Diberi Raport Merah, Jokowi Mesti Evaluasi

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

TANGGAL 20 Oktober 2020, genap setahun pemerintahan Jokowi periode kedua. Publik menyoroti bagaimana kebijakan dan kinerjanya. Agak bersemangat mengingat cukup banyak isu yang acapkali menciptakan ketegangan.

Setidaknya ada tiga hal untuk mengukur dan menilai secara obyektif kinerja Jokowi di periode kedua. Pertama, terkait program berkelanjutan dari periode pertama. Kedua, mengenai janji politik. Ketiga, seberapa besar tingkat kepuasan publik terhadap kebijakan dan kinerja pemerintah.

Kalau ditanya, apa program berkelanjutan Jokowi? Jawabnya: infrastruktur! Tol, bandara dan kereta cepat masih terus berlanjut. Bahkan mimpi “Ibu Kota Baru”.

Harus diakui, pembangunan infrastruktur era Jokowi cukup gencar. Ini harus diapresiasi. Infrastruktur inilah yang di antaranya berjasa membuat Jokowi terpilih kembali untuk periode kedua. Kendati penuh kontroversi dan menyisakan sejumlah persoalan.

Meski demikian, pembangunan infrastruktur Jokowi meninggalkan setidaknya empat catatan. Pertama, tidak sesuai target sebagaimana yang dituangkan dalam janji politiknya. Terutama soal tol laut. Kedua, pembangunan infrastruktur yang “ugal-ugalan” mengakibatkan tingginya hutang negara. Bahkan melebihi hutang era presiden-presiden sebelumnya.

Ketiga, pembangunan infrastruktur tidak linier dengan pertumbuhan ekonomi. Tercatat, pertumbuhan ekonomi di periode pertama hanya 5 persen. Jauh dari target yang dijanjikan yaitu 7 persen. Di periode kedua, ekonomi makin terpuruk, dihajar pula dengan pandemi. Terjadilah resesi. Dua kuartal minus.

Keempat, pembangunan infrastruktur tidak punya efek, baik langsung atau tidak langsung, terhadap program revolusi mental yang jadi tageline pemerintahan Jokowi.

BACA JUGA :  Taubat Politik Jusuf Kalla

Mengenai janji Jokowi di periode kedua publik nampak apatis. Abai dan tak lagi memperhatikan. Mengingat puluhan janji di periode pertama sebagian besar meleset. Stop impor, bay back Indosat, sudahlah… lupakan. Dan Jokowi sendiri tak pernah memberi penjelasan terkait melesetnya janji-janji itu.

Terlepas apapun penilaian publik terhadap janji Jokowi di periode pertama, janji di periode kedua tetap harus diingatkan. Janji itu road map. Baik bagi kebijakan pemerintah, maupun jadi unsur penting bagi rakyat untuk mengukur dan menilai kinerja pemerintahan Jokowi.

Diantara janji itu adalah sinergi pemerintah daerah, penegakan sistem hukum bebas korupsi, pemberian rasa aman bagi setiap warga, dll. Ini jadi bagian dari misi Jokowi periode kedua. Melihat KPK terkapar, pencabutan kewenangan Pemerintah Daerah dalam UU Minerba, segala bentuk persekusi dan tindakan represi terhadap kebebasan berpendapat, membuat misi ini harus mendapatkan koreksi.

Selanjutnya, apa opini publik terhadap kebijakan Jokowi? Survei Litbang Kompas terbaru mengungkap bahwa hanya 45,2 persen rakyat yang puas terhadap kinerja Jokowi. Ini gak linier dengan jumlah pemilih Jokowi di Pilpres 2019. Survei ini telah memberi penilaian negatif untuk setahun kinerja Jokowi. Akankah ada survei tandingan yang bakal mencounter survei Litbang Kompas? Kita tunggu.

PKB menilai Jokowi gagal. Buruh memberi kartu merah terhadap kinerja Jokowi. Bagaimana dengan mahasiswa? Bagaimana pula dengan MUI dan ormas? Ini juga penting, agar bisa jadi catatan untuk kinerja pemerintah kedepan.

Ketidakpuasan terhadap kebijakan dan kinerja Jokowi bisa dilihat dari sejumlah persoalan. Di antaranya soal politik. Dikotomi pendukung non pendukung tak selesai. Maaf, “Cebong-Kadrun” menjadi istilah yang terus dipelihara eksistensinya. Gak bener!

BACA JUGA :  Menggumuli Kebiadaban

Tiga faktor yang menjadi sebab mengapa pendukung dan non-pendukung terus eksis. Pertama, perlakuan hukum yang berbeda terhadap pendukung dan pengkritik pemerintah. Borgol yang sedang ramai dibicarakan seolah menjadi simbol ketidakadilan itu.

Kedua, influencer yang terus bekerja merawat keterbelahan sosial. Mengumandangkan istilah “Kadrun” untuk lawan politik dan pihak yang kritis terhadap pemerintah adalah sebuah ironi dalam berbangsa.

Setiap yang kritik pemerintah dianggap barisan yang sakit hati, atau para politisi yang kecewa karena gak dapat jatah di pemerintahan Jokowi. Adanya stigma Islam ideologi, radikal dan khilafah semakin memperkeruh situasi.

Ketiga, minimnya ruang dialog dengan pihak-pihak yang berbeda pendapat dan dianggap berseberangan secara politik dengan pemerintah.

Pemerintah dengan struktur pendukungnya seringkali membangun sikap dan narasi permusuhan terhadap pihak-pihak yang berbeda pendapat. Bukan pendekatan dialogis yang dikedepankan.

Soal hukum, ada masalah produk, pelaksanaan dan penegakan. Sejumlah undang-undang yang ditolak dan diprotes rakyat diketuk palu. Di antaranya ada UU KPK, UU Minerba, UU Corona, RUU HIP dan terakhir UU Omnibus Law Cipta Kerja. Entah berapa banyak demonstran yang telah jadi korban. Semua UU tersebut mendapatkan penolakan masif. Tetapi, tetap saja diundangkan. Terkecuali RUU HIP. Itupun belum dicabut dari Prolegnas.

Terakhur UU Ciptaker. Gelombang protes dan demo gak berhenti. UU Ciptaker dianggap cacat formil dan materiil. Cacat formil, karena ada kesalahan prosedural. Tidak transparan, kurang sosialisasi, banyak anggota fraksi yang terlibat dalam sidang paripurna tidak mendapat materinya, dan jumlah halamannya pun berubah-ubah. Cacat materiil, karena sejumlah pasal dianggap tumpang tindih.

BACA JUGA :  Soal Covid, Jakarta Layak Dapat Hadiah MURI

Dari aspek demokrasi, ada tindakan berlebihan aparat yang dianggap sebagai upaya membungkam kebebasan berpendapat. Ancaman administratif terhadap pelajar dan mahasiswa yang demo merupakan bentuk pembungkaman yang sepatutnya gak perlu ada.

Belum juga terhadap pers. ILC rehat berulangkali. Ini dibaca publik sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers. Halo Bang Karni.

Apalagi soal ekonomi. Selama dua kuartal pertumbuhan ekonomi minus. Ini pertanda resesi. Beban hutang begitu besar dan jatuh tempo bayar di bulan November, dimana devisa (cadangan uang negara) kabarnya sangat minim.
Mengandalkan pinjaman luar negeri tak sepenuhnya bisa diandalkan di saat banyak negara mengalami masalah ekonomi.

Jual SBN (Surat Berharga Negara) tak mudah. Kecuali jika Bank Indonesia yang membeli dengan sistem burden sharing (cetak uang). Tapi, undang-undang melarang BI membeli SBN di pasar primer.

Ini PR sekaligus tantangan presiden di sisa empat tahun pemerintahannya. Jika ingin mendapatkan kembali opini positif dari rakyat, Jokowi sebagai kepala negara, harus berani melakukan perubahan. Apa yang harus dirubah? Ya, pikir sendiri! Kok nanya gue. Entar kalau gue kasih masukan, gue di……. Ogah ah!

Jakarta, 22 Oktober 2020

Komentar