Oleh: DR.H.Abustan,SH.MH
(Pengajar Ilmu Hukum di Universitas Islam Jakarta-UID)
PEJABAT kesehatan masyarakat, tim medis garis depan, politikus lokal, dan Gubernur, Walikota/Bupati, tengah berusaha menahan laju salah satu pandemi terburuk dalam sejarah modern, wabah Covid-19. Hingga kemarin per 1 April 2020 masih terus meningkat kasus positif, yakni 1.677 orang dan yang meninggal 157 orang.
Di tengah kondisi ini, diperlukan kesediaan/kemampuan penyelenggara negara in-casu pemerintah untuk bergerak cepat mrlakukan langkah kordinatif dan/atau kerja koloboratif dengan seluruh stakeholder.
Namun, kenyataan yang ada berbagai upaya pemerintah daerah, dihadapkan pada para pemimpin nasional yang tampaknya tetap berusaha untuk mengelola pemerintahan secara sentralistik, bahkan menjalankan kekuasasn secara berlebihan.
Padahal, dalam regulasi tentang Pemerintahan Daerah UU 23/2004 yang telah direvisi dalam UU Pemda yang baru UU 23/2014 sudah diberlakukan sebagai “kerangka acuan” bagi praktek desentralisasi dan otonomi daerah (Otda).
Dalam perspektif pemerintahan daerah, daerah adalah kumpulan unit-unit lokal dari pemerintah yang otonom, independen dan bebas dari kendali kekuasaan pusat. Dalam sistem ini pemerintah daerah meliputi institusi-institusi atau organisasi yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam konteks ini, sangat jelas bahwa masing-masing jenjang pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) mengemban amanat untuk mewujudkan kepentingan nasional. Masing-masing jenjang pemerintahan memiliki tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangannya.
Itulah realitas kondisi pemerintahan saat ini, ketika keadaan darurat terjadi akibat virus corona. Karena itulah, akan menjadi relevan memberikan otoritas masing-masing kepada daerah untuk menentukan arah kebijakan yang terbaik bagi daerahnya. Apakah dengan sistem lock down atau sistem karantina (vide UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan) yang nota bene merupakan produk sendiri pemerintah pusat. Yang pasti, tentu saja, setiap opsi (pilihan) ada konsekuensi-konsekuensi yang menyertainya.
Dengan demikian, pemerintah pusat tidak perlu mewacanakan Darurat Sipil yang belum tentu bisa atasi “teror” Covid -19, tapi malah bisa jadi “blunder” terhadap kehidupan demokrasi. Lebih dari itu, Darurat Spil bukanlah solusi atasi permasalahan darurat kesehatan seperti ini.
Akan tetapi, satu-satunya harapan untuk selamat dari krisis ini adalah solidatitas bersama antarwarga. Atau memperkuat relasi hubungan pusat-daerah dalam bingkai otonomi daerah di tengah ancaman COvid-19.
Sekian
#tetapdirumah
Komentar