (DPR-Presiden), dan demokrasi: tatacara membentuk pemerintahan.

BACA JUGA :  Arab Saudi Buka Kembali Umroh Internasional, Syaratnya Cukup Ketat

Masalah muncul ketika asumsi-asumsi: Demokrasi memuliakan kepentingan rakyat, Pemerintah memuliakan kepentingan Negara, Trias Politika bukan rumah pelacuran, ….. terbukti menipu.

Karena, pada kenyataannya, Pemerintah (dipimpin seorang Presiden yang dipilih melalui mekanisme, dan dibangun sesuai tatanan kelembagaan: demokrasi), dimana-mana, gampang menjelma menjadi penguasa. Lalu, mengingkari Negara, berkelahi dengan rakyat. Tapi, kuat, karena penguasa dapat mengatur Tentara berdiri gagah di depannya, dengan menyandang peralatan tempur.

UUD 45 memang tidak menyatakan Tentara sebagai wasit yang menengahi pertikaian: rakyat dengan penguasa, kepentingan Negara dengan kepentingan penguasa. Sesuai Pasal 30 ayat 3 (hasil amandemen kedua) Tentara: sebagai alat Negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan Negara.

Boleh jadi, ada yang terlewatkan dari amandemen: MPR tak mengutak-atik pasal 10, Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Dari zaman ke zaman, Tentara tak lepas dari kerentanan terjebak kekaburan antara menjaga-melindungi penguasa dengan Negara.

Tampaknya, ada persoalan hukum, Tentara dalam politik, yang belum tuntas. Disamping persoalan manusiawi: Tentara juga manusia, memiliki hasrat, gagasan, mertua, anak, yang sebagaian juga Tentara.

BACA JUGA :  Calon Walikota, Apa yang Salah dengan Anak Jokowi?

Komentar