Ulangi Pilpres Tanpa Jokowi


Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya)

PELAKSANAN Pilpres 2024 memang sudah selesai, tapi sejatinya masih menyissahkan banyak persoalan yang membuat kegaduhan – kegaduhan berkepanjangan. Meminjam istilah Eep Syaifullah, bahwa pemilu Pilpres 2024 ini adalah pemilu paling brutal dan paling kotor.

Mengapa Disebut Paling Kotor dan Brutal?

Kegaduhan pemilu diawali dengan ambisi Jokowi yang ingin memperpanjang masa jabatannya menjadi tiga periode dengan berbagai alasan dalil, namun nampaknya upaya tersebut kandas setelah Megawati, Ketua umum PDIP, memastikan bahwa upaya memperpanjang masa jabatan tersebut adalah upaya inkonstitusional dan harus dicegah.

Apakah kemudian ambisi itu berhenti? Ternyata tidak, Jokowipun semakin menjadi–jadi memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara. Hal yang dilakukan adalah memaksakan anaknya, Gibran, untuk bisa disetujui sebagai cawapres, kendala terjadi pada usia, maka dilakukan gugatan perubahan usia boleh dibawah 40 tahun, atas “bantuan” sang paman, Anwar Usman yang ketua MK, akhirnya sang putra mahkota lolos untuk berkontestasi sebagai cawapres.

Nampaknya putusan MK ini mengundang polemik dan dianggap melanggar etika, karena syarat dengan kepentingan pribadi, golongan dan keluarga. Akhirnya berdasarkan putusan MKMK, Anwar usman diberhentikan dari ketua MK.

Meski dianggap sebagai pelanggaran etika, namun nampaknya Jokowi tak perduli dengan itu semua, bahkan dengan semakin telanjang dan tak malu, Jokowi mempertontonkan kebrutalannya dalam berpihak. Jokowi yang juga seorang presiden, tak menghiraukan larangan bahwa pejabat negara, ASN, TNI dan Polri harus netral, justru berlindung bahwa apa yang dilakukan adalah hak berpolitiknya. Jokowi melabrak aturan bahwa dibolehkannya pejabat berpolitik dengan syarat mengajukan cuti. Contoh brutal inilah yang membuat para menteri, ASN , TNI dan Polri diduga menjadi tidak netral dan berpihak.

BACA JUGA :  Pendapat Hukum Terkait Penangkapan Ustadz M Yahya Waloni

Sebagai orang tua, Jokowi tentu tak akan mebiarkan Gibran berjuang sendirian, sehingga apa yang dilakukan Jokowi terlihat tidak netral dan berpihak. Bansos pun dilabeli dengan gambar pasangan Prabowo–Gibran, bahkan pembagiannya dilakukan didepan istana negara yang seharusnya steril dari keberpihakan.

Kebrutalan dan kekotoran selanjutnya adalah pada saat pelaksanaan pilpres terindikasi banyaknya surat suara yang sudah tercoblos untuk kepentingan paslon tertentu, bahkan di lapangan banyak kepala daerah dan kepala desa yang terindikasi bermasalah dengan anggaran, mereka tersandera dan harus “membantu” pemenangan paslon tertentu. Dalam banyak video yang tersebar di media sosial, memperlihatkan petugas melakukan pencoblosan gambar presiden yang didukung Jokowi.

Kebrutalan dan ketidaknetralan Jokowi inilah yang kemudian membuat terkesan penghitungan pilpres sudah diatur secara sistematis untuk memenangkan paslon dukungannya. Perhitungan si rekap yang dilakukan oleh KPU, terbukti melakukan banyak kesalahan yang menguntungkan pasangan Prabowo – Gibran, merugikan pasangan Anies Baswedan–Muhaimin Iskandar dan Ganjar–Mahfud. Yang lebih memalukan lagi KPU kini jadi bahan candaan banyak orang. Banyak beredar video candaan di medsos yang merendahkan martabat KPU.

Penayangan film Dirty Vote yang dipandegani oleh para pendekar demokrasi Zainal Mohtar, Feri Amsyari dan Bvitri adalah contoh kasat mata bagaimana pilpres 2024 adalah pilpres paling kotor dan brutal. Kecurangan disusun secara sistematis dengan melibatkan isntrumen negara demi melanggengkan kekuasaan.

BACA JUGA :  Seratusan Relawan Dapat Pembekalan dari Tim Roadshow Relawan AMIN

Krisis Ketidakpercayaan Terhadap KPU

Kini mulai muncul krisis ketidakpercayaan terhadap KPU, demo-demo masyarakat yang terjadi hari-hari ini mulai mengkritisi kinerja KPU yang tidak netral dan amburadul, tuntutan mereka lakukan penghitungan manual berbasis data C1 yang ada. Tuntutan itu merupakan hal yang wajar, karena mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap sistem penghitungan pemilu yang dimiliki oleh KPU. Bayangkan dalam unggahan-unggahan hasil rekap dengan C1 banyak mengalami penggelembungan suara untuk paslon tertentu dan penguragan suara untuk paslon yang lain. Yang diuntungkan Paslon 2, yang dirugikan Paslon 1 dan 3.

Apalagi kemudian masing-masing tim pemenangan paslon yang merasa dirugikan, mereka mempunyai tim IT yang juga melakukan penghitungan suara berdasar C1 yang dimiliki oleh saksi-saksi mereka dilapangan, baik itu saksi partai atau saksi pilpres sendiri. Sehingga tuntutan penghitungan manual menjadi keniscayaan.

Mengembalikan Kepercayaan Masyarakat Terhadap Pemilu

Ibarat mengobati penyakit, tentu agar bisa dilakukan secara tepat dan efektif, maka yang dilakukan adalah mencari sumber penyakitnya. Dalam pemilu pilpres 2024, akar masalah kekotoran dan carut marutnya pilpres ini adalah keterlibatan Jokowi. Dengan gagahnya Jokowi mengatakan akan cawe – cawe dalam pilpres.

Ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu dan KPU, yaitu hentikan penghitungan pilpres yang sekarang sedang berproses, dan laksanakan pemilu tanpa Jokowi serta libatkan parpol dalam pelaksanaan sebagaimana yang pernah terjadi tahun 1999.

BACA JUGA :  Manuver Licin Pak Jokowi

Memperkuat KPU sebagai pelaksana dengan melibatkan utusan partai politik, setidaknya akan membuat seluruh pelaksanaan pemilu akan terawasi oleh partai politik yang menjadi peserta pemilu. Masing-masing partai tentu tak ingin dirugikan, sehingga antar mereka akan saling menguatkan agar tidak dirugikan.

Kita tentu tak ingin, konflik masyarakat dengan masyarakat terjadi sebagaimana yang terlihat saat ini. Demo-demo menuntut pelaksnaan pemilu yang jurdil dihadapi dengan kekerasan aparat dan premanisme, dan bahkan aparat terkesan membiarkan premanisme dipertontonkan.

Dalam situasi yang semakin memanas dan kontraksi yang semakin tinggi, dibutuhkan sikap kenegarawanan yang tinggi. Sikap mengayomi dan melindingi masyarakat dari potensi terjadinya konflik. Ada baiknya para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh politik berhenti melakukan pembenaran terhadap kebrutalan dan praktek kotor pilpres dengan menyederhanakan persoalan dan bisa diselesaikan melalui mekanisme yang ada. Justru akan menambah ketidakpercayaan masyarakat. Masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap MK, terhadap KPU, terhadap apaarat yang tidak netral dan juga terhadap presiden.

DPR RI sebagai wakil rakyat sudah saatnya mengambil peran apa yang terjadi di masyarakat dan menyalurkannya melalui mekanisme yang ada. Saat ini berkembang tuntutan, lakukan pemilu ulang yang jujur dan adil, tanpa Jokowi. Jangan sampai terjadi amuk massa sebagaimana yang terjadi tahun 1998, rakyat marah, menduduki DPR dan melakukan upaya-upaya yang mengikuti logika jalanan rakyat dalam rangka menyelamatkan demokrasi dan NKRI.

Selamatkan demokrasi, selamatkan Indonesia, ulangi pilpres tanpa Jokowi.

Surabaya, 20 Februari 2024

Komentar