Oleh: Nazlira Alhabsyi
ADA bau busuk yang luar biasa menyengat dari koper besar “sirkus Pilpres 2024” mendatang.
Koper yang menyimpan tumpukan design dan siasat super canggih, ratusan kali lebih canggih dari siasat pesta demokrasi 2019.
Pada Pilpres 2019, siasat dibuat dadakan dan disantap panas-panas persis di ujung perhitungan suara, namun di akhir pesta, nikmatnya dibagi rata secara berjamaah selama 5 tahun.
Agenda besar dalam siasat Pilpres 2024 esok adalah menyelamatkan Jokowi pasca purna jabatan sekaligus mengawal peralihan kekuasaan ke tangan rezim berikutnya, Ganjar-Mahfud.
Publik digiring sedemikian rupa dalam drama kolosal, seolah ada pengkhianatan, pergolakan dan pertarungan, Kubu Ganjar (PDIP) dengan Jokowi (Gerindra-Golkar-Demokrat-PSI).
Padahal drama kolosal itu sengaja didesign untuk satu paket rangkaian kepentingan politik kekuasaan, yakni menyelamatkan rezim Jokowi saat ini dan mengukuhkan kembali kelanjutan estafet kekuasaan pada rezim berikutnya.
Scene Pertama, Jokowi diposisikan mendukung Prabowo dan ada Gibran di sana agar menjadi sasaran tembak serangan kritik serta caci maki kubu Ganjar-Mahfud.
Dinasti Jokowi plus MK dijadikan bahan mengolah resep serta menu caci maki oleh kubu Ganjar, semata-mata agar Ganjar dan PDIP terlihat “on the track” pengawal demokrasi dan sebagai lawan Jokowi.
Ini sesungguhnya siasat, PDIP yang merupakan kubu Ganjar justru adalah motor perusak demokrasi lewat tangan kekuasaan Jokowi. Untuk lepas tangan dari kekacauan tersebut, kubu Ganjar diposisikan menjadi seteru Jokowi yang mengendorse Prabowo-Gibran. Namun ini lagu klasik, karena siapapun dari keduanya yang menang akan saling menyelamatkan satu sama lain, lalu kembali naik dalam satu perahu.
Scene Kedua, Mahfud dikondisikan tidak akan mundur dari Menkopolhukam, padahal UU Pemilu mensyaratkan wajib mundur dari jabatan. Tak mungkin seorang Mahfud, pakar hukum tata negara tak memahami aturan ini, pun begitu ia rela menggadaikan integritasnya untuk melakukan praktik politik tak beretika seperti ini.
Tapi ini lagi-lagi siasat, setelah menguasai MK lewat ipar Jokowi, PDIP sangat berkepentingan untuk menguasai peta di tengah pertarungan, itu sebab harus ada Menkopolhukam yang juga sebagai peserta Pilpres.
Bagaimana mungkin Pilpres bisa berlangsung jujur dan adil, jika peserta Pilpres sekaligus juga regulator dan koordinator dalam sinkronisasi perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan kementerian atau lembaga yang berkaitan dengan isu bidang politik, hukum, dan keamanan.
Ini aneh bin ajaib luar biasa, hukum ditabrak dan dijungkir balikkan sesuai nafsu politik kekuasaan.
Kubu Ganjar-Mahfud yang memaki-maki Jokowi dengan Dinasti Keluarganya sesungguhnya sedang menyelamatkan Jokowi dengan “berpura-pura” menyerang dan berperan sebagai lawan. Begitu Ganjar-Mahfud menang, mereka pun kembali berangkulan dengan erat penuh senyum kemenangan.
Prabowo pun dipaksa merelakan elektabilitasnya rusak dengan harus mendapuk Gibran yang diumpankan sebagai Cawapresnya. Artinya ini bumper pengaman di belakang, kalau bola menang gagal ditangkap pasangan Ganjar-Mahfud di depan, maka ada pasangan Prabowo-Gibran yang siap menjaga di belakang.
Namun skenario utamanya tetap memenangkan pasangan Ganjar-Mahfud, dengan demikian Dinasti Jokowi kembali langgeng ke posisi semula, Jokowi aman, kabinet lama selamat, ancaman penjara lenyap dan rezim tetap berlangsung berkelanjutan.
Scene Ketiga adalah pasca pemungutan suara selesai dan perhitungan suara dimulai. Di sinilah giliran peran media, lembaga survey, KPU, Bawaslu, MK, dimulai.
Inilah pemufakatan atas siasat rezim yang aromanya sudah terendus saat ini. Segalanya dirancang secara detail agar nikmat pembagian kekuasaan pun dapat kembali dibagi rata berjamaah untuk 10 tahun kedepan.
Komentar