Anies, Kilas Balik Jakarta dan Indonesia

Oleh Nur Iswan
(Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni School of Public Policy and Administration, Carleton University, Canada)

TANGGAL 16 Oktober 2022, Anies mengakhiri tugasnya sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta. Anies memenangkan Pilgub — yang konon — disebut sebagai paling keras sepanjang sejarah di Jakarta. Bahkan mungkin Indonesia.

Jika menengok ke belakang, tepatnya tahun 2017, Anies sebenarnya tidak mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk menjadi calon Gubernur. Kesempatan dan peluang itu “mendadak” datang begitu saja. Takdir menjemputnya melalui Undangan dari Prabowo, Jusuf Kalla dan tokoh-tokoh PKS serta tokoh politik lainnya maupun masyarakat.

Sebelum dipinang menjadi Calon Gubernur, Anies sedang menjalani masa “iddah” atau jeda politiknya. Kenapa, karena dicerai politik oleh Presiden Jokowi sebagai Mendikbud pada tahun 2016. Anies menjabat kurang-lebih 2 (dua) tahun setelah duet Jokowi-JK memenangkan pemilihan presiden (Pilpres) di tahun 2014.

Padahal, Anies adalah satu Juru Bicara resmi yang ditunjuk oleh Jokowi-JK di Tim Kampanye Nasional. Keputusan Jokowi me-reshuffle Anies mengejutkan banyak pihak. Karena Anies merupakan salah satu Menteri di Kabinet Jokowi-JK yang memiliki Kinerja baik. Akhirnya, spekulasi dan dugaan penyebab hal itu merebak.

Penulis sendiri menduga bahwa kenapa Anies diganti, karena ada unsur-unsur di sekitar Presiden Jokowi menganggap Anies adalah “ancaman politiik”. Jika terus-menerus dibiarkan “menari-nari” dengan panggung mewah Posisi Mendikbud, popularitas maupun elektabilitasnya akan semakin melonjak. Padahal, unsur-unsur sekitar Jokowi dan Jokowinya sendiri — pasti dan wajar serta sangat konstitusional — berkehendak akan maju pada Pilpres 2019 untuk periode jabatan kedua.

Jadi untuk meniadakan peluang Anies menjadi kompetitor Jokowi, Anies harus “disingkirkan” dari Kabinet. Di atas kertas, perhitungan dan kalkulasi ini serasa akan berhasil. Anies tak akan lagi punya panggung. Sorotan lampu dan perhatian publik tak akan lagi tertuju padanya. Tegasnya. Skenario “menjegal” Anies sejak dini sudah dilakukan. Mission’s accomplished.

Meski Anies mungkin masygul. Tapi sepertinya Anies menyadari bahwa posisi Menteri adalah hak prerogatif seorang Presiden. Presiden bisa mengangkat dan menggantinya kapan saja. Dengan alasan apa saja, tergantung pertimbangan putusannya. Anies legowo. Menerima dengan keikhlasan dan lapang dada.

JAKARTA

Tapi perjalanan manusia tak ada yang tahu. Misteri. Bahkan Anies pun mungkin tak pernah membayangkan bahwa ia akan diminta untuk bertarung di Pilgub Jakarta. Elemen semesta bergerak, menghadirkan tawaran pengabdian padanya.

BACA JUGA :  Ferdinand Hutahaean, Kondisinya Seperti Ayam yang Disembelih

Dengan jalan berliku dan berkelok, tanpa uang berlebih di kantongnya, bukan kader dan anggota Parpol, bahkan nir-persiapan pada awalnya: ia menerima pinangan itu. Kemudian, bersama Sandiaga Uno akhirnya memutuskan maju bertarung.

Berpasangan dengan pengusaha, Sandiaga Salahudin Uno. Anies-Sandi memasuki gelanggang politik Pilgub DKI Jakarta dengan mengusung slogan “Maju Kotanya, Bahagia Warganya”. Adapun Partai pendukung utamanya adalah Partai Gerindra dan PKS. Lawan politik yang dihadapinya adalah pasangan petahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok)-Djarot dan AHY-Sylviana Murni.

Pada saat itu, Anies-Sandi dianggap underdog dan diprediksi sulit untuk mengalahkan Ahok-Djarot yang dipandang sebagai representasi dan memperoleh dukungan penuh Jokowi. Pertarungan yang tak mudah bagi Anies-Sandi. Banyak pihak yang sudah berkesimpulan: Ahok pasti menang mudah. Pokoknya menang telak.

Tetapi, Realitas politik menghentakan dan mengaburkan kesimpulan sebelum pertarungan. Hasil perhitungan KPU DKI, di putaran pertama, Ahok-djarot hanya meraih 2.4 juta suara (42,99%). Hasil ini jauh dari target raihan dari yang ditetapkan tim suksesnya yakni menang satu putaran (diatas 50%). Anies-Sandi menempel ketat dengan perolehan 2.2 juta suara (39,95%). Sementara Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni 937 ribu (17.02%).

Karena tidak ada satupun pasangan yang meraih 50 + 1 % maka pilgub “terpaksa” dilakukan dalam 2 (dua) putaran. Pertarungan politik yang keras terjadi. Para pengantin politiknya mungkin lebih bisa menahan diri. Tetapi para pendukungnya saling melemparkan “peluru-peluru yang panas”.

Pertarungan usai. Secara mengejutkan Anies-Sandi mengalahkan Ahok-Djarot. Raihan suara Anies-Sandi melonjak menjadi 3,2 juta (57,96%). Sementara petahanan raihan suaranya hanya meningkat sedikit yakni 2,4 juta (42,05%).

Anies-Sandi resmi ditetapkan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Masa Bakti 2017-2022. Tetapi perhelatan pemilu dan pilpres 2019 memaksa Sandi Uno untuk memilih meninggalkan kursi Wagub dan menerima pinangan Prabowo dan Koalisi Parpol pendukungnya menjadi Cawapres. Di kemudian hari, kursi Wagub ini diisi oleh Ariza Patria, Kader Gerindra yang sebelumnya adalah anggota DPR.

Perjalanan 5 (lima) tahun Anies melayani Jakarta — tentu saja — banyak menimbulkan pro dan kontra. Dari pujian sampai dengan cacian. Dari masukan yang penuh muatan hingga kritik yang sekedar kenyinyiran asal beda. Tapi itulah demokrasi. Anies menanggapinya dengan: “gagasan, narasi dan karya.”

BACA JUGA :  Beri Maklumat, MUI Ancam Penguasa!

Anies mengidentifikasi semua masalah di Jakarta. Mengurai dan mempelajarinya. Dan menyusun strategi implementasinya. Anies menyusun VISI BESAR yang menjadi panduan utama atau arah tujuan dalam melayani Jakarta. Visi itu terdiri dari 6 (enam) kata kunci: Setara, Sejahtera, Maju, Hidup, Lestari dan Bersatu.

Langkah-langkah praktikal disusun, melahirkan sederet karya. Di bidang transportasi dan untuk mengurangi kemacetan Anies mendorong perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik. Agar mudah diingat, ia menyebut konsepnya dengan INTEGRASI TRANSPORTASI.

Untuk menangani Banjir, ia memperbesar 4 retensi air besar, normalisasi sungai. Kemudian, pembangunan dan pengerukan waduk, sungai dan selokan-selokan. Dan yang paling monumental adalah menerapkan pendekatan alami dengan membangun Ruang Limpah Sungai (RLS) yang multifungsi.

Belum lagi, pembangunan 260 km
Trotoar. Jakarta International Stadium (JIS). DP 0 %. Pembebasan Pajak Pensiunan dan PBB di bawah Rp 2 milyar. Bantuan Operasional Tempat Ibadah (BOTI). Dana Hibah untuk guru swasta. Perbaikan gedung-gedung Sekolah dan Lembaga Pendidikan. Peningkatan layanan dasar kesehatan dan pendidikan. Perhatian besar untuk layanan dasar di 113 Pulau. Kampung Gembira Gembrong. Kampung Bayam.

Dengan sederet capaian dan rekam jejak seperti itu, tidak heran jika tingkat kepuasan publik Jakarta lebih dari 70% (menurut data survey ICRC dan PDB di tahun 2022). Tak mengherankan juga jika banyak pihak yang mulai meliriknya sebagai figur yang pantas Memimpin Indonesia.

INDONESIA

Pemilu dan Pilpres yang menurut jadwal akan dilaksanakan pada 14 Februari 2024 membuat publik dan elite mengintip calon-calon pemimpin nasional yang pantas. Atau dibuat pantas. Bahkan, wajar jika ada yang merasa pantas.

Meski ada upaya segelintir orang atau kelompok mencoba merekayasa dan mewacanakan agar ada Penundaan Pemilu, Perpanjangan Jabatan Presiden bahkan kehendak 3 (tiga) Periode, toh rasionalitas dan realitas politik tetap menginginkan agar Pemilu sesuai Jadwal.

Jokowi hampir dipastikan tidak mungkin bisa maju lagi. Terhalang oleh konstitusi dasar. Siapa penggantinya atau penerusnya? Nah, mulailah elite dan publik melihat sosok-sosok yang tersedia. Ada begitu banyak yang dipandang pantas dan merasa pantas untuk menjadi calon Presiden. Tapi alat ukur yang paling masuk akal adalah dengan Metode Survey.

BACA JUGA :  Pesaing Anies, Jangan Sembunyi di Belakang Buzzer

Ada begitu banyak tokoh nasional. Dari yang berasal dari latar belakang Partai, Non-Partai hingga berlatar belakang TNI/POLRI. Pembaca sudah mengetahui. Termasuk didalam deretan itu adalah Anies Rasyid Baswedan.

Terlepas dari kritik yang sering menerpa Lembaga Survey, tetapi Anies hampir selalu menempati Tiga Besar dalam berbagai Survey. Kadang menempati posisi ke-3 dan terkadang ke-2. Pertanyaannya kenapa publik menaruh harapan kepada Anies untuk memandu atau memimpin Indonesia?

Kita sepatutnnya menelaah faktor-faktor apa saja yang membuat popularitas dan elektabilitas Anies berada diatas? Mengapa disukai?

Kemungkinan besar ada beberapa faktor yang menjadi penyebab, preferensi alasan yang mendasarinya. Pertama, rekam-jejak dan pengalaman. Kedua, personality, character dan komitmen. Ketiga, dapat menjawab arus atau gelombang perubahan dan Harapan untuk bisa memandu dan melewati tantangan krisis masa depan di Indonesia dan Global.

Keempat, bisa merawat kesinambungan pembangunan. Kelima, kejenuhan terhadap kepemimpinan yang ada atau yang dianggap sebagai “pewarisnya”. Ada kecenderungan dan keinginan masyarakat untuk memiliki pemimpin yang “fresh” dan “berbeda”. Dan keenam, dianggap sebagai figur yang bisa mempersatukan. Bukan keterbelahan dan polarisasi.

Nah, animo dan harapan kepada Anies Baswedan nampak tak hanya didalam survey. Ketika tulisan ini dibuat, Partai NASDEM sudah mendeklarasikan pencapresan Anies tanggal 3 Oktober 2022 yang lalu. Dan konon, kemungkinan akan disusul oleh Partai lainnya seperti Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Puluhan atau bahkan ratusan organ relawan mulai tersebar di seluruh Indonesia.

Bahkan, ketika Anies Baswedan melakukan Pamit sekaligus bersepeda dari Rumah Tinggalnya di Lebak Bulus Ke Balai Kota Jakarta (Minggu, 16/10/2022) — bertepatan dengan Car Free Day — warga menyemut mengiringi dan menyapanya. Anies melayaninya dengan sabar.

Bahkan ada yang meminta Selfie. Suasana itu berpadu-campur. Ada kebahagian dan ada keharuan. Tentu saja di sepanjang jalan dan disela-sela melayani semua warga masyarakat, teriakan spontan sering terdengar. Anies Presiden! Anies Presiden! Anies Presiden !!

Apakah harapan dan simpati serta dukungan kepada Anies Baswedan akan semakin masif dan menguat? Hingga akhirnya bisa menjadi Capres dan kemudian terpilih jadi Presiden? Kita semua akan menjadi saksi. Yang sudah pasti “ruang dan tangga” menuju telah tersedia kearah itu. ###

Komentar