Oleh: Medrial Alamsyah
KARENA Hp saya hilang waktu di luar negri dan tidak bisa pulang cepat, nomor tidak bisa dipakai lagi alias harus ganti nomor baru. Akibatnya saya harus meregistrasi kembali semua m-banking saya.
Pertama ke Bank BNI. Saya disambut ramah, tetapi registrasi ulang tidak bisa dilakukan karena buku tabungan saya hilang. Untuk mendapatkan buku tabungan baru saya harus membuat surat laporan kehilangan ke kantor polisi terlebih dahulu, baru bisa diproses.
“KTP dan ATM tidak cukup, Mba”, tanya saya. “Tidak bisa Pak, begitu aturannya…nanti kalau saya proses, ada audit, ada temuan..saya kena,” kata petugas Customer Service (CS)nya nyerocos.
Konsep mutu pelayanan di Bank BNI di atas disebut dalam literatur manajemen mutu sebagai production oriented (PO). Menurut konsep PO, mutu ditentukan oleh produsen, pelanggan dianggap tidak mengerti mutu karenanya mereka harus tunduk pada disain produk atau layanan yang sudah dibuat/ditentukan produsen. Pelanggan sama sekali tidak punya ruang negosiasi atau pilihan, kecuali produsen menyediakan pilihan produk.
Pelayanan atau cara kerja seperti BNI di atas lumrah kita temukan di Birokrasi Indonesia. Untuk membuat paspor umpamanya, kita harus membawa foto copy KK dan KTP, padahal KTP bisa dibuat karena kita punya KTP. Jika kita pertanyakan mengapa harus membawa KK yang sudah diketahui bersama jadi syarat membuat KTP, pasti akan mendapat jawaban mirip CS BNI di atas: “begitu aturannya, Pak.”
Mengapa harus selalu membawa KK ketika kita sudah punya KTP? Bukankah tujuan atau esensi dari proses itu semata untuk memastikan bahwa kita memang warga yang legal? Mengapa imigrasi tidak percaya pada dokumen KTP yang sudah berbasis elektronik? Kenapa harus merepotkan warga negara dengan prosedur tanpa nilai tambah, dan hanya menambah beban?
Pertanyaan yang mirip bisa diajukan ke Bank BNI. Esensi dari prosedur yang panjang itu adalah satu: memastikan bahwa kita memang nasabah pemegang ATM tersebut. Bukankah BNI dan banyak perbankan lain sudah lumrah melakukan verifikasi melalui telepon? Kenapa bertatap muka langsung dan membawa ATM justru tidak bisa?
Perihal Laporan Kehilangan dari polisi, bukankah prakteknya hanya mencatat pernyataan kita dan tidak pernah diperiksa apakah benar kita kehilangan atau tidak? Kenapa tidak langsung saja nasabah membuat pernyataan hilang seperti sudah dilakukan Bank Mandiri dan bank lainnya?
Dalam literatur ilmu Administrasi Negara/Manajemen Publik pelayanan birokrasi di atas tidak disebut production oriented, melainkan “legalistic approach” alias bekerja berdasarkan aturan legal. Sebenarnya lebih pas disebut production oriented atau – karena terjadi di birokrasi – kita sebut bureaucracy oriented; bukan saja karena secara substansi keduanya sama saja, lebih dari itu, untuk menghilangkan kesan positif dari perilaku buruk tersebut.
Pendekatan legalistik memberi kesan positif bahwa aparat birokrasi selalu taat hukum, padahal kenyataannya aspek legal itu hanya dijadikan tempat berlindung dari kenyamanan mereka dalam status quo. Tak jarang aspek legal itu malah dijadikan tameng untuk melindungi, atau sebagai alat, kejahatan mereka. Sebab, bukankah dalam realita kita sering bisa memangkas birokrasi selama memberi bayaran tertentu?
Pendulum lain dari konsep mutu adalah fokus pada pelanggan (Customer Focus/CF). Konsep CF menempatkan pelanggan sebagai awal sekaligus ujung dari kerja organisasi. Seluruh aktivitas organisasi berawal dari pemahaman terhadap kebutuhan dan keinginan pelanggan. Setelah kebutuhan dan keinginan pelanggan dipahami, baru struktur, proses dan sistem dirancang guna memastikan kebutuhan dan keinginan pelanggan itu dipenuhi.
Ambil contoh di Bank BCA dalam menangani perubahan nomor hand phone saya di atas. Sangat berkebalikan dengan Bank BNI. Di sana saya disambut ramah mulai dari pintu masuk sampai petugas CS. Semua dengan gestur dan ucapan salam yang khas. Di dalam saya disambut seorang satpam yang bertugas dekat mesin nomor antrian. Dia menanyakan dengan ramah maksud kedatangan saya. Ketika dijelaskan mau registrasi m-banking karena ganti nomor, setelah memberi nomor antrian dia memandu saya ke mesin registrasi online. “Barangkali bisa di sini saja, Pak, sambil menunggu antrian. kalau bisa Bapak ga perlu ke SC,” katanya ramah kemudian memandu saya menggunakan mesin tersebut.
Karena melalui mesin gagal saya dipersilahkan duduk menunggu antrian. Tak lama kemudian datang petugas cantik dengan ramah menanyakan keperluan saya, lalu mencatat dan mempersilahkan saya menunggu. Dia pindah ke tamu berikutnya, tampak dia membantu pelayanan yang bisa dikerjakannya tanpa harus ke meja CS. Nomor antrian saya dipanggil kemudian petugas CS melayani semua proses registrasi tanpa buku tabungan. Cukup berbekal KTP dan ATM.
Bisa dipastikan, sebelum mendisain proses, sistem dan perilaku seluruh keramahan pegawai ala BCA di atas, mereka melakukan berbagai survey dan kajian terlebih dahulu. Melalui survey mereka tahu pelanggan butuh kecepatan dan kemudahan serta ingin kenyamanan seperti apa. Mereka tau banyak nasabah yang tidak begitu peduli dengan buku tabungan, kecuali saat prosedur perbankan mengharuskan. Pasti mereka juga sudah memeriksa bagaimana polisi memproses surat keterangan kehilangan beserta aturan hukumnya, sehingga keharusan membawa buku tabungan atau kalau hilang harus lapor ke polisi, bukan saja tidak berguna dan membuat pelayanan lambat, tetapi juga dianggap hanya merepotkan pelanggan.
Bila kita telisik lebih dalam perihal laporan kehilangan dari polisi, prakteknya sangat formalistik alias asal ada. Ini merupakan imbas dari atau simplifikasi penerapan prinsip disain organisasi fungsional Henry Fayol; bahwa organisasi harus dibagi habis dalam struktur hirarkhial dengan fungsi dan kewenangan yang spesifik.
Soal kehilangan dinilai merupakan fungsi dan kewenangan kepolisian karena itu harus ada surat dari kepolisian, tanpa mengkaji lebih dalam apa yang dilakukan polisi dalam verifikasi kehilangan tersebut.
Bisa juga dilihat surat kehilangan dari polisi itu pada dasarnya memberi rasa aman (kenyamanan) pada produsen (dalam kasus di atas Bank BNI). Dengan adanya surat resmi dari instansi resmi urusan kemanan (polisi), maka tanggungjawab berikutnya, bila kemudian ada masalah, bukan pada BNI, tapi pada polisi. Jadi BNI lebih memikirkan (berorientasi) kemudahan dan kenyaman dirinya, bukan pelanggan.
Penerapan pada Organisasi Publik
Seperti dikatakan di atas, pola kerja dan pola pikir seperti diperlihatkan BNI tadi sagat lumrah di dunia birokrasi. Secara alamiah birokrasi sangat mudah terdorong pada perilaku bureaucracy oriented karena mereka diberi kewenangan memaksa, baik oleh undang-undang mupun berdasarkan konsep akademik.
Masalahnya sekarang bagaimana kita merubah pola pikir dan pola kerja bereaucracy oriented itu menjadi customer (public) focus?
Secara konseptual customer focus (karena itu dalam organisasi publik kita sebut saja public focus) sangat mudah. Birokrasi tinggal meniru bagaimana organisasi swasta yang sukses menerapkan prinsip CF.
Pertama, birokrasi harus mengembangkan unit organisasi dan proses-proses yang berfungsi memahami dinamika kebutuhan dan keinginan pelanggan.
Kedua, membenahi data basis beserta interkoneksi data antar instansi, karena seperti terlihat dalam kasus perubahan nomor Hp dan pelayanan paspor di atas, memberi kemudahan pada pelanggan pasti merepotkan produsen dalam membenahi data dasar beserta interkoneksinya. Tanpa data dasar yang kuat dan interkoneksi antar lembaga yang solid, maka kerumitan verifikasi mau-tidak mau dibebankan pada pelanggan (publik).
Ketiga, mengembangkan sistem yang mengintegrasikan semua layanan publik sehingga data-data yang tersebar dalam berbagai instansi bisa dikoneksikan satu sama lain, serta unit organisasi dan proses yang terkait langsung dengan produksi (layanan) bisa dipastikan memberi layanan yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan pelanggan
Masalahnya ketiga hal di atas tidak akan berjalan baik bila tidak didukung oleh langkah ke-empat, yaitu sumber daya manusia berpola pikir public focus.
Sebab, tiga hal yang secara konseptual mudah itu, sulit diterapkan dalam organisasi publik karena mentalitas production/bureaucracy oriented, oleh banyak sebab, sudah menghujam dalam di benak para pegawai publik.
Rekomendasi umum yang bisa diberikan untuk perubahan radikal dari bureaucracy oriented pada public focus itu, belajar dari pengalaman dunia swasta dan banyak literatur manajemen perubahan adalah: harus dilakukan secara total (tidak parsial) dan diorkestrasi oleh manajemen puncak yang paham, berkomitmen tinggi, dan persisten.
Komentar