Di UGM, Akademisi Kampus Kembali Bersuara

TILIK.ID — Sebelum pemungutan suara Pemilu 2024, Puluhan civitas akademika ramai-ramai mengeritik kepemimpinan Presiden Jokowi yang dianggapnya merusak demokrasi dan etika berbegara.

Gerakan kampus-kampus tersebut sempat redup menjelang di masa temang Pemilu 2024. Namun pasca pencoblosan 14 Feberuari, gerakan kampus kembali muncul, apalagi meyakini Pemilu 2024 terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif.

Seperti di Kampus UGM, Selasa (12/3/2024), puluhan civitas akademika membuat pernyataan sikap melalui gerakan ‘Kampus Menggugat”. Tema yang diusung adalah menuntut “Tegakkan Etika dan Konstitusi, Perkuat Demokrasi”.

Mereka mengkritik kondisi demokrasi saat ini dan mengajak untuk mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir.

Hadir dalam Kampus Menggugat di Balairung UGM itu antara lain Prof Koentjoro, Prof Wahyudi Kumorotomo, Prof Budi Setiadi Daryono, Prof Sigit Riyanto hadir. Terlihat pula Wakil Rektor UGM Arie Sujito.

Dosen yang hadir di antaranya Zaenal Arifin Mochtar. Sedangkan dari luar UGM di antaranya Rektor UII Prof Fathul Wahid dan Rektor Universitas Widya Mataram Prof Edy Suandy.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM Busyro Muqoddas juga hadir. Kemudian sejumlah seniman dan budayawan juga turut hadir. Termasuk ketua BEM KM UGM dan para mahasiswa lainnya.

BACA JUGA :  Giliran Unpad Keluarkan Seruan, Kritisi Praktek Bernegara Jokowi

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Prof Budi Setiadi Daryono itu, para akademisi mengungkapkan bahwa universitas adalah benteng etika dan akademisi. Mereka adalah insan ilmu pengetahuan yang bertanggungjawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, menjaga keadaban (civility), dan mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.

“Inilah momentum kita sebagai warga negara melakukan refleksi dan evaluasi terhadap memburuknya kualitas kelembagaan di Indonesia dan dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucap Prof Budi.

Dikatakan, Reformasi 1998 adalah gerakan rakyat untuk mengembalikan amanah konstitusi, setelah terkoyak oleh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di masa Orde Baru.

Kini, kata Prof Budi, pendulum reformasi berbalik arah sejak 17 Oktober 2019 yang ditandai revisi UU KPK dan diikuti pengesahan beberapa UU lain yang dipandang kontroversial seperti UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan lain sebagainya.

“Pelanggaran etika dan konstitusi meningkat drastis menjelang Pemilu 2024 dan memperburuk kualitas kelembagaan formal maupun informal,” katanya lagi.

Kemunduran kualitas kelembagaan ini, menurutnya, menciptakan kendala pembangunan bagi siapapun presiden Indonesia 2024-2029 dan selanjutnya.

BACA JUGA :  Raihan Klaim Didukung Banyak Cabang jadi Ketua Umum PB HMI

“Konsekuensinya, kita semakin sulit untuk mewujudkan cita-cita Indonesia emas 2045, yang membayang justru adalah Indonesia cemas,” katanya.

Konstitusi memberikan amanah eksplisit kepada semua warga negara Indonesia, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun peradaban, menjaga keberlanjutan pembangunan, menjaga lingkungan hidup, dan menegakkan demokrasi.

Akademisi menjalankan tugas konstitusi mencerdaskan kehidupan bangsa dan membangun peradaban melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tugas ini, menurutnya, hanya dapat dilakukan ketika etika dan kebebasan mimbar ditegakkan.

“Pelanggaran etika bernegara oleh para elite politik, akan mudah dicontoh oleh berbagai elemen masyarakat. Hal ini mengancam kelangsungan berbangsa dan bernegara, dan menjauhkan Indonesia sebagai negara hukum,” lanjutnya.

Guru Besar Fisipol UGM Prof Wahyudi Kumorotomo menyampaikan tiga poin utama dalam gerakan moral Kampus Menggugat.

Pertama, universitas sebagai benteng etika menjadi lembaga ilmiah independen yang memiliki kebebasan akademik penuh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar, dan penelitian ilmiah.

Kedua, segenap elemen masyarakat sipil terus kritis terhadap jalannya pemerintahan dan tak henti memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Ormas sosial keagamaan, pers, NGO, CSO, tidak terkooptasi, apalagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah.

BACA JUGA :  Anies: Ancang-Ancang Keliling Indonesia

Ketiga, para pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif diminta memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi secara substansial dan menjunjung tinggi amanah konstitusi dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita-cita proklamasi dan janji reformasi. Politik dinasti tak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi.

“Menegakkan supremasi hukum dan memberantas segala macam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) tanpa mentolerir pelanggaran hukum, etika dan moral dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ucapnya.

Dia juga menuntut secara serius mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial bagi semua warga dan tak membiarkan negara dibajak oleh para oligark dan para politisi oportunis yang terus mengeruk keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat pada umumnya.

“Sebagai akademisi yang memahami hak dan tanggungjawab konstitusional, kami mengetuk nurani segenap elemen masyarakat untuk bersinergi membangun kembali etika dan norma yang terkoyak dan mengembalikan marwah konstitusi yang dilanggar. Apa yang kita perjuangkan saat ini akan menentukan Indonesia yang akan kita wariskan kepada generasi anak-cucu,” katanya. |••

Simak video pernyataan sikap kampua STIF dan Teologia se Indonesia:

Komentar