Menolak Bantuan Pemerintah?

Oleh: Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

MASYARAKAT dikejutkan oleh sejumlah video yang viral. Ada sejumlah kepala desa di kabupaten Sukabumi yang mengeluh, menyesalkan dan protes terhadap bantuan pemerintah.

Mula-mula secara perseorangan. Ada beberapa kepala desa yang potesnya divideokan, lalu diviralkan. Terakhir, para kepala desa itu berkumpul dan kompak membuat pernyataan bersama: “menolak bantuan pemerintah”. Bantuan kok ditolak, ada apa?

Data penerima bantuan dianggap amburadul. Ini faktor utamanya. Faktor kedua, bantuan tidak tepat waktu. Sudah diumumkan, tapi gak turun-turun, kata seorang kepala desa. Merekalah yang jadi sasaran protes dan cemoohan warga.

Kenapa bantuan tersendat dan gak turun-turun? Karena masih tunggu “tas pembungkus” bertulisakan “bantuan dari presiden”, kata pihak Kemenkes. Jujur banget!

Jangan jadi ajang pencitraan bapak-bapak, kata seorang kepala desa dalam video itu. Ternyata, kepala desa sudah kenal istilah “pencitraan”. Jangan ikut-ikutan pencitraan pak kepala desa ya… Ora elok!

Soal data, ini memang sejak dulu jadi masalah di Indonesia. Kok gak diperbaiki? Ini hanya soal niat. Good Will-nya gak ada, kata anak kuliahan.

BACA JUGA :  Suasana Anies-thetic di Mana-Mana

Pertama, proses pendataan sarat kepentingan. Baik kepentingan institusional maupun politik. Coba lihat data pemilih di KPU. Bermasalah dan banyak data fiktif. Orang sudah meninggal, pindah tempat, dan warga luar desa dimasukkan. Untuk apa? Memenangkan penguasa. Ini dari dulu bro!

Kira-kira sama pola dan masalahnya dengan data orang miskin. Supaya gak malu angka kemiskinan tinggi, dibuatlah kriteria orang miskin seketat mungkin. Menurut Kemensos, disebut miskin jika punya 14 kriteria. Diantaranya: gak punya WC pribadi, kalau masak pakai kayu bakar, makan hanya sekali/dua kali sehari, bisa beli satu setel pakaian hanya sekali dalam setahun, rumahnya gak diplester, menggunakan air hujan, hanya tamat SD, dan penghasilannya kurang 20 ribu sehari. Miskin banget ya? Jadi, anda hanya akan menemukan orang miskin di pelosok-pelosok desa. Di kota susah cari orang miskin.

Kedua, sering ada permainan petugas di lapangan. Ini project. Kalau setiap kelurahan ada 10-20 penerima fiktif, kali sekian ribu kelurahan, lumayan banyak. Itu bisa masuk kantong. Bagi-bagi deh.

BACA JUGA :  Dukung Anies, Elektabilitas Nasdem Naik

Tidak hanya orang miskin yang fiktif. Bahkan kelurahan juga bisa fiktif. Tahun lalu, ada sejumlah kelurahan fiktif penerima dana desa terbongkar. Bertahun-tahun. Canggih bukan? Itu yang kebongkar. Yang gak kebongkar?

Sudah data fiktif, jatah bantuan dikurangi lagi. Kongkalikong sama oknum aparat desa, atau yang lainnya. Ini kita saksikan seumur hidup kita. Berjalan dengan aman…aman…dan aman…

Jangan Anda pikir aparat desa gak ada yang brengsek, bro. Banyak! Urusan tilap-tilep, orang-orang di birokrasi paling jago. Rekayasa LPJ (Laporan Pertanggungjawaban), mereka ahlinya. “Ndandani laporan”, itu istilah mereka. Ada konsultannya segala. Mirip konsultan pajak… Banyak konsultan pajak yang tugasnya justru untuk memanipulasi pajak, agar makin kecil angkanya yang dibayar perusahaan.

Ketiga, hukum gak jalan. Hampir gak pernah ada penindakan terhadap orang-orang yang sengaja memalsukan data. Alasan salah ketik, selesai. Padahal, rekayasa tersebut dilakukan dengan sengaja.

Carut marut data ini terus jadi letusan sosial. Tapi tak pernah beres hingga hari ini. Dan nampaknya akan terulang terus entah sampai kapan. Mungkin sampai Anda mati.

BACA JUGA :  Agitasi Politisi Kobakan

Jakarta, 30 April 2020

Komentar