by Raden Baskoro Hutagalung
(Forum Diaspora Indonesia)
DEMO mahasiswa di bulan Puasa saat ini agak sedikit berbeda daripada yang sebelumnya. Karena lebih tersistem, kontennya jelas, rapi, dan militan. Padahal, saat ini para adik mahasiswa ini masih dalam kondisi libur kuliah belum tatap muka 100 persen. Meskipun ada isu, terbentuk beberapa faksi di tubuh gerakan mahasiswa baik yg pro dan kontra terhadap pemerintah.
Tanggal 11 April 2022, Senin yang akan datang, akan menjadi momentum dan tolak ukur penting bagi keberlangsungan pemerintahan ini ke depan. Karena gerakan demo serentak ini ibarat gelombang akumulasi dari berbagai muara persoalan yang diciptakan justru oleh pemerintah itu sendiri, misalnya;
Pertama, tema utama tuntutan mahasiswa hari ini adalah jelas dan tegas, stop perpanjangan masa jabatan Presiden yang itu jelas melanggar konstitusi. Meskipun pemerintah “berakrobatik” membuat standar ganda bahwa yang mengungkapkan itu adalah para menteri dan ketua Parpol, namun publik sudah jenuh dan bosan dengan gerakan akrobatik pemerintah itu.
Alasannya, toh para menteri dan ketua parpol itu adalah bahagian dari kelompok penguasa hari ini. Dan sangat tidak mungkin berani berbicara tanpa restu Presiden. Apalagi ada istilah tegas “Yang ada Visi Presiden tidak ada visi menteri”.
Upaya kudeta konstitusi ini oleh pemerintah adalah sebuah kejahatan besar dalam negara demokrasi. Sangat wajar para mahasiswa, intelektual dan kelompok “civil society” bangkit, marah, dan melakukan perlawanan. Adapun kemudian tiba-tiba muncul Wiranto selaku Wantimpres menyatakan itu baru wacana, sudah sangat terlambat dan dianggap ucapan itu keluar karena pemerintah “shock” tak menduga penolakan rakyat begitu besar.
Kedua, terjadinya krisis dan resesi ekonomi berupa kelangkaan minyak goreng, BBM pertamax naik dan pertalite mulai langka. Kenaikan harga sembako yang diam-diam, ditambah lagi berbagai macam pajak dinaikkan dan dibebankan kepada banyak sektor, mulai dari sembako,kendaraan bekas, hingga banguna dan renovasi rumah sendiri pun dipajak.
Semua kebijakan itu sangat memukul jantung ekonomi masyarakat bawah. Yang membuat emak-emak frustasi, sedangkan peluang kerja semakin hilang dan harga-harga sudah melambung tinggi. Dan yang buat kebijakan adalah pemerintah.
Mahasiswa, yang dua tahun ini banyak di rumah tentu juga jadi merasakan beban orang tuanya. Dan melihat semua ini adalah akibat dari kebijakan pemerintah yang “memakan” rakyatnya sendiri. Tak becus mengelola negeri.
Ketiga, mati dan lumpuhnya trias politika negara ini sebagai negara demokrasi. Pihak legislatif maupun yudikatif cenderung saat ini menjadi alat kekuasaan semata.
Tak ada lagi proses “check and balance”. Penyebabnya bisa beragam, bisa berupa sudah terjadi permufakatan jahat bersama, atau juga politik sandera dan politik KKN.
Mati dan lumpuhnya trias politika di negeri ini, dimana secara kasat mata arah kebijakan pemerintahan hari ini banyak menguntungkan “perut pejabat” dan kelompok oligharki, maka rakyat juga melakukan perlawanan.
Karena dampak kebijakan pemerintah hari ini banyak merugikan rakyat. Hutang yang ugal-ugalan demi sebuah pembangunan yang tidak jelas. Pencabutan subsidi dan naiknya pajak, yang harusnya dinikmati masyarakat sekarang, justru jadi beban yang mencekik kehidupan rakyat.
Karena trias politika ini dianggap sudah mati, makanya mahasiswa turun ke jalan dan menyampaikan aspirasi dan kemarahan ini. Tapi kalau legislatif dan yudikatifnya berfungsi baik, tak mungkin mahasiswa sampai turun gelar demonstrasi.
Keempat, matinya hukum dan semakin maraknya terjadi ketidakadilan terhadap masyarakat atas kuasa pemerintah.
Hal ini juga sangat menyakitkan hati masyarakat. Ketika dengan menggunakan kekuatan tangan aparat yang menjelma menjadi alat kekuasaan, merampok, menindas, mengintimidasi dan mengkriminalisasi masyarakat bawah.
Seperti kejadian di Wadas, penggusuran-penggusuran tanpa ganti rugi yang layak, perampasan tanah adat untuk tambang para cukong, hingga penangkapan terhadap para aktifis dan kelompok yang menyuarakan kebenaran.
Sudah tak terhitung rakyat yang mencoba melawan kezaliman pemerintah yang mendapatkan perlakuan kejam dan sadis. Mulai dari pemenjaraan secara sepihak para aktifis KAMI, FPI, HTI, buruh, Ulama, Ustad, dan Mahasiswa.
Kasus pembunuhan seperti KM50, penangkapan dan pembantaian oleh Densus 88 terhadap umat Islam dengan alasan terorisme, persekusi terhadap para da’i yang melakukan dakwah, semua terjadi sangat masif oleh pemerintah hari ini.
Namun di satu sisi lain, kita bagaimana melihat para koruptor trilyunan rupiah divonis ringan bahkan ada yang bebas. Para penista agama, para buzzer seperti Abu Janda, Ade Armando, Deny Siregar, Dewi Tanjung, Sukmawati hingga koruptor Harun Masiku sampai hari ini bebas melenggang belum ditangkap. Padahal semua sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian.
Artinya dari kesimpulan singkat yang kita dapat bahwa: Yang menjadi otak dan penyebab utama dari semua kegaduhan di negeri ini adalah akibat perilaku dan kebijakan pemerintah itu sendiri yang dengan sewenang-wenang, tanpa mempedulikan hukum dan konstitusi. Tanpa mempedulikan jeritan hati dan suara rakyat. Menghalalkan segala cara demi kepentingan kelompok oligharki.
Lalu dengan seenaknya melalui rekayasa inteligent, membangun opini, pemerintah berupaya mengalihkan semua kegaduhan ini seolah-olah dilakukan oleh kelompok oposisi dan radikal?
Sungguh semua rekayasa itu sudah usang dan tak laku lagi saat ini. Masyarakat sudah cerdas dan bisa membedakan. Justru upaya fitnah ini akan semakin meningkatkan gelombang perlawanan rakyat yang semakin “jijik” melihat permainan politik kotor penguasa untuk melindungi dirinya.
Gelombang perlawanan rakyat ini semua, juga bentuk akumulasi sudah tidak ada lagi kepercayaan masyarakat terhadap rezim hari ini.
Kewibawaan pemerintah sudah jatuh hancur lebur. Kebohongan demi kebohongan serta trik dan intrik manipulasi berita media menggunakan tangan-tangan buzzer sudah tidak mempan lagi saat ini. Para generasi milenial dan mahasiswa lebih cerdas dari pada buzzer bayaran itu.
Kita semua tidak tahu bagaimana kelanjutan dari aksi demo mahasiswa 11 April nantinya. Apakah cukup sampai di situ dan berhasil kembali dipadamkan penguasa? Atau akan terus menggelinding ibarat bola salju sampai pemerintah hari ini jatuh? Kita tidak tahu dan juga bisa anggap sepele.
Karena apapun bisa terjadi saat ini. Karena konstalasi politik global juga mulai berkonstraksi melihat Indonesia. Seperti kebijakan terbaru resolusi PBB tentang “Hari Anti Islamphobia” yang dimotori Amerika. Hal ini adalah sinyal positif konsolidasi dunia Islam dan Barat dalam menghadapi cengkraman komunisme khususnya di Indonesia. Ditambah, konflik kedatangan Rusia dan penolakan Amerika Cs dalam KTT G20 nanti di Bali juga semakin panas.
Belum lagi perpecahan di tubuh istana antara yang pro perpanjangan dengan yang Pilpres tetap sampai 2024. Semua ini adalah, tanda-tanda bahwa rezim ini sudah goyah dan akan sulit bertahan. Apalagi kalau ditambah dengan kondisi keuangan yang boleh dikatakan negara ini sudah “bangkrut”. Menambah tanda-tanda kejatuhan rezim saat ini sudah semakin dekat dan nyata.
Satu kata yang kita bisa ucapkan saat ini hanyalah, semoga apapun yang terjadi ke depan, semua tetap adalah proses terbaik untuk masa depan negeri ini. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, adalah lambang kekuatan civil society dalam melawan pemerintah yang tidak amanah dan berpihak pada oligharki.
Semoga perjuangan para mahasiswa kita hari ini bersih dari segala upaya infiltrasi dan pembusukan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Sehingga mahasiswa, aktivis, tokoh masyarakat yang murni berjuang untuk masyarakat tidak dijadikan tumbal dan korban fitnah kegaduhan yang diciptakan oleh penguasa itu sendiri. InsyaAllah.
Perth-Australia. 08 April 2022
Komentar