Jokowi di Puncak Kejatuhannya

Oleh: Yusuf Blegur

MULITNYA dipenuhi kebohongan, memercik air liur fitnah, terbiasa memakan uang haram dan menyeru kedzoliman. Begitulah perilaku kekuasaan yang sering teriak saya Pancasila dan saya NKRI. Menjadikan korupsi sebagai tradisi dan terbiasa pada kejahatan kemanusiaan lainnya, sebagai satu-satunya keahlian dan kemampuan terbaik dalam penyelenggaraan negara.

Kenaikan harga BBM memang tak bisa dihindari menjadi pil pahit dan menimbulkan gejolak di masyarakat.
Penghapusan subsidi sektor penting kebutuhan publik itu, dipastikan berdampak melambungnya harga-harga bahan pokok dan semakin menurunnya daya beli rakyat.

Rezim sekonyong-konyok merampok uang rakyat dengan siasat menaikan harga-harga kebutuhan pokok dan kepentingan rakyat. Sesaat rezim merasa tak tegoyahkan dan tak tersentuh hukum.
Meskipun kebijakan menaikan harga pertalite dan solar dilakukan pada momen yang tidak tepat saat ekonomi rakyat tertekan karena PHK dimana-mana dan angka kemiskinan meningkat akibat pandemi.

Tetap saja demikian sulit menggoyahkan posisi rezim apalagi sampai melengserkannya. Betapapun daya tolak rakyat begitu tinggi terhadap sebagian besar kebijakan pemerintah, yang diwakili gerakan mahasiswa dan buruh serta elemen perlawanan lainnya.

Kebijakan kenaikkan harga BBM tetap tak terbendung, sekali lagi rakyat tak bisa berbuat apa-apa. Hanya mampu sekedar mengeluh, bersungut-sungut dan mengeluarkan sumpah-serapah kepada rezim.

Dua periode kepemimpinan Jokowi yang terus mengalami degradasi dalam bidang ipolesosbudhankam. Hanya mampu menghasilkan wajah pemerintahan yang korup, diliputi utang yang tinggi berbarengan dengan serbuan TKA Cina dan pajak yang mencekik rakyat.

BACA JUGA :  Bicara Prestasi, Anies Capres yang Diunggulkan

Tidak hanya dalam soal ekonomi, perilaku ugal-ugalan kekuasaan juga berhasil membunuh demokrasi, bertindak represif serta mengancam keamanan dan keselamatan rakyat demi melanggengkan kekuasaannya.

Hukum telah menjadi mainan bagi kalangan yang berduit. Sementara konstitusi dikuasai oleh oligarki melalui para politisi dan birokrasi yang mudah dan murah dibeli. KPK, KPU, Komnas HAM, TNI, Polri dlsb., telah menjadi alat kekuasaan, bukan alat negara. Mereka diam seribu bahasa, seolah tak peduli dan bahkan ikut mendukung kejahatan yang dilakukan sebagian besar penyelenggara negara.

Pelbagai distorsi penyelenggaraan negara baik yang dilakukan secara personal maupun secara terstruktur, terorganisir dan sistemik dalam institusi pemerintahan. Sudah menjadi serba permisif dan seakan-akan melembaga dan mulai mewujud tradisi. KKN, perampasan, pemerkosaan, penyiksaan dan pembunuhan, terjadi tidak hanya oleh pelaku kriminal biasa.

Begitu miris dan memprihatinkan, kejahatan kemanusiaan itu juga dilakukan oleh banyak aparatur negara. Unjuk rasa rakyat dalam berbagai upaya menuntut haknya, dihadapi dengan tindakan kekerasan dan penganiayaan oleh rezim.

Politisasi dan kriminalisasi kerapkali dijadikan modus oleh pemerintah dalam membungkam suara rakyat dan kelompok kesadaran kritis, demi melanggengkan kekuasaannya. Tak sedikit para aktifis dari mahasiswa, buruh, jurnalis, akademisi hingga para ulama, harus menerima penganiayaan hingga berujung meregang nyawa akibat kekejaman aparatur negara.

BACA JUGA :  Ngumpulin Massa, Apa yang Dicari Jokowi?

Pemerintah tak lagi mampu menyembunyikan aib dan kebusukannya betapapun kekuasaannya begitu menyelimuti seluruh negeri dari mulai jalanan hingga di balik pintu-pintu rumah rakyat.

Konflik interest di antara pemangku kepentingan publik, sekonyong-konyong menyeruak dengan sendirinya di hadapan publik. Kekuasaan yang dzolim dan melampaui batas, tanpa disadari justru menjadi kelemahan rezim itu sendiri.

Semakin terbuka dan telanjang kekuasaan mempertontokan kekuasaannya, semakin terlihat kebobrokannya. Aparat pemerintahan yang bejad yang semakin membuat rakyat sekarat, hanya tinggal menunggu waktu. Kalau tidak karena perlawanan rakyat yang sejauh ini masih terlena, tak terorganisir dan tidak solid, boleh jadi kekuasaan rezim yang bengis itu akan hancur oleh keserakahan dan ketamakannya sendiri.

Rezim bisa jadi terlalu kuat dan sulit untuk dilengserkan. Kekuatan uang yang disokong oleh olgarki dengan memanfaatkan jabatan dan senjata aparat, telah berhasil membungkam kesadaran kritis dan perlawanan semua entitas pergerakan. Rakyat juga mungkin bingung menghadapinya dan hanya bisa ngedumel sembari pasrah menerima keadaan.

Namun bukan tak mungkin bagi kebanyakan yang menjadi korban rezim, akan lahir kekuatan dari doa-doa rakyat yang tertindas dan teraniaya. Karena sejatinya, doa-doa orang yang terdzolimi sungguh dekat dengan Tuhan.

Tampaknya sudah terasa dan tak bisa dihindari lagi. Tidak ada kekuasaan yang abadi selain kekuasaan Tuhan. Bagi para pelaku kejahatan, terlebih yang memanfaatkan negara untuk memenuhi ambisi dan nafsu kekuasaannya hingga tega mengorbankan rakyat. Pastinya, seiring waktu akan menemui hukuman dan balasan yang setimpal dari Tuhan baik di dunia maupun akherat.

BACA JUGA :  Trisakti Itu Bernama Koalisi Perubahan

Tak ada pesta yang tak berakhir, tak ada bangkai yang ditutup-tutupi mampu menyimpan bau busuknya. Seperti kasus Ferdi Sambo yang menjadi tragedi di tubuh Polri, menjadi sinyal kejahatan institusional yang telah menjadi contoh dari sekian banyak ketidakberesan di republik ini. Atau selayaknya kita perlu memahami semua itu telah menjadi kehendak Tuhan.

Begitulah kekuasaan Tuhan mengemuka, salah satunya dalam mubahalah seorang Ulama penuh kharisma bernama Habib Rizieq Shihab.

Begitu nistanya rezim menghina rakyat, umat dan agama Islam serta memperlakukan buruk ulama, maka tinggal menunggu waktu saja Tuhan mencabut kemuliaan dan merendahkan rezim kekuasaan, serendah-rendahnya manusia yang mendapat laknat Sang Pencipta.

Rakyat yang tak berdaya, tertindas dan teraniaya oleh perilaku aparat negara yang korup dan bengis. Lambat-laun akan menjadi kekuatan yang tak disadari dan menjadi bumerang bagi penguasa. Sekalipun dengan uang, jabatan dan kekuasaan yang besar dan tinggi sekalipun. Rezim Jokowi sesungguhnya sedang berada dalam puncak kejatuhannya.

Catatan dari pinggiran kesadaran kritis dan perlawanan.

Komentar