Oleh: Isa Ansori
(Kolumnis dan Akademisi, Tinggal di Surabaya)
DI BAWAH langit mendung, bayang-bayang keraguan menyelimuti kampus. Suara riuh rendah mahasiswa bukan lagi berisi tawa dan canda, melainkan diskusi panas tentang kondisi demokrasi yang kian rapuh. Kampus, yang selama ini dikenal sebagai menara gading penjaga nilai-nilai luhur, kini menjadi saksi bisu kegelisahan atas kemerosotan moral bangsa.
Di ruang seminar, para akademisi terkemuka beradu argumen, mendiagnosa penyakit demokrasi yang menggerogoti fondasi bangsa. Suara mereka lantang, mengkritik oligarki yang mencengkeram kekuasaan, korupsi yang merajalela, dan apatisme yang meredam semangat rakyat.
Di sudut-sudut kampus, mahasiswa berkumpul, membentangkan spanduk dan poster berisi kritik pedas terhadap pemerintah. Mereka tak lagi diam, lantang menyuarakan keresahan mereka atas ketidakadilan dan kebohongan yang mewarnai wajah demokrasi.
Di taman kampus, aktivis dan seniman berkolaborasi, melahirkan karya-karya provokatif yang membangkitkan kesadaran publik. Puisi, lagu, dan mural menjadi senjata mereka untuk melawan kezaliman dan menuntut perubahan.
Gerakan perlawanan ini bukan hanya tentang politik, tetapi juga tentang moral. Para akademisi dan mahasiswa menyadari bahwa demokrasi yang sehat membutuhkan fondasi moral yang kokoh. Mereka menyerukan pemulihan nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan keadilan, yang kian terkikis dalam pusaran pragmatisme dan materialisme.
Kampus, yang selama ini dikenal sebagai benteng terakhir idealisme, kini menjadi garis depan perjuangan untuk demokrasi yang lebih baik. Di tengah kegelisahan dan keputusasaan, suara-suara lantang dari kampus menjadi mercusuar harapan, menerangi jalan menuju masa depan yang lebih adil dan bermoral.
Bermula dari Universitas Gajah Mada, Jogjakarta, dimana sang Presiden dan para capres dan cawapres paslon nomor 1 berasal, kegelisahan tentang praktik demokrasi culas dijalankan, rakyat ditinggalkan, oligarki dimanjakan, presiden yang dibesarkan dari partai wong cilik, kini tak lagi ingat jasa wong cilik.
Pada tanggal 31 Januari 2024, di tengah suasana perpolitikan nasional yang memanas menjelang Pemilu 2024, sekelompok civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni, menyampaikan Petisi Bulaksumur. Petisi ini dibacakan oleh Prof. Koentjoro, Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, di Balairung UGM. Petisi itu menyoroti tiga hal di antaranya pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, keterlibatan aparat penegak hukum dalam proses politik dan demokrasi serta pernyataan kontradiktif Presiden Jokowi tentang Netralitas dan Keberpihakan. Petisi ini mengajukan beberapa tuntutan, di antaranya:
1. Presiden Jokowi untuk kembali ke koridor demokrasi dan mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.
2. Aparat penegak hukum untuk menjaga netralitas dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya.
3. Pejabat publik untuk menjaga netralitas dan tidak menggunakan jabatannya untuk kepentingan politik pribadi atau golongan.
Resonansi kegelisahan petisi Bulak Sumur bergayung sambut dengan kegelisahan para civitas akademika di UII Jogjakarta, Universitas Khairun Ternate dan merekapun menyuarakan gaung perlawanan kepada istana pada tanggal 1 Februari 2024.
Selang sehari kemudian, tanggal 2 Februari 2024, resonansi kegelisahan moral para akademisi ini menyeruak ke Universitas Andalas Padang, UIN Sunan Kalijaga, Unhas Makassar, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Atmajaya, Unversitas Muhammadiyah Babel dan UI Jakarta.
Petisi yang dibacakan pada tanggal 2 Februari 2024, oleh Dewan Guru Besar Universitas Indonesia ini, di tengah memanasnya situasi politik menjelang Pemilu 2024, para Gubes itu menyampaikan petisi yang berjudul “Seruan Moral dan Integritas untuk Menyelamatkan Demokrasi dan Menegakkan Keadilan”. Petisi ini dibacakan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Ketua Dewan Guru Besar UI, di depan Gedung Rektorat UI.
Petisi ini menolak dengan tegas upaya penundaan pemilu yang terindikasi sedang direncanakan oleh para pihak yang bersekongkol, upaya ini dianggap sebagai upaya inkonstitusional, dan berpotensi mencederai demokrasi. Petisi ini juga mendesak para aparatur negara untuk menjaga netralitas dan tidak memihak pada kelompok politik tertentu dalam proses pemilu, penghentian politik uang dan Hoaks serta penegakan hukum yang adil dan transparan terhadap pelanggaran pemilu serta keterbukaan dan transparansi KPU dalam menjalankan tugasnya.
Seruan para Guru Besar dan akademisi serta para alumni yang masih setia menjaga garda moral politik dan demokrasi ini nampaknya membuat istana semakin gerah dan murung, panik, sehingga tudingan dan tuduhan bahwa gerakan itu partisan dan mendompleng situasi politik dan demokrasi, tak menyurutkan semangat mereka berjuang dan terus menerus menyuarakan pentingnya moral dan etika dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Para demagog dan penjilat di istana beserta para kroninyapun kini belepotan dalam kubangan lumpur kebusukan istana dan para pelanjutnya. Tangkisan serangan dengan cara brutal dan tak bermoralpun dilakukan.
Mendung bergelayut di istana kini semakin buram, dan membuat presiden sang raja gelisah dan marah-marah, tak tahu apa yang harus dilakukan, penolakan di mana mana, kini menjadi musuh bersama, padahal para tukang survei penjilat memberikan data bahwa tingkat kepuasan masyarakat masih diatas 80 persen. Tak tahu apa yang diperbuat, presdien dan para pembisik jahatnya melakukan hal–hal tak terpuji di luar nalar dengan bagi-bagi bansos di depan istana.
Nampaknya perilaku presiden dan para kroninya yang tak terpuji dan merendahkan martabat istana kepresdinan, mengusik para Gubes, akademisi dan para alumni kampus di Surabaya, terbukti pada tanggal 3 Febrari 2024, dari Surabaya untuk Indonesia, Keluarga Besar alumni ITS Surabaya pro perubahan menyerukan dukungan perlawanan dan perubahan untuk Indonesia yang lebih baik.
Selain itu pada tanggal yang sama, Universitas Muhammadiyah Jogjakarta, Universitas Padjajaran dan LP3ES juga menyerukan penentangan terhadap praktik politik yang tidak bermoral dan melanggar etika yang dipraktikkan oleh istana. Pada tanggal yang sama itu juga Forum Keluarga Besar IPB memanggil untuk menyerukan Demokrasi Bermartabat.
Gelombang perlawanan kampus nampaknya tak bisa lagi dihentikan dan dikendalikan oleh istana, semakin mendekati pelaksanaan pilpres, gejolak perlawanan juga semakin membuncah. Terbukti suara–suara perlawanan kampus dan para Gubes dan alumninya berderet sahut menyahut. Tanggal 5 Februari 2024, Universitas Ahmad Dahlan, UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Universitas Pendidikan Indonesia, UMS, Universitas Janabdra Jogja, Universitas Brawijaya, Unair, STF Driyakarya dan Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik se Indonesia serta pernyataan sikap dari Persatuan Gereja Gereja Indonesia.
Selanjutnya disusul oleh APMD tanggal 6 Februari 2024 dan Universitas Trunojoyo Madura tanggal 7 Februari 2024. Tentu gerakan ini akan terus berlanjut dan bergaung sampai dengan benar-benar tegaknya demokrasi dan politik yang bermoral dan beretika. Kita akan lihat seruan-seruan itu dari kampus-kampus dan lembaga-lembaga penjaga demokrasi dan politik bermartabat yang ada dipenjuru Indonesia dan bahkan belahan dunia.
Seruan para kampus dan Gubes itu memiliki resonansi dan substansi yang sama, Menegakkan Demokrasi, Menjaga Republik dan Menyelamatkan Demokrasi Indonesia.
Nampaknya kegelisahan para Gubes, akademsi dan para alumni itu sejalan dengan keinginan dan harapan perubahan tentang Indonesia yang bermartabat, Indonesia yang berkeadilan, Indonesia menjunjung tinggi hak-hak berdemokrasi dan inilah yang sedang diperjuangkan oleh pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar. Kalau sudah sejalan dan sebarisan mari kita Aminkan saja Indonesia.
Surabaya, 4 Februari 2024
Komentar