Bang Sém
PARA guru besar ilmu kejiwaan di berbagai universitas ternama negeri ini, atau Asosiasi Profesor Indonesia kluster Ilmu Jiwa, agaknya perlu duduk bareng untuk menyusun buku panduan “Cara Marah yang Efektif dan Efisien” khusus bagi para petinggi negeri. Khasnya di lingkungan pemerintahan (eksekutif, legislatif, yudikatif).
Kini, dan mungkin juga esok atau lusa, buku panduan itu amat diperlukan.
Perubahan zaman pasca pandemi, beban utang negara yang terus memberat, ‘masa kegelapan’ yang panjang, politik pragmatis dan traksasional sebagai bagian dari kuatnya oligarki dalam kekuasaan penyelenggaraan negara yang mengarus ke arah ownership katimbang leadership, akan memberikan tekanan kuat kepada siapa saja petinggi. Terutama yang mengemban beban berat sebagai petugas partai yang mengemban dwi fungsi dalam pemerintahan. Sebagai petinggi sekaligus petugas partai.
Khasnya di pos-pos penugasan yang kadung rusak oleh raswah, kronisma, korupsi, dan invisible mission partai politik. Padahal tugas pokok pos penugasan (institusi) tersebut. langsung tak langsung, berhubungan dengan layanan rakyat atau khalayak (people services).
Panduan itu diperlukan, karena belakangan, cara dan ekspresi marah sejumlah petinggi, sudah melampaui ambang batas kewajaran dan etika sosial. Tak hanya sebatas ekspresi kepatutan yang bisa diterima secara budaya dengan segala keragaman nilai dan norma sosial bangsa yang memang beragam ini. Eksplosif, atraktif, dan demonstratif !
Nilai agama dan tradisi budaya, yang mendidik manusia mengendalikan amarah dalam bingkai ruang dan waktu, pun agaknya sudah tak lagi berpengaruh.
Bila melihat ekspresi dan atraksinya, kemarahan itu sudah memperkaya masalah bangsa ini. Terasa sudah terlalu intens dan sering dirasakan, atau diungkapkan secara tidak tepat.
Seperti pandangan Patrick M. Reilly, Ph.D., Profesor Emeritus Clinical Psychology di University of California – San Francisco dan Michael S. Shopshire, Ph.D pakar ilmu jiwa University of California – Berkeley, kemarahan yang sudah menampakkan ketegangan fisik ekstrim dan terlihat secara kasad mata, tak lagi bermanfaat bagi siapa saja, baik bagi sang petinggi atau bagi lingkungan sosialnya.
Kilah, “Saya memang pemarah,” sebagai alasan pembenar tindakan marah tak bisa diterima siapapun yang masih mempunyai keseimbangan nalar, nurani dan rasa, agar tak hanyut oleh naluri menyimpang.
Khalayak, melalui berbagai media bereaksi negatif, dan relatif sama memandang, bahwa marah — sebagaimana diekspresikan sang petinggi — tak elok dan tak patut. Meskipun para ‘pembelanya’ dalam berbagai acara temu bual (talkshow televisi dan podcast) mengemukakan ada manfaat dari kemarahan sang petinggi, terjadi perbaikan keadaan di wilayah sosialnya.
Secara teoritis, marah diperlukan oleh petinggi yang gemar memanipulasi dan mengendalikan orang lain melalui aksi agresif dan mengintimidasi. Asumsinya adalah, seseorang atau bahkan khalayak, mungkin menuruti tuntutan apa maunya sang petinggi, karena takut akan ancaman verbal atau kekerasan.
Marah, juga sering diyakini sebagai pelepas ketegangan yang terjadi ketika seseorang (khasnya petinggi) kehilangan kesabaran dan bertindak agresif. Secara personal, si petinggi mungkin merasa lebih baik setelah meledakkan kemarahan, tetapi bagi orang lain yang menjadi ‘mangsa kemarahan’ mungkin merasa situasi yang lebih buruk, dan terluka batinnya.
Reilly dan Shopsire (2020) mengemukakan, dalam jangka panjang, anggapan tentang manfaat kemarahan ini memiliki konsekuensi negatif secara signifikan yang lebih besar daripada manfaat jangka pendek.
Petinggi pemarah adalah bagian dari golongan manusia yang kalah menghadapi berbagai mitos kemarahan. Mulai dari mitos, bahwa ekspresi aksi kemarahan bersifat permanen dan tidak dapat diubah sampai mitos, bahwa kemarahan umumnya diyakini sebagai sesuatu yang menumpuk dan meningkat ke titik ledakan agresif.
Mereka salah paham dalam memandang kemarahan sebagai perilaku diwariskan dan tidak dapat diubah. Ekspresi wajah dan respons sistem saraf kita ketika marah merupakan sesuatu yang diwariskan. Meskipun sampai batas tertentu kecenderungan seseorang untuk marah didasarkan pada faktor genetik, sifat-sifat psikologis, dan kecenderungan untuk marah secara persisten.
Buades – Rotger & Gallardo (2014) mengisyaratkan, para pemarah, tumbuh dalam lingkungan masa kecil yang penuh dengan tekanan dan kerap berinteraksi dengan ekspresi kemarahan beragam sosok manusia pemarah.
Panduan ‘Cara Marah yang Efektif dan Efisien,’ sangat diperlukan bagi petinggi, dalam konteks pendekatan manajemen kemarahan yang terkait dengan teori kognitif sosial Bandura (2018), khasnya terkait asumsi bahwa perilaku dapat diubah secara personal melalui pemahaman dinamika sosial.
Juga dalam konteks manajemen kemarahan yang efektif dan efisien dengan pengendalian eskalasi kemarahan dengan mengasah kecerdasan dan keterampilan untuk membedakan kemarahan dengan ketegasan. Tak terkecuali pengendalian diri untuk menurunkan ekspresi kemarahan eksploratif ke level ‘misu-misu.’
Hal tersebut diperlukan supaya petinggi tak terjebak dengan fantasi mereka, tentang marah sebagai bagian dari kiat dan siasat perilaku. Karena, orang tak harus marah – apalagi dengan cara agresif untuk mendapatkan solusi atas suatu masalah yang dihadapinya.
Petinggi harus menentukan jalan, keluar dari kubangan fantasi yang menjebaknya, dengan menghidupkan kesadaran, bahwa kemarahan — dengan apalagi dengan aksi agresif — cenderung memaksakan kehendak untuk mendominasi dan mengintimidasi orang lain, sekaligus menyakiti orang lain.
Marah adalah manusia, karenanya dalam mengelola marah dan kemarahan, siapa saja — khasnya, petinggi — kudu punya kesadaran afirmatif, yakni mengekspresikan perasaan marah dengan cara tetap menghormati orang lain.
Panduan ‘Cara Marah yang Efektif dan Efisien’ juga diperlukan oleh setiap petinggi supaya mampu melawan mitos, bahwa marah harus dilampiaskan. Karena kebiasaan melampiaskan kemarahan secara ekspressif cenderung memperkuat perilaku agresif.
Kemarahan yang sering dilakukan dan disertai sikap agresif, akan menjadi kebiasaan yang maladaptif dan mencerminkan sang pemarah kurang daya pikir.
Maknanya, petinggi yang senang (atau mungkin hobi) marah, tak layak dan tak patut menjadi pemimpin dalam pemerintahan. Ingat, mereka itu ‘pelayan rakyat,’ bukan ‘pemilik rakyat’ – paham sesat yang sedang dikembangkan.|
Komentar