by Anonymous
GIBRAN menghafal. Itu terlihat jelas dalam sesi debat cawapres semalam. Narasi-narasi yang keluar dari mulutnya tidak mengalir secara natural seperti Cak Imin dan Pak Mahfud.
Apakah ini artinya pertanyaan panelis bocor? Ya tidak dong. Jadi?
Perhatikan bahwa tema debat kedua adalah: ekonomi kerakyatan, ekonomi digital, keuangan, investasi, pajak, perdagangan, pengelolaan APBN dan APBD, infrastruktur, dan perkotaan.
Nah, yang dilakukan oleh team #02 adalah menyiapkan beberapa narasi, katakanlah 2-3-4 narasi untuk tiap tema/keywords tsb. Untuk keyword pajak misalnya, siapkan narasi soal tax ratio.
Tugas Gibran adalah menghafalkan narasi-narasi tersebut sampai mentok. Dan ini dimungkinkan untuk seorang anak muda berusia 36 tahun. Sebaliknya, seorang Prabowo yang sudah sepuh dan pikun, tidak akan bisa disuruh menghafal narasi.
Maka, bagi mereka yang paham substansi, jawaban-jawaban Gibran sering tidak nyambung dengan pertanyaan spesifik panelis. Tapi yang penting keyword-nya kena. Pertanyaan terkait investasi misalnya, tinggal dijawab dengan hafalan narasi yang mengandung keyword investasi.
Dan, setting debat KPU sendiri memang garing. Tidak memberi ruang untuk dialog interaktif yang hidup apalagi elaborative antara panelis dan paslon. Panelis saja tidak diberi kesempatan untuk bertanya langsung pada paslon.
Saat Cak Imin atau Pak Mahfud belum menyelesaikan pertanyaannya misalnya, gesture Gibran terlihat tidak sabar untuk segera menanggapi. Dia menyiapkan microphone di depan mulutnya dengan gelisah. Ini seperti tes perkalian bagi anak kelas 2 SD. Si anak pingin cepat-cepat maju karena takut keburu lupa hafalan perkaliannya.
Strategi hafalan menjadi kurang efektif saat menghadapi sesi pertanyaan antar paslon. Saat Mahfud bertanya soal infrastruktur sosial misalnya, Gibran menjawab asbun karena infrastruktur sosial tidak ada di narasi hafalan. Jeleknya perilaku Gibran, ia menjawab sekenanya tapi sambil membodoh-bodohi lawan debatnya.
“Pak Mahfud kurang paham ya, infrastruktur sosial itu ya stunting, makan siang gratis, kan tadi sudah saya jelaskan.” .. bla-bla-bla
Yaelah. Yang ngga paham capa cih Bran? Lu atau Pak Mahfud?
Dalam debat, Anda bebas saja menyerang lawan debat soal substansi. Itu yang dilakukan Anies dan Ganjar dalam debat perdana, misalnya. “Menyerang” Prabowo soal penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, ya sah-sah saja. Hawong HAM adalah salah satu tema debat malam itu.
Tapi membodoh-bodohi lawan debat karena tak tahu singkatan yang bahkan ChatGPT pun tak bisa menebak, adalah perilaku culas dan kekanak-kanakan yang dipertontonkan live secara nasional.
Puas membodoh-bodohi lawannya, ia lalu membungkuk-bungkuk hormat pada lawan debatnya. Bagi pendukung hard-core nya inilah perilaku anak muda berakhlak. Bagi yang lain, ini tak lebih perilaku manipulatif.
Jadi siapa pemenang debat cawapres semalam? Ini bergantung pada definisi pemenang menurut Anda. Kalau pemenang adalah sekadar siapa yang mendominasi debat semalam, tentu saja Gibran pemenangnya.
Ia mendominasi dengan orasi yang kelewat lancar dan secara arogan menyerang lawan-lawan debatnya dengan cara-cara yang tidak bermartabat sekaligus kekanak-kanakan.
Apakah strategi hafalan itu salah? Tentu tidak. Itu strategi yang paling optimal untuk kandidat yang minim pengalaman, kapasitas dan kapabilitas. Bagi pemirsa awam, yang penting paslon terlihat menjawab dengan lancar car car.
Soal apakah orasinya nyambung dengan pertanyaan, siapa yang peduli? Toh hanya segelintir tir tir masyarakat Indonesia yang paham substansi. Mungkin tak sampai setengah persen.
Makanya paslon #02 tak pernah berani memenuhi tantangan debat publik di kampus-kampus. Selain gak bakal dikasih keywordnya, debat di luar KPU akan terlalu menyeramkan buat mereka. Tak ada moderator time keeper yang mencegah para panelis dan mahasiswa mengelaborasi tiap argumen-argumen ngawur.
Itulah bedanya Pilpres dan pertandingan sepak bola. Outcome pertandingan sepak bola bergantung kualitas pemain. Sedangkan outcome Pilpres bergantung kualitas penonton. Dengan IQ rata-rata 76, what do we expect?
Berat Negara ini.
Komentar