Buya Hamka, Nelson Mandela dan Anies Baswedan

By Tony Rosyid
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)

RAKYAT Indonesia tahu Buya Hamka pernah dipenjara. Soekarno, presiden RI yang memenjarakannya. Bukan kasus kriminal, tapi ini soal politik. Ketua MUI asal Sumatera Barat ini terlalu kritis terhadap Presiden Soekarno.

Buya Hamka bersyukur. Di penjara, sebuah buku tafsir al-Quran 30 juz rampung ditulis. Gak mungkin dikerjakan jika tak dipenjara, kata Buya Hamka. Inilah hikmah!

Jelang akhir hayat, Soekarno pesan kepada keluarganya: nanti kalau meninggal, Soekarno ingin Buya Hamka yang jadi imam. Ketika Buya Hamka dikasih kabar bahwa Soekarno meninggal, dan diminta untuk jadi imam sholat, Buya Hamka merespon. Dengan senang hati. Beliaupun mengimami shalat janazah itu. Melantunkan doa-doa terbaik untuk Soekarno, presiden yang pernah memenjarakannya selama 2,4 tahun setelah dijemput paksa di rumahnya pada bulan Ramadhan.

Selain Buya Hamka, ada Nelson Mandela. Tokoh politik dan presiden Afrika Selatan ini pernah dipenjara 27 tahun. Saat situasi politik berubah, ia keluar dan akhirnya terpilih jadi presiden. Saat itu, seorang wartawan bertanya kepada Nelson: anda sekarang sudah jadi penguasa. Kenapa orang-orang yang dulu berbuat dzalim dan memenjarakan tidak anda penjarakan? Apa jawab Nelson? “27 tahun saya dipenjara. Saya tak mau lagi terpenjara oleh dendam”.

BACA JUGA :  Deepavali, Ngaben, dan Kesetaraan di Jakarta

Begitulah mestinya seorang pemimpin. Berkarakter dan memiliki kelapangan jiwa. Mengukir kisah hidupnya untuk mewariskan Keteladanan.

Dari Buya Hamka dan Nelson Mandela inilah mungkin Anies Baswedan, gubernur DKI ini belajar membangun karakter dan jiwa kepemimpinannya. Sabar, teguh dan kuat dalam menjaga prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan.

Sebuah kesaksian baru-baru ini yang ditulis oleh wartawan senior bernama Subarkah viral. Subarkah menceritakan kisah Lukman Hakiem, mantan anggota DPR, penasehat Wapres Hamzah Haz dan staf Perdana Menteri Muhammad Nasir.

Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telepon Anies. Minta kepada Anies membantu AE Priyono, mulai mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan cepat. Anies kerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Dan AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya.

Beberapa hari kemudian, Lukman Hakiem telepon Anies lagi. Apa yang bisa saya bantu? What can I help you? Itu kalimat yang sering kita dengar dari film-film Barat. Standar etika komunikasi dalam peradaban Barat. AE Priyono meninggal dunia, kata Lukman Hakiem. Mohon dibantu pemakamannya, lanjutnya. Siap! Anies pun bergegas instruksikan kepada tim Satgas Covid-19 DKI untuk mengurus pemakaman AE Priyono.

BACA JUGA :  Rakyat yang Sedang Terkoyak

AE Priyono adalah wartawan senior dan aktifis Jogja saat kuliah. Ia dikenal sebagai Ahokers. Kritiknya kepada Anies layaknya Ahoker-Ahoker yang lain. Anda pasti bisa membayangkannya. Anies dendam? Tidak! Anies justru memberinya pelayanan terbaik.

Di dalam konteks ini, Anies terus berupaya keras untuk mengakhiri keterbelahan politik negeri ini. Mengakhiri identifikasi sosial-politik bernama Jokowers, Ahokers dan Aniesers. Gak sehat dan kontra produktif terhadap peradaban dan masa depan bangsa. Caranya?

Pertama, semua warga DKI adalah rakyat Anies. Pendukung atau non pendukung. Ini prinsip. Kedua, mereka mendapatkan hak untuk diperlakukan secara sama dan dilayani secara adil. Ketiga, Anies merangkul dan mengayomi semua pihak layaknya “Bapak Ibu kota.”

Keempat, melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk para “haters” dalam pembangunan masa depan DKI. Kelima, tidak melayani, merespon, apalagi menuntut bullyan, fitnah dan caci maki yang dilakukan oleh oknum haters.

Sabar, memaafkan dan menjauhi dendam, inilah yang nampaknya diteladani Anies dari Buya Hamka dan Nelson Mandela. Dua tokoh besar lintas negara.

BACA JUGA :  Anies Baswedan Representasi Wong Cilik

Kisah AE Priyono hanya satu dari sekian kisah yang tak terekspos dan terbaca oleh publik. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bersikap. Harus ada karakter yang bisa dijadikan rujukan buat rakyatnya. Tidak saja rakyat hari ini, tapi juga rakyat 100-1000 tahun yang akan datang. Sebab, kisah seorang pemimpin akan ditulis dalam sejarah. Dan sepanjang sejarah kedepan, bangsa ini akan membacanya.

Jakarta, 13 April 2020

Komentar