Korupsi Tak Terbendung di Era Desentralisasi (1)

Oleh DR. Abustan SH, MH
(Dosen Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Islam Jakarta – UID}

AKHIR-akhir-akhir ini, publik tak hentinya disuguhi penangkapan pejabat kepala daerah akibat tersandung kasus korupsi. Perampokan uang rakyat itu terus terjadi, padahal semua pejabat daerah adalah hasil dari pilihan rakyat (pilkada langsung).

Terakhir Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kuantan Singingi Riau yang kena OTT terkait suap izin perkebunan (Selasa, 19 Oktober 2021).

Sebelumnya KPK juga menetapkan Dodi Reza Alex Noerdin sebagai tersangka (16/10/2021) terkait kasus pengadaan barang dan jasa infrastruktur di Kabupaten Musi Banyuasin. Jadi hanya beberapa hari saja KPK kembali menangkap seorang Bupati, sehingga menambah panjang daftar kepala daerah yang ditangkap oleh KPK.

Kondisi itu, ikut membombardir kesadaran warga bahwa betapa rentannya tingkat korupsi pejabat yang ada daerah di era desentralisasi sekarang ini, sehingga begitu mudah kekuasaan itu disalahgunakan. Adagium terkenal Lord Action sepertinya mendapat pembenaran “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

Nepotisme dan Oligarki

Memang, korupsi hal yang memprihatinkan karena perbuatan ini terus berulang dan dilakukan oleh pejabat di level pimpinan daerah yang seharusnya menjadi figur teladan kepemimpinan di daerahnya. Karena itu, yang menjadi pertanyaan dasar bagi kita, mengapa pejabat publik yang ada di daerah (Gubernur, Bupati, dan Walikota) tidak juga merasa jera dan tak kunjung berubah dari prilaku koruptif?

BACA JUGA :  Hidup di Era ‘Herd Immunity’

Padahal kejadian yang pernah menimpah pejabat daerah sebelumnya, haruslah dijadikan momentum terbaik untuk melakukan perubahan prilaku, sehingga hal yang berkorelasi dengan pungli, gratifikasi dan korupsi tak lagi menjadi penyakit yang melekat di pemerintahan yang ada di daerah. Apalagi, jika prilaku koruptif ini dilakukan oleh kalangan internal keluarga. Katakanlah suami-isteri, ayah dan anak. Jadi tak dapat diingkari bahwa korupsi pejabat daerah lahir dari praktek nepotisme. Makanya KPK menyasar para pejabat yang lahir dari cikal bakal nepotisme dan kenyataannya belakangan ini. KPK melakukan OTT rata-rata dari kalangan pejabat yang berlatar belakang nepotisme.

Fakta itu dapat ditelusuri dan dicermati, ketika beberapa kasus korupsi justru terjadi atau dilakukan dalam ikatan keluarga (dinasti politik). Sejumlah nama dapat dicatat seperti Ratu Atut Chosiyah dan Tubagus Chaeri Wardana (kakak-adik), Sri Hartini dan Haryanto Wibowo (isteri-suami), Atty Suharti dan M Itoc Tochija (isteri-suami), Tubagus Iman Ariyadi dan Aat Syafaat (anak-bapak), Rita Widyasari dan Syaukani Hasan Rais (anak-bapak), Adriatma Dwi Putra dan Asrun (anak-bapak). kemudian isteri-suami Puput Tanriana Sari dan Hasan Aminuddin, Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza dan Alex Noerdin (anak-bapak), serta terakhir Andi Putra Bupati Kuansing yang juga tercatat anak dari Bupati ketiga Kuansing (H.Sukarmis). Dengan demikian, muara korupsi dapat disimpulkan berasal dari nepotisme dan oligarki.

BACA JUGA :  Nasdem Atau PPP yang Duluan Deklarasi Anies?

Benar kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa lepas dari kepentingan kekuasaan (oligarki) dan nepotisme. Ia mengatakan pelaku korupsi yang kerap ditindak KPK berawal dari adanya politik oligarki.

“Kalau kita ikuti penindakan yang dilakukan KPK, terutama kalau dikaitkan dengan operasi tangkap tangan kepala –kepala daerah itu sebetulnya tidak lepas dari politik oligarki dan nepotisme, di sana kita pahami bahwa pemilihan kepala daerah itu juga tidak lepas dari kepentingan ekonomi.”

Negeri ini menjelma menjadi tempat para koruptor, tak heran jika berbagai posisi ditransaksikan. Hal itu, membuat pula mereka tak malu lagi menggarongi uang rakyat. Berbagai izin yang merupakan tanggung jawab mereka untuk mengeluarkannya jika memang sudah memenuhi syarat yang ditentukan oleh peraturan, justru dijadikan lahan korupsi. Dana bantuan pusat yang digelontorkan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur daerah dan gerak pembangunan desa juga ikut dikorupsi. Maka, tentu saja IPK 2021 posisi Indonesia pada peringkat ke-102 dari 180 negara. Posisi Indonesia terpuruk dan setara dengan Gambia yang juga tergolong negara terkorup.

Buntut dari ulah pejabat daerah yang korup tersebut, yaitu masyarakat di daerah menjadi korban. Penyebabnya karena dana yang menurut anggaran seharusnya untuk pembangunan dan kesejahteraan semua warga negara malah diklaim sebagai milik pribadi atau dipergunakan berfoya-foya dan menikmati kehidupan henonis demi kepentingan keluarga (nepotisme). Dengan demikian, gerak pembangunan dan kesejahteraan rakyat berbelok ke arah yang salah, sehingga akibatnya rakyat makin miskin.

BACA JUGA :  Misteri Politik Daring Korupsi

Lebih dari itu, fenomena korupsi ini juga memburamkan nilai-nilai solidaritas sosial (kearifan lokal) yang sudah lama tertanam sebagai suatu nilai luhur yang ada di daerah. Dimana nilai itu masyarakat lebih mengutamakan kehidupan secara gotong royong (keharmonisan) ketimbang keserakahan dan kehidupan yang mewah. Jadi nilai itu telah “tercerabut” karena prilaku korupsi yang jelas-jelas dilakukan demi kepentingan oligarki dan kerabat/keluarga (nepotisme).

Padahal, suatu keniscayaan bahwa hanyalah hal-hal yang baik saja yang harus dihadirkan dalam sebuah keluarga. Nilai kesederhanaan, keterbukaan, kejujuran, kebaikan/rendah hati yang mesti menjadi “cita rasa” dalam lingkup komunitas dan interaksi keluarga.

Gambaran realitas itu menjadi penting diperhatikan oleh pemangku kepentingan yang ada di daerah selaku level pemerintahan di garda terdepan di tengah dinamika pemerintahan yang dilandasi desentralisasi. Untuk itu, dalam praktek diharapkan distribusi kewenangan di daerah mampu lebih mempercepat akselerasi pembangunan , bukan sebaliknya mengdistribusikan korupsi ke daerah.

(bersambung)

Komentar