Kedaulatan Negara Terancam, DPR Mati Kutu, Harapan Kini pada Civil Society

TILIK.id, Jakarta – Diskusi virtual oleh Kelompok UMA (Usaha Memajukan Anakbangsa) kembali diigelar dengan tema “Kerusakan di Segala Bidang Bisa Berujung Pergantian Kepemimpinan melalui Amademen UUD 45”.

Tempil sebagai pengantar diskusi mantan anggota DPR RI dari Golkar HM Sofhian Mile dan dipandu Ir Tigor Sihite.

Peserta diskusi antara lain pengamat hukum Djabir Mawardy, mantan anggota DPR RI Unchu Natsir, pakar kesehatan dr Herry Norman, Anthony Hilman, mantan Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldan, dan lainnya.

Diskusi berlangsung cair, saling menanggapi. Selanjutnya bebas memberi argumen dan tanggapan setelah diberikan pengantar tema. Semua fokus pada tema.

Wabah Covid—19 telah membawa bangsa ini pada multikrisis. Sebenarnya krisis ini tidak akan parah seperti ini jika penanganannya smart, tau skala prioritas, dan fokus pada tujuan yaitu menjelamatkan rakyat.

Sayangnya, langkah pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, seperti PSBB yang tidak konsisten, penerbitan Perppu, Perpres, Kepres, dan lain-lain justru berpotensi menghancurkan kehidupan sosial ekonomi dan politik bangsa ini.

Tak hanya di masa pandemi ini, pengelolaan negara di bawah pemerintahan Jokowi sudah mengakibatkan terjadinya krisis ekonomi yang ditandai utang luar negeri, defisit APBN, neraca perdagangan yang terus defisit, hukum yang tidak fair, dan bahkan mengamputasi KPK.

Kondisi ini membuat krisis kepercayaan pada kepemimpinan Jokowi. Suara-suara kritis kemudian bermunculan meski harus berhadapan dengan tangan besi kekuasaan. DPR yang dianggap sebagai salah satu pilar demokrasi pun tidak lagi bisa menyuarakan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Parlemen seperti sudah mejadi bagian dari masalah bangsa, bukan solusi.

Disimpulkan, masalah multidimensi bangsa ini diakibatkan oleh lemahnya kepemimpinan. Indonesia sudah terjerembab pada krisis utama yatu ekonomi yang disebabkan kebijakan yang disetting oleh kekuatan modal, kapital.

BACA JUGA :  Munas MUI Menantang Pandemi?

Dalam banyak sejarah, kebanyakan rezim tumbang di tengah jalan akibat krisis ekonomi. Di Indonesia, terjadi pada 1966-67 dan pada 1998. Lantas apakah krisis saat ini bisa berujung pada pemakzulan presiden?

Menurut Sofhian Mile, perubahan amandemen dari pertama sampai keempat, sedikit demi sedikit menutup celah untuk terjadinya impeachment. Sangat berbeda dengan sebelum amandemen.

“Ada satu hal yang kita bisa garis bawahi bahwa perubahan UUD 45 sampai dengan perubahan terakhir yang keempat, konstitusi kita ini sudah menutup dengan rapat kemungkinan untuk terjadinya impeachment. Terjadinya pergantian di tengah jalan terhadap pemimpin, terhadap presiden. Berbeda dengan sebelumnya,” kata Sofhian Mile dalam pengantarnya.

Dikatakan, jadi amandemen itu, kata dia, memang digiring ke arah itu. Ruang itu sangat kecil, yang sangat terbatas. Jadi tidak mungkin lagi seperti dulu impeachment melalui DPR kemudian MPR.

“Kecil kemungkinannya itu. Tapi bisa saja terjadi namun prosesnya panjang dan mwmakan waktu,” tambah Mile.

Dia mengatakan, resistensi terhadap pemimpin kita di publik sudah semakin lebar. Ini dibuktikan dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan kelompok-kalompok masyarakat atau yang dikenal dengan kelompok pressure group, dari kalangan terpelajar, kaum akademisi dan dari kelompok-kelompok masyarakat lainnya.

Kelompok ini mengorganisir dirinya membuat suatu pernyataan kemudian dimasukkan ke media sosial. Beda dengan dulu datang bersama-sama dengan konsep tuntutan terjadinya KKN yang datang secara fisik di DPR.

Sofhian menceritakan bagaimana dulu dirinya bersama teman-teman berkali-kali menerima delegasi, bahkan dalam sehari kita bisa menerima 10 delegasi menuntut presiden Soeharto turun.

“Memang kuncinya sebenarnya ada di DPR. DPR sebetulnya tidak mampu atau tidak peka terhadap situasi yang berkembang di masyarakat. Menyalahkan DPR sama saja kita menutup mata bahwa ada peran yang lebih besar, peran fraksi. Namun sudah hampir 90 persen parpol orientasinya bukan lagi memperjuangkan apa yang diaspirasikan oleh masyarakat,” ujarnya.

BACA JUGA :  Penambahan Kasus Covid Tembus 500 Orang, DKI hanya Bertambah 56 Kasus

Menyalahkan partai politik sama saja buang2 waktu, karena di balik itu ada kekuasaan yang lebih besar lagi, kekuatan modal, kekuatan capital pemilik modal yang mengendalikan semuanya. Mengendalikan partai politik, mengendalikan fraksi di DPR, dan mengendalikan pemerintah.

“Jadi tiga aspek dalam trias politika kita tahu sejak sekolah, legislatif, eksekuti, yudikatif, hampir semua sudah terganggu. Kalau kita pakai pisau analisis, ini sesungguhnya ancaman terhadap bangsa ini sudah sangat serius,” kata Sofhian lagi.

Namun menurut Sofhian Mile, cara atau mekanisme yang legalistis melalui perubahan UUD 45 untuk menjaga bangsa ini memang legal. Tapi yang darurat untuk melakukan pembaharuan, kekuatan civil society menjadi cara yang efektif untuk menerobos.

Memang beberapa negara di dunia, gerakan-gerakan massa saperti di Thailand itu tidak menghasilkan apa-apa. Di Amerika Serikat dan Eropa juga tidak terjadi perubahan apa-apa. Jadi harus ada gerakan besar yang memang fokus pada target.

Djabir Mawardy dalam tanggapan singkatnya membenarkan banwa amandemen UUD 45 tanpa disadari telah makin menguatkan oligharki dalam politik. Buktinya sistem presidensil semakin kuat, artinya celah muda untuk melakukan pergantian kepemimpinan makin tertutup.

“Saya pernah ikut diskusi di mana hadir tokoh-tokoh seperti Saiful Sulun, Kiki Syahnakri, dll, tentang amandemen UUD 45. Kesimpulannya adalah agar sistem demokrasi berjalan baik, maka harus diamandemen lagi kembali ke UUD 45, dengan catatan masa jabatan presiden tetap harus dua periode,” katamya.

Mengenai perubahan dalam sistem politik sekarang ini kalau mau melalui partai memang sangat sulit karena tidak bisa apa-apa. Gerakan mahasiswa pun tidak bisa diharapkan lagi. Gerakan masyarakat lebih berpotensi, apalagi sudah muncul 9 tokoh yang dinobatkan sebagai pemimpin oposisi.

BACA JUGA :  Selama PSBB Jakarta, Kodim Bantu Perketat Perbatasan Cianjur

Anthony Hilman memberikan paparan begini, rakyat dan bangsa ini haruslah keluar dari lingkaran krisis ini. Dan membebaskan dari kekuatan capitalis dengan membangun kekuatan
sporadis secara bersama-sama dari luar sehingga suara kebenaran itu bisa didengar oleh banyak orang.

“Dari suara-suara kebenaran itu, akan ada kesamaan persepsi antar tokoh meskipun ada skenario bagaimana membuat para tokoh ini, utamanya ulama, sibuk membela umat, sehingga lupa memikirkan skenario besar kekuatan luar,” katanya.

Dikatakan, untuk perubahan, harus ada tokoh dan kepemimpinan. Tokoh yang sudah selesai dengan dirinya. Istilahnya tokoh yang juga negarawan. Di DPR tak ada lagi suara tokoh yang seperti itu.

“Memang banyak yang sudah selesai dengan dirinya. Namun tidak bisa bersuara karena media mainstream yang dikuasai pemodal menutup suara-suara itu,” katanya.

Perppu Covid yang sekarang disahkan oleh DPR, Perpres Iuran BPJS Kesehatan, Kepres yang mengizinkan kembali reklamasi luput dari hadangan karena para tokoh, utamanya ulama, sibuk melindungi umatnya yang juga terancam.

“Para pendukung dan orang-orang bersama Anies Baswedan juga sibuk menjaga Anies sehingga luput dengan skenario-skenario besar kepentingan luar,” ujarnya.

Tigor Sihite yang menjadi host menambahkan, bahwa rezim Indonesia sekarang ini memang sangat pro dengan China. Ada skenario AS dan Eropa untuk mengerjai China dengan membuatnya seperti Uni Soviet dulu, pecah berkeping-keping. Jika itu terjadi, maka impaknya terhadap China juga berpengaruh pada Indonesia.

“Jadi kekuatan dari luar ini penting masuk ke Indonesia. Karena kalau hanya gerakan kita sendiri kayaknya agak sulit. Itu satu. Yang kedua, yang sulit adalah semua gerakan kalau tidak ada dukungan  dari angkatan darat akan berat.  Sekarang Angkatan Darat dikuasai siapa?” ujarnya. (lma)

Komentar