TILIK.id, Jakarta — Keresahan sebagian pekerja PT Pertamina yang tergabung dalam Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) tidaklah beralasan jika Pertamina ingin menjadi pemain kelas dunia. Kekhawatiran kepemilikan negara lapas dengan melakukan Initial Public Offering (IPO) subholding pun tidak beralasan.
Sebab, IPO atau penjualan saham perdana subholding Pertamina itu sama sekali ridak bertentangan dengan UU. Juga tidak menjual saham negara yang ada di dalamnya.
Demikian dikemukakan anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Nasdem Moh Rapsel Ali dalam perbincangannya dengan TILIK.id, Jumat (24/7/2020).
Rapsel mengatakan, BUMN adalah milik negara, saham 100 persen dikuasai negara memiliki tanggungjawab ikut membangun ekonomi, menjaga ketahanan energi, dan menjaga fungsi sosialnya untuk masyarakat.
“Karena itu, kebijakan restrukturisasi, pembentukan klaster dengan merampingkan unit-unit usaha dan IPO adalah dalam rangka memperkuat kinerja dan menjadi pemain kelas dunia,” ujarnya.
Apalagi Menteri BUMN Erick Thohir telah mencanangkan BUMN Go Global untuk keychain Indonesia dan menjadikan BUMN berpotensi menjadi pemain kelas dunia. Go Public adalah bukti Pertamina perusahaan kelas dunia.
“Kalau pun ada masalah dengan pekerja, karyawan, ada baiknya direksi mengajak duduk bersama menjelaskan maksud dan tujuan aksi korporasi IPO subholdiing itu,” katanya.
Jadi, menurut Moh Rapsel Ali, yang dilakukan Pertamina adalah restrukturisasi, sangat jauh dari privatisasi yang dikhawatirkan itu.
Sebelumnya, Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menilai rencana IPO subholding Pertamina merupakan bagian transformasi dan tak ada yang inkonstitusional.
“Untuk itu, sejauh ini semua langkah yang telah dilakukan Pertamina terkait IPO subholding adalah konstitusional, tidak melanggar hukum dan masih dalam track yang seharusnya,” ujar Yusril.
Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati mengatakan , pasar modal menjadi salah satu strategi Pertamina untuk mendapatkan pendanaan. Pertamina memerlukan 28 persen pendanaan dari eksternal dan project financing atau sekitar US$ 49 miliar hingga 2026.
“Opsi IPO dengan pertimbangan akses jumlah pendanaan yang luas, tidak dibatasi oleh tenor, dan pengembalian atau dividen yang fleksibel. IPO merupakan salah satu bentuk metode pendanaan yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional,” katanya. (lms)
Komentar