Oleh: Jumrana Salikki
(Aktivis Sosial)
KEGELISAHAN rakyat Indonesia mulai menggeliat dan dibarengi dengan kekhawatiran pemimpin wilayah dan daerah di beberapa provinsi untuk melakukan karantina.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan terobosan untuk mencoba memutus penyebaran Covid-19, supaya tidak menjadi bencana nasional. Namun terobosan itu kandas karena adanya keengganan dari pemerintah pusat. Pada akhirnya, himbauan yang dikeluarkan.
Anis tetap bergerak, tak pernah diam, dengan caranya, bagaimana DKI tidak banyak menelan korban, social distancing, jaga jarak, jaga kebersihan dan gerakan di rumah saja. Juga, terutama melayani dan menyelamatkan tim medis agar bisa bekerja maksimal dengan aman. Tim medis yang mestinya garda terakhir, karena kebijakan yang tidak singkron, pusat dan daerah menjadikan mereka (dokter, perawat dan relawan) sebagai garda terdepan dengan taruhan nyawa tiap detik siap menjemput.
Virus Corona Wuhan mulai merebak, beberapa waktu lalu, kemudian sebagian Asia, Eropa terutama Italia, bahkan di hampir seluruh dunia.
Namun, pemerintah Indonesia sangat enteng menyikapinya. Malah bencana itu dijadikan momen yang baik untuk meraup keuntungan dengan membuka akses pariwisata di tanah air. Memberi karpet merah kepada wisatawan asing.
Sementara negara lain, berjibaku bagaimana menyelamatkan rakyat dan negaranya. Belum lagi masuknya tenaga-tenaga kerja asing khususnya dari tiongkok ke Indonesia secara terang-terangan.
Belum lagi narasi dari para petinggi negeri ini yang menganggap remeh akan virus mematikan ini. “Corona tidak akan ke Indonesia “….
Nantang ataukah menyiapkan karpet merah pada corona?
Ada Apa dengan Negeriku?
Virus Corona atau covid 19 bak hantu yang menempel dan merasuk lalu merusak di tiap tubuh manusia. Ada tapi tiada karena tidak bisa dilihat melalui panca indera. Korbannya pun ada yang bertanda dan ada juga tanpa tanda jika terpapar Covid-19.
Menjaga stamina dengan asupan gizi yang cukup, hidup bersih (rajin cuci tangan), imun kuat (percaya diri, ikhlas dalam kondisi sulit) dan berserah tentang hidup, adalah antara lain untuk mencegah wabah Covid-19 yang mematikan ini.
Pandemi virus ini begitu cepat. Dahsyat.
Bak senjata pemusnah manusia. Begitu canggih. Tak ada daya ledak, termasuk tanda. Tapi korban berjatuhan. Tak pilih merek kaya dan miskin. Petinggi negeri atau rakyat jelata. Tiba-tiba ODP, PDP, pulih atau lalu berpulang.
Yang sadar kesehatan segera memeriksakan diri ke Rumah Sakit atau karantina mandiri. Tapi bagi rakyat awam dianggap meriang (demam biasa) atau tak bertanda, lalu berpulang.
Indonesia yang berpenduduk 270 juta, negara akan kesulitan mendeteksi rakyatnya yang terpapar. Tentu yang terdeteksi hanyalah yang memeriksakan diri ke tim medis atau rumah sakit.
Akan seberapa kuat rumah sakit melayani dan menampung yang terpapar? Dan bagaimana menekan pergerakan virus tersebut di masyarakat luas.
Apalagi keterbatasan jumlah tim medis dan alat pelindung diri (ADP) yang memadai. Akankah tim medis jadi tameng untuk menyelamatkan negeri ini?
Apakah kita akan membiarkan para dokter- dokter terbaik kita bertumbangan tiap hari, lalu langka?VLalu akankah kita mengimpor dokter dari luar negeri, juga?
Para dokterpun berteriak lockdown, supaya bisa memutus rantai penyebaran Covid-19. Sampai hari ini, negeri belum membuka mulut, tak bernarasi, bagaimana mencoba melokalisir penyebaran virus mematikan ini.
Lockdown ditolak, tidak sesuai dengan negara kita Indonesia.
Ok. Mari kita tinggalkan lockdown. Karantina saja, sesuai yang dikehendaki negara ini. He he he..
Pilihannya negara harus hadir mengambil kebijakan yang jernih dan terukur, mengutamakan keselamatan nyawa rakyatnya di atas kepentingan politik dan ekonomi. Karantina.
Dengan karantina, terjadi proses pembatasan dan pemutusan penyebaran virus tersebut. Jika tidak, maka akan terjadi pemusnahan massal terhadap rakyat Indonesia. Terpapar, sembuh bagi yang kuat. Berpulang bagi yang lemah.
Negara kuat dan modern saja kalang kabut. Apalagi Indonesia, rakyatnya masih bagitu banyak yang hidup di bawah rata-rata.
Dan, Jika negara tidak hadir, nurani pemimpin wilayah, gubernur, bupati/walikota, desa, bahkan kepala kampung atau siapa saja harus hadir menjadi benteng pertahanan terakhir bagi keselamatan rakyatnya di mana ia ada.
Jika terjadi pembiaran tanpa karantina, maka daya sebaran Covid-19 ini akan semakin berbahaya. Yang terpapar bergerak cepat. Angka kematian pun sulit ditekan. dan bahkan kelaparan karena semakin lamanya waktu yang harus ditempuh untuk merumahkan, sehingga masalah ini semakin memporak-porandakan ekonomi dan bahkan kerawanan sosial yang tak diinginkan, bisa terjadi.
Sekalipun kematian hanya milik Allah, tapi hianatlah bagi kita membuka pintu, jendela negeri ini, membiarkan rakyat dimangsa covid 19.
Lalu siapakah yang bertanggungjawab dengan ini? Kepada siapa rakyat bertanya dan berharap?
Akankah pembiaran tanpa karantina? Terpapar bersama atau mati bersama??? Herd immunity, bukanlah pilihan tepat. Sangat bertentangan dengan agama dan budaya bangsa Indonesia. Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan lainnya.
Semoga Allah SWT, memberi ruang pada HambaNya Yang Mampu Berkata, Berbuat, Bertitah dengan hati, penuh cinta sebagai Benteng terakhir, tauladan bagi rakyatnya di mana ia berada, jauh dari hiruk pikuk narasi citra semata.
DKI Jakarta mengawali, Papua, Jawa Tengah, Sulawesi Barat, entah di kampung, di komunitas, di kabupaten nun jauh di sana yang bisa jadi inspirasi bagi kita semua.
Jangan Pernah Takut, untuk Kemanusiaan, akan selalu dialiri energi positif. Keputusan dan kebijakan tidak poluler di tengah arus deras akan bermakna hakiki dan akan populer pada waktunya sepanjang zaman. Tak tenggelam dengan kematian.
Membantu menyelamatkan 1 nyawa adalah utama, apalagi 1 desa, kabupaten atau provinsi, apalagi negara.
Jangan pernah dikubur sebelum mati. Sejarah akan menjawab semua itu.
Bangkitlah
Bangunlah
Berbuatlah
Wahai, saudaraku Pemimpin Negeri, di mana saja. Engkau ada.
Jangan berharap kasih
Jangan berharap cinta
Apalagi ridho dari rakyat.
Jika kasih, cinta, dan sambungan napasku tak pernah dihirau.
Komentar