Susarzah KAHMI Jaya


Catatan Bang Sem

RIDWAN (Boim) –Ketua KAHMI (Korps Alumni HMI) Jakarta Raya atawa KAHMI Jaya– mengunggah beberapa foto kegiatan organisasinya, termasuk FORHATI — di laman facebook-nya, beberapa hari berselang. Materi kegiatannya tak berhubungan dengan politik dan ekonomi, tetapi lebih dekat dengan aktivitas sosio budaya.

Kegiatan tersebut saya sebut saja Susarzah – kursus pemulasaran jenazah. Saya apresiasi kegiatan yang sangat keren ini, meskipun bagi organisasi lain, seperti Dewan Masjid, merupakan sesuatu yang biasa. Bahkan mungkin kegiatan reguler.

Bagi alumni HMI (anggota KAHMI dan FORHATI) yang pada dirinya melekat kualitas insan cita –yang mencerminkan kecerdasan akademik, kreativitas, pengabdian, islami, dan tanggung jawab atas masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT– aktivitas yang boleh jadi nampak biasa saja, itu menjadi penting.

Pasalnya, sebagai insan cita, alumni HMI mengemban apa yang disebut sebagai dhamir khidmat al mujtama’i, konsiensi keumatan yang langsung tak langsung terhubung dengan prinsip dasar hairunnaas anfa’uhum lin naas (sebaik-baiknya insan adalah yang bermanfaat bagi khalayak). Konsiensi layanan keumatan, secara pribadi, komunitas atau sosial.

Unggahan Boim, bagi saya, aktivitas berdimensi nida.’ Aksi perkabaran yang tanpa pretensi apapun, namun menangguk kesadaran untuk ‘menanam, menyemai, merawat, dan menuai kebajikan.’ Memantik kesadaran untuk melakoni secara entusis simpati, empati, apresiasi, serta respek berdimensi cinta dan kemanusiaan. Sesuatu hal yang ‘mahal’ di tengah khalayak yang senang memburu kuasa. Sekaligus menjadi salah satu ciri masyarakat berbudaya.

BACA JUGA :  Din-Rachmat dan Sinergi Muhammadiyah-NU di KAMI

Pemulasaran jenazah –dalam perspektif keislaman– adalah bagian dari responsibilitas keumatan yang integral dan satu tarikan nafas dengan mensalatkan, menghantarkan ke pemakaman, dan memakamkan jenazah.

Saya sering mengamsalkan, ritual kematian, mulai dari pemulasaran jenazah bagi setiap muslim – insan beriman yang pada dirinya melekat kewajiban long life education: pembelajar (thalabul ‘ilm) sepanjang hayat, dari buaian hingga liang lahat — adalah ritual wisuda – inaugurasi paling bermartabat. Pada seluruh rangkaian prosesnya, siapa saja yang masih hidup, terrelasi dan terkorelasi dengan jenazah, mengalir dalam rangkai konsiensi imani.

Pada prosesi pemakaman, keikhlasan bagai dihantarkan pawana, merasuk ke sanubari, membentengi diri dari segala penyakit: hasad, hasud, iri, dengki, hamun dan sejenisnya. Situasi relasi – korelasi manusia dengan manusia, manusia dengan semesta, dan manusia dengan Allah (Créateur tout-puissant). Relasi insan dengan al Khaliq yang menjadi cermin besar kesadaran untuk melakukan muhasabah (introspeksi, refleksi, evaluasi diri), ta’amul aldhaati.

Tak Kalah Penting

Saya teringat dengan seorang sahabat –manajer akuntansi– di kantor, beberapa tahun silam. Suatu ketika, dalam rapat penyusunan rencana program kerja tahunan dengan para manajer, saya lontarkan pertanyaan ihwal keperluan training – kursus untuk penguatan kualitas karyawan sebagai modal insan.

BACA JUGA :  AMIN Jangan Terjebak Quick Count Lembaga Survei, Tunggu Real Count

Berbagai usul dan gagasan mengemuka, mulai dari yang elementer sampai yang paling substansial, perihal kepemimpinan. Sahabat saya yang satu ini, tetiba mengusulkan perlunya ‘kursus pemulasaran jenazah.’ Serius dia mengusulkan hal tersebut.

Saya persilakan dia mengemukakan argumennya. Saya dan kolega lain, tercekat. Ketika dia menguraikan berbagai dimensi pemulasaran jenazah dengan berbagai pencapaian nilai yang mungkin dicapai. Tanpa kecuali nilai non empiris yang biasa disebut sebagai berkah, yang buahnya akan dapat dirasakan secara empiris.

Semua kami setuju. Dia saya minta menjadi pemimpin program. Ternyata peminatnya banyak. Belakangan saya mafhum, di komplek perumahan tempat dia berdomisili, setiap ada warga yang wafat, dia lah yang memimpin proses pemulasaran.

Selaras dengan itu, para karyawan mantan peserta kursus pemulasaran jenazah, memainkan peran khas di lingkungan sosialnya masing-masing. Tak jarang, setiap kali bertemu saat bertakziah ke kolega yang wafat saya menyaksikan mereka, tak hanya lebih islami dan tawaddu,’ jauh dari itu juga lebih bijaksana.

Manfaat mengikuti kursus atau training pemulasaran jenazah berdimensi luas – personal dan sosial. Khasnya, ketika anak-anak mereka juga termotivasi mengikuti pelatihan, karena bercita-cita, kala orang tuanya wafat tak harus menunggu (apalagi mencari-cari) pemulasar jenazah. Tanpa kecuali, mengimami salat jenazah.

BACA JUGA :  SMRC Meneror Publik Agar Menjauh dari Politik dan Ajaran Agama Islam

Alhasil, dari pengalaman semacam itulah, saya memandang apa yang dilakukan Boim menyelenggarakan program tersebut di lingkungan KAHMI – FORHATI Jakarta Raya sebagai aksi yang mesti diapresiasi. Susarzah tak kalah penting dengan Suspim (kursus kepemimpinan) dan kursus-kursus pengembangan kualitas modal insan di lingkungan sosial (organisasi sosial maupun bisnis).

Apalagi pemulasaran jenazah pun mengandung makna asasi, tanggung jawab personal dan sosial setiap insan beriman sebagai sesama saudara, sesuai ghairah di lingkungan internal KAHMI – FORHATI. “Innamal mu’minuuna ikhwah.” Sesungguhnya setiap mukmin bersaudara. |

Komentar