Perubahan dari ANIMisme ke AMINisme


Catatan Bang Sém

AKHIR pekan yang menyenangkan. Dua kemenakan dan tiga orang cucu, masing-masing aktivis mahasiswa dari salah satu universitas di Semarang, Yogyakarta, Bandung, Bangi – Selangor, dan Tokyo datang menengok saya.

Sejak terjatuh di kampus ISBI (Institut Seni Budaya Indonesia) Bandung, bandar udara internasional Kuala Lumpur (KLIA), dan salah satu hotel di Banyuwangi, dokter mengharuskan saya rehat beberapa waktu.

Saya ingatkan mereka untuk berbincang yang ringan-ringan saja. Tapi, peringatan itu akhirnya tak mereka hiraukan. Khasnya, ketika mereka berbincang situasi mutakhir, selepas dua pasang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden (Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD) mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) – Kamis (19/10/23).

Saya simak percakapan mereka. Dari percakapan tersebut, nyaris tak nampak polarisasi ekstrim. Anies dan Muhaimin (AMIN) konsisten mengusung tema perubahan secara dimensional, akan halnya Ganjar dan Mahfud (sebut saja GAMA) terkesan mengusung keberlanjutan.

Dua pasang bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden ini, menurut mereka, cenderung hanya berbeda perspektif dalam memperjuangkan nasib rakyat dari berbagai kalangan: petani, peladang, nelayan, guru, santri, rakyat yang terpinggirkan dan tersingkirkan.

Beragam Pertanyaan

Kedua pasangan yang mendaftar lebih awal di KPU tersebut dan tidak dipusingkan oleh kerumitan koalisi tersebut, masing-masing sudah menyampaikan visi, misi, dan program kerja lima tahun ke depan.

Dua cucu saya bertanya: Apa sungguh substansi perubahan mereka? Khasnya dalam konteks perubahan dan keberlanjutan secara aksentuatif.

Percakapan mereka kian dalam ketika menghubungkan gagasan, narasi, dan rekam jejak aksi para bakal calon itu selama ini. Terutama ketika dihadapkan dengan tantangan Abad XXI, mulai dari ihwal ekologi, ekosistem sosial – ekonomi – budaya, gerakan membalik kemiskinan, dan pengendalian demografi (agar sungguh tejadi bonus demografi dan tak terjerembab pada petaka demografi).

BACA JUGA :  Capres Oligarki akan Terus Meminta Tumbal

Pula, bagaimana pengembangan potensi manusia menjadi prioritas, termasuk cara yang mereka tawarkan menghadapi risiko eksistensial. Apa pula rancangan mereka terkait dengan aksi memelihara keseimbangan keterampilan dengan kearifan, mencegah frustrasi sosial yang memantik aksi terorisme, mencegah terjadinya perang global yang berdampak buruk bagi ketahanan dimensional, melayari transhumanisma, dan merancang peradaban baru.

Pertanyaan lain juga mengemuka, formula apa yang mereka tawarkan dalam upaya menaklukan penyakit (endemik) dan menahan terjadinya pandemi. Pun, bagaimana merespon oirientasi baru geo politik dan geo ekonomi — ketika kapitalisme global dan sosialisme mondial tak kokoh berhadapan dengan kegamangan, ketidakpastian, keribetan, dan kemenduaan.

Senyum Rakyat

Tetiba, salah seorang cucu mengajukan pertanyaan-pertanyaan tersebut kepada saya. He he he.. saya katakan, saya tak sungguh mengikuti apa yang ditawarkan Ganjar dan Mahfud. Selama ini, saya lebih banyak memanfaatkan waktu untuk mencermati gagasan dan narasi yang ditawarkan Anies Rasyid Baswedan (kemudian AMIN).

Mereka sontak terkejut, ketika saya kemukakan, perubahan yang perlu diperjuangkan adalah melakukan perubahan dramatik (transformasi) dari ANIM-isme (paham yang terbangun oleh pengalaman berlangsungnya ‘Anomali Indonesia Membangun’) ke AMIN-isme (paham yang terbangun oleh pengalaman dan ikhtiar mewujudkan ‘Adil Makmur Indonesia’ sebagaimana Amanat Indonesia yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 – 18 Agustus 1945).

Kata kuncinya: Adil makmur Indonesia yang menjadi dasar dalam mewujudkan universe prosperity – kemakmuran semesta, mengubah law enforcement (penegakan hukum) menjadi justice enforcement (penegakan keadilan); mengubah estetika Indonesia (pluralisma – multikulturalisma) menjadi peradaban Indonesia (persatuan di tengah nasionalisme global – tak lagi narrow nationalism); menyempurnakan cinta (cinta bangsa, cinta tanah air, dan cinta rakyat) yang dihidupkan oleh kemanusiaan yang adil beradab. Basisnya adalah religiusitas (Ketuhanan Yang Mahaesa). Dengan demikian, maka demokrasi adalah cara mencapai harmoni kebangsaan (berlandaskan musyawarah mufakat).

BACA JUGA :  Moeldoko dan Semburan Fitnah

Wujudnya? Senyum keluarga sebagai penanda kebahagiaan. Senyum istri setiap kali melepas suami mencari nafkah dan menjalankan tugas-tugas profesional. Pula senyum istri dan anak-anak ketika suami pulang ke rumah. Senyum yang tersungging, karena persoalan asasi kehidupan sehari-hari sudah teratasi, serta keadilan dan kepercayaan di dalam keluarga sudah terwujud nyata, tak sekadar pemanis bibir.

Pula, senyum setiap rakyat yang menghidupkan kegembiraan hidup di seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam melakoni politik yang tak dirumitkan oleh politik transaksional, politik bangsa merdeka yang setiap warganya merasakan kemerdekaan sejati. Khasnya, sebagai manusia yang paham kewajiban dan hak karena mampu memadu-harmoni nalar, naluri, nurani, rasa dan dria dalam satu tarikan nafas.

Jer Basuki Mawa Bea

Tidak mudah melakukan perubahan dari ANIM-isme menjadi AMIN-isme. Apalagi di tengah arus besar perubahan dengan perubahan cepat dan dinamis teknologi informasi. Tapi dapat dilakoni dan diwujudkan, kala visi sungguh menjadi visi, dan bukan fantacy trap.

Pasangan AMIN terlihat dan terasa sekali memperjuangkan jalan perubahan ini. Dalam skala mikro, bisa dipahami sebagai: tersedianya pangan yang mudah didapat; murah karena daya beli rakyat meningkat; kian menguatnya akses rakyat terhadap ekstensi pendidikan dan kesehatan; layanan prima negara kian meningkat kualitasnya; transformasi birokrasi dilaksanakan agar penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan kian sangkil dan mankus; muaranya adalah berkurangnya rakyat miskin dan meningkatnya kualitas rakyat yang beriman dan berbudaya.

BACA JUGA :  Akbar Tandjung Dukung Anies Jadi Presiden

Perubahan dari ANIM-isme menjadi AMIN-isme, seperti isyarat pepatah “jer basuki mawa bea,” tak terhindarkan. Karena upaya pemberantasan korupsi harus dimulai dari hulu hingga ke hilir dengan aksi serentak dan serempak mencegah gejala korupsi, kolusi, dan nepotisma dari dalam keluarga.
Termasuk tindakan yang langsung berdampak pada efek jera!

Pasangan AMIN sudah meletakkan azimuth perjalanan bahtera perubahannya. Di mulai dari visi: Adil Makmur untuk Semua, ditopang 9 Misi berisi manifesto kemandirian pangan, ketahanan energi dan kedaulatan air; Membalik kemiskinan dan menjamin kemajuan ekonomi berbasis kemandirian (tentu, termasuk membebaskan negara dari utang yang menjerat); Keadilan ekologis; Pembangunan Kota dan Desa berbasis kawasan yang manusiawi, berkeadilan dan saling memajukan; Memajukan manusia Indonesia sebagai human investment (sehat, cerdas, berrakhlaq, dan berbudaya);

Mewujudkan keluarga Indonesia yang sejahtera sebagai akar kekuatan bangsa; Memperkuat sistem pertahanan dan keamanan negara dan meningkatkan peran kepemimpinan Indonesia dalam kancah politik global untuk kepentingan nasional dan perdamaian dunia; serta, Memulihkan kualitas demokrasi, menegakkan hukum dan hak asasi manusia, memberantas korupsi tanpa tebang pilih, serta menyelenggarakan pemerintahan yang berpihak pada rakyat.

Perubahan dari ANIM-isme menjadi AMIN-isme adalah melengkapi capaian dari: satu bangsa, satu negara, satu tanah air, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), dengan mewujud nyata satu kemakmuran.

Para kemenakan dan cucu saya menyimak dan mereka mafhum, perjuangan perubahan yang dibawa AMIN adalah perubahan menciptakan Indonesia Platinum (bukan lagi emas) : Indonesia berdaulat, mandiri, dan unggul. Insya-Allah. Amiiin. |

Komentar