Ketua Umum METI: Hati-hati, Larangan Ekspor Batubara adalah Warning

TILIK.ID — Pemerintah melarang ekspor batu bara periode 1-31 Januari 2022. Langkah ini dilakukan guna menjamin pasokan batu bara untuk pembangkit listrik. Keputusan ini sebagai bentuk kepanikan pemerintah karena lambatnya transisi ke energi bersih.

Hingga kuartal III tahun 2021, bauran sektor energi baru dan terbarukan (EBT) baru 11,2 persen jauh dari target 23 persen pada tahun 2025.

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, menegaskan ini merupakan peringatan bagi Indonesia jika tidak hati-hati dengan kebergantungan pada PLTU.

“Dengan pelarangan ekspor ini, terkesan kita sedang panik. Kejadian ini menjadi bukti penerintah sudah harus menyiapkan diri beralih dari energi fosil ke energi terbarukan,” kata Surya Darma dalam siaran tertulisnya yang diterima TILIK, Kamis (13/1/2021).

Surya pun meminta agar pembangunan PLTU yang baru seharusnya tidak lagi dilakukan. “Yang belum dibangun ya jangan dibangun lagi. Buat saja dengan pembangkit energi terbarukan untuk program listrik yang baru,” ujarnya.

Pemerintah melarang ekspor batu bara bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B.

BACA JUGA :  Ketua METI: Krisis Energi Ingatkan Pentingnya Energi Terbarukan

Kebijakan itu dikeluarkan pemerintah dengan alasan kekhawatiran kurangnya pasokan batu bara yang akan berdampak kepada lebih dari 10 juta pelanggan PLN mulai dari masyarakat umum hingga industri, di wilayah Jawa, Madura, Bali (Jamali), dan non-Jamali.

Pelarangan ekspor itu sifatnya sementara. Jika larangan ekspor tidak dilakukan, hampir 20 PLTU dengan daya sekitar 10.850 MW akan padam. Ini berpotensi mengganggu kestabilan perekonomian nasional.

“Indonesia sangat sering melakukan tindakan yang sifatnya juratif jangka pendek dalam mengatasi krisis energi. Sebetulnya UU Energi sudah mengamanahkan Dewan Energi Nasional (DEN) dan pemerintah menyusun skenario darurat energi,” kata Surya Darma.

Menurut dia, skenario transisi energi minimal sesuai dengan target Kebijakan Energi Nasional (KEN), energi terbarukan 23 persen tahun 2025 dan 31 persen tahun 2050. Meskipun jika ingin memenuhi target Net Zero Emission (NZE) tahun 2060, maka target itu belum tentu cukup.

“Skenario ini menjadi penting agar tidak terjebak dalam sebuah tataran yang secara tiba-tiba akan mengalami krisis kembali,” katanya.

BACA JUGA :  Lawan Kita Adalah Ketika Kekuasaan Bekerja untuk Kebutuhan Rezim

Dikatakan, harmonisasi antara penyiapan pembangkit energi terbarukan dan penurunan penggunaan energi yang hanya bergantung pada PLTU akan membawa krisis baru jika tidak dipersiapkan dengan matang.

“Jangan lagi kita bicara ini itu. Fokus saja. Jangan kita terjebak lagi pada wacana yang tidak menentu. RUU Energi Terbarukan sudah beberapa tahun dibahas, tapi masih saja molor terus. Kami sangat khawatir jika hal ini tidak diselesaikan,” kata Surya Darma.(sal)

Komentar