by Bang Sém
SEORANG teman jengkel. Sebut saja Barok namanya. Teman masa bocah. Sejak dulu sampai kini masih bulet dan gempal.
“Heran gue, dari kecil gak berenti bikin jengkel,” serunya. Saya hanya ngakak, sambil mengingat-ingat.
Kala bocah dulu, setiap latihan lawn tennis di jalan Tanjung Karang — sekarang jadi salah satu stasiun perhentian MRT (Moda Raya Terpadu) – dekat stasiun BNI City dan jembatan warna-warni dukuh atas — dia selalu jadi korban keisengan saya. Begitu juga ketika latihan sepatu roda dari Taman Surapati sampai bundaran imigrasi – dekat Masjid Cut Mutiah.
Beberapa hari lalu, dia telepon saya. Dia bertanya.
“Ngor, gimane pendapat lu soal agen radikalis berwajah good looking yang disampein Menteri Agama? Ape juga pendapat lu soal harapan Puan Maharani, ‘semoga Sumatera Barat mendukung Negara Pancasila.’?”
Saya balik bertanya, “Puan siape? Anak mane die?”
“Ketua DPR,” jawab Barok.
“Owwwh.. “
Saya sampoaikan kepada Barok, jangan mudah terheran-heran dengan berbagai pernyataan yang seliweran di media sosial dan media mainstream.
“Sekarang kan memang jaman segala hal dikemas secara kosmetisian. Terutama emak-emak, pasti jadi radikalis good looking, karena perintah stay at home atau work from home, kan memang memerlukan itu. Supaya selalu kelihatan beauty, chick, dan menggairahkan,” lanjut saya.
Sejak pandemi nanomonster Covid-19 menerjang dan para petinggi negeri kehabisan akal untuk mengatasinya, sehingga bikin hidup selalu was-was oleh ketidak-pastian, satu-satunya yang bisa dilakukan emak-emak ya.. kudu jadi radikalis good looking.
“Kalo gak percaya, coba lu tanya temen-teman yang rajin operasi plastik, supaya wajah kelihatan tirus, hidung mancung, dagu lancip, alis runcing.. Dengan cara begitu, mereka bisa membuat para suaminya betah di rumah.” kata saya lagi.
Barok berteriak di ujung bimbit. “Hoi… gue nanya soal pernyataan menteri agama…”
Saya diam sekejap. “Oo.. mungkin Menteri Agama sedang mengingatkan seluruh umat beragama, supaya jadi radikalis yang good looking, karena menghadap Tuhan kan memang kudu total dan musti good looking.”
Untuk Barok, saya mengutip kicauan para jurnalis politisi Italia, dengan hastag #MagliettaRossa (kaus merah), sebagai simbol radikalisme, yang menganjurkan siapa saja mengenakan kaos merah, sebagai bentuk solidaritas kepada kaum migran yang dituding radikalis. Roberto Saviano, jurnalis Italia, termasuk yang memperkuat anjuran atau ajakan itu.
Saya bagi tahu juga dia, Matteo Salvini, seorang pengeritik menulis, “Sayang sekali, saya belum menemukan satu pun T-shirt merah untuk sayta pamerkan hari ini.”
Beda dengan Giorgia Meloni, salah seorang petinggi Fratelli D’Italia, partai radikal sayap kanan, yang spontan memposting foto dirinya berbaju merah, dengan komentar ironis.
“Saya punya kaus merah! Tapi, yang saya butuhkan sekarang hanyalah sebuah Rolex dan sebuah apartemen di New York, juga mampu memberikan sertifikat imigrasi kepada para imigran, saya suka gaya radikal yang apik,” tulis Meloni.
“Lu tuh gimane sih? Gue nanya serius..nikh,” sambung Barok.
“Gue juga jawab serius.. “ balas saya
“Koq jawaban lu gitu.. Kagak jelas. Bikin gue puyeng.. Begini nikh.. kate Menteri Agama, kite kudu waspada ame anak muda yang hafidz qur’an dan berwajah good looking.. paparan radikalisme bisa masuk ke mesjid lewat mereka..” tanggap Barok.
Saya ngakak. “Kalo bener Menteri Agama ngomong begitu… omongannye kagak jelas.. kontradiktif dan kontra produktif ! Hafidz Qur’an, wajah good looking, ame radikalisme gak nyambung,” balas saya.
Saya ingatkan Barok untuk tidak terpancing oleh pernyataan-pernyataan yang tidak jelas, dari siapapun juga.
Di tengah ketidak-pastian penanganan pandemi nanomonster Covid-19, yang menuntun negeri ini ke lembah resesi ekonomi, pernyataan-pernyataan para petinggi yang tidak jelas, dubieus, tak perlu ditanggapi, apalagi dengan tanggapan serius.
Lebih baik manfaatkan waktu untuk bercermin, mengenali siapa diri sesungguhnya, melakukan instrospeksi, terus melakukan aksi paling efektif dan efisien, sekaligus murah: tobat nasuha.
Rajin-rajin cuci tangan sekaligus cuci jiwa dan raga, jaga jarak dengan maksiat dan sumber maksiat, pakai masker supaya tahu diri, tak perlu banyak mengeluarkan pernyataan, karena bisa bikin pengap.
Sekaligus mengambil pelajaran, ketika memakai masker, nafas kita menjadi penting. Kita bisa menguasai apa saja, tapi tak pernah sedikitpun mampu menguasai nafas. Karena nafas hanya pinjaman dari Allah Maha Pencipta dan pemelihara manusia.
Membaca, menghafal (tahfidz), dan menghayati firman Allah secara tekstual, memandu kita mengamalkan esensi firman itu. Karenanya, kita juga bakal lebih rajin wudhu’ – membasuh wajah kita yang kusam terkontaminasi noda dosa. Makin sering wudhu, makin kelihatan good looking.
Soal radikal atau tidak, bergantung bagaimana tingkat keilmuan kita, makin tinggi ilmu pengetahuan dan makin bijak menyikapi fenomena kehidupan, makin memahami esensi kata radikal yang secara etimologis merupakan sikap intelektual yang dalam menjawab tantangan dan fenomena kehidupan konsisten sampai ke akarnya.
Kata radikal akan berbeda maknanya bila diserap dan diungkapkan oleh mereka yang ilmu dan pengetahuannya pas-pasan dan pendek akal, menjadi sesuatu yang ‘menyeramkan.’
Seolah-olah, siapa saja yang konsisten dan kosekuen menjalankan keyakinannya secara teguh dan kukuh, berbahaya, dan harus dicurigai punya koneksi dengan terorisme. Padahal, teror hanya bisa dilakukan oleh mereka yang kurang pengetahuan dan pendek akal.
Manusia yang kaya ilmu dan luas pengetahuan, tentu akan konsisten menentang semua tindakan teror, siapa pun yang melakukannya.
“Terus gimane?” tanya Barok.
“Lebih baek pikirin dan lakonin yang penting dan utame aje,” jawab saya. “Pelihara dan tingkatkan terus imunitas jasmani dan rohani menghadapi virus nanomonster Covid-19, virus wadul (hoax, gibah, buhtan, fitnah) yang berkembang menjadi infodemik.”
“Carenye?” tanya Barok.
“ Cuci tangan sekaligus wudhu, jaga jarak ame semua yang nyeret kita ke perbuatan maksiat kepada Allah, pake masker supaya sadar – napas cuman pinjeman !” |
Komentar