Catatan Bang Sèm
KETIKA bersama Anies Baswedan berkunjung ke kediaman Ahmad Tohari – yang beken dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk – di desa Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas – Selasa (3/10/23) malam, Muhaimin Iskandar berandai-andai, bila kelak Anies Baswedan bersama dirinya dipercaya rakyat memimpin bangsa ini, Kebudayaan kudu jadi panglima.
Anies sendiri, ketika berkesempatan bicara mengemukakan, salah satu aspek penting dalam agenda perubahan adalah peran negara dalam memfasilitasi pembangunan terkait kebudayaan. Ia mengatakan, selama ini ada persepsi bahwa pembangunan hanya barang fisik, sementara kegiatan kebudayaan adalah bagian dari kehidupan berbangsa yang juga harus difasilitasi dan dibangun, apalagi Indonesia memiliki kekayaan budaya luar biasa.
Saya percaya, Anies punya komitmen dan akan konsekuen memperjuangkan dan melaksanakan kata-katanya menjadi kenyataan. Pengalaman berinteraksi dengan Anies selama 11 tahun terakhir yang berurusan dengan kebudayaan (mikro atau makro), meyakinkan saya, bahwa dia akan memberikan aksentuasi dan memberi kekuatan tentang hakekat pemajuan kebudayaan.
Tak hanya dalam konteks kebudayaan mikro atau produk budaya yang menjadi sebagian fokus Undang Undang No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (yang disahkan pada 27 April 2017). Melainkan kebudayaan secara menyeluruh sebagaimana tercermin dalam seluruh pembukaan dan batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 (yang disahkan 18 Agustus 1945).
Kebudayaan yang kita maksudkan, meliputi nilai-nilai asasi ajaran agama (norma, tata nilai, prinsip moral), tradisi, adat resam, sains dan teknologi, seni, bahasa dan susastra, politik, ekonomi, sosial, ekologi, dan ekosistem kehidupan manusia. Tentu dengan keragaman perspektif sebagaimana pernah diajarkan dan ditularkan oleh HOS Tjokroaminoto kepada Bung Karno, sebagaimana mengemuka dalam percakapannya dengan Douwes Dekker, Suryopranoto, Hamka, Moh. Natsir, Ki Hajar Dewantara, Haji Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain.
Termasuk kebudayaan dalam perspektif yang mengemuka dalam percakapan intelektual – Polemik Kebudayaan — antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane, Sutomo, Poerbatjaraka, Ki Hadjar Dewantara, M. Amir, Tjindarboemi, Adinegoro, dan lain-lain.
Kemerdekaan Sejati
Percakapan pemikiran dekade 1930-an sejak berkembang pemikiran kebangsaan yang panjang (1905 – 1928). Termasuk dan tidak terbatas pada dialektika seluruh aspek kehidupan yang kelak memantik perenungan dan perdebatan kaum cendekia.
Polemik Bung Karno dengan A. Hassan; perbedaan pandangan dan sikap Tan Malaka, Bung Karno, Semaun, RM Karto Suwiryo dan Semaun; perbedaan perspektif dan pandangan siyasi Mohammad Hatta dengan Bung Karno dan Soemitro Djojohadikusumo; perbedaan perspektif tata kelola negara bangsa antara Bung Karno dengan Hamka, Moh. Natsir, Sjafruddin Prawiranegara; sampai kejelian dan ketangkasan Mochtar Lubis dalam membaca realitas kehidupan masyarakat secara kritis.
Dari seluruh pandangan mereka, setidaknya nilai-nilai yang diajarkan HOS Tjokroaminoto (tentang tauhid, sains – teknologi, politik – demokrasi, inklusivitas dan toleransi hubungan antar warga negara dan warga bangsa, sosialisme Islam, pendidikan nasional berbasis religi) yang mengacu pada pencapaian kemerdekaan sejati sebagai pangkal persatuan umat (secara plural dan multi kultural).
Pula, pandangan dan pemikiran dari KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Achmad Dahlan, KH Achmad Syoorkati, Jendral Besar Soedirman, tentang relasi Islam dengan negara dan bangsa – ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.
Sejak Proklamasi (17 Agustus 1945) proses penyelenggaraan negara kemudian terpusat pada politik, ekonomi dan pembangunan, yang terkesan sangat sektoral dasn terlepas dari kebudayaan. Khasnya, ketika kebudayaan hanya dipahamkan sebagai produk budaya (kesenian) semata. Lantas tergelincir hanya menjadi kitsch. Akibatnya, kala aktivisme seni menghidupkan dimensi kebudayaan yang sejati penyelenggara negara – pemerintahan mereduksi hakekat budaya. Apa yang dialami oleh allahyarham Rendra, salah satu contoh bentuk pengkerdilan makna kebudayaan di hari kemarin.
Belakangan pemerintah — secara kelembagaan — bahkan hanya menempatkan kebudayaan sebagai sampiran, kadang menjadi bagian dari kementerian Pendidikan, kadang di bawah kementerian Pariwisata. Dimensinya berbeda. Pengurusan kebudayaan secara struktural kelembagaan organisasi pemerintahan, hanya pada level Direktoral Jendral dipimpin oleh petinggi eselon dua. Tentu, dikaitkan dengan politik anggaran, hanya beroleh pembiayaan negara yang sangat terbatas.
PSO Kebudayaan
Di penghujung kepemimpinannya sebagai Gubernur/Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Anies memberikan perhatian khas tentang kebudayaan. Dia mengembalikan pengurusan dan pengelolaan Kebudayaan dalam instansi tersendiri seperti era Ali Sadikin. Anies juga melansir gagasan tentang public service obligation (PSO) Kebudayaan.
Gagasan tersebut lantas mentok di ujung ranting nalar yang pas-pasan. PSO Kebudayaan hanya dipahami sebagai subsidi laiknya bantuan sosial. Bukan sebagai investasi yang mampu menggerakkan ekonomi budaya. Perspektif atas Kebudayaan dan infrastruktur kebudayaan terpanggang di atas dilema pemikiran tentang dimensi kebudayaan yang sangat terbatas.
Anies berfikir jauh dengan perspektif Kebudayaan yang komprehensif, antara gagasan kebudayaan dalam konteks investasi manusia (human investment) yang bertumpu pada pengembangan potensi dan daya cipta, serta daya hidup berpangkal kreativitas – inovasi – invensi bertumpu di atas sains – teknologi.
Melihat konstelasi pengembangan Kebudayaan, termasuk pemajuan produk budaya – dalam dimensi artistika, estetika, etika – yang mampu berinteraksi dengan sistem nilai baru (internet of think, artificial intelligent, dan generate artificial intelligent) dan media baru yang bersifat multi media, multi kanal, dan multi platform.
Ada kecenderungan, Pejabat Gubernur, Deputi Gubernur (Bidang Pariwisata dan Budaya), dan Kepala Dinas Kebudayaan — karena keterbatasan wewenangnya, tidak berada di garis budaya yang semestinya. Nyaris tak nampak dan tak terasakan pemikirannya tentang Kebudayaan yang semestinya, khasnya tentang seni penyadaran dan aktivisme seni. Hal tersebut nampak pada kebijakan budaya yang cenderung bertumpu pada ruang terbatas ekosistem seni dengan seni sebagai produk budaya, bukan manifestasi budaya.
Beranjak dari realitas demikian, sebagaimana terjadi penurunan aktivisme budaya di berbagai daerah lain — tidak termasuk Yogyakarta dan Bandung — memang perlu dilakukan perubahan minda (tata pikir) tentang pengelolaan Kebudayaan.
Terkait dengan pernyataan Muhaimin di kediaman Ahmad Tohari, agar pasangan AMIN (Anies – Muhaimin) mampu sungguh mewujudkan perubahan yang digagas-canangkan menjadi kenyataan, tidak menjadi sekadar retorika, maka pasangan ini perlu menugaskan tim-nya (kalau sudah ada) untuk segera melakukan dialog scenario plan, untuk merumuskan peta jalan kebudayaan. Termasuk melakukan perancangan pembentukan Kementerian Kebudayaan untuk mempercepat transformasi budaya dan merancang peradaban baru.
Menjawab Isyarat ‘Lancang Kuning’
Setarikan nafas, saya memandang, pembentukan kementerian yang secara khusus mengelola kebudayaan juga dipelukan untuk menguatkan dan me-naik-taraf-kan bangsa ini sebagai bangsa yang sungguh berbudaya di seluruh aspek kehidupannya. Bangsa mampu memadu-padan keadilan, keadaban, dan kemanusiaan dalam suatu integrasi yang utuh. Bangsa yang warganya mampunyai keseimbangan akal budi dan akhlak mulia.
Di sisi lain, pembentukan Kementerian Kebudayaan juga diperlukan untuk memajukan institusi pendidikan budaya (menengah dan tinggi), sebagai soko guru utama pemajuan kebudayaan dalam makna yang luas. Terutama, karena kita akan memasuki zaman baru yang dihadapkan oleh tantangan pelik singularitas, keseimbangan keterampilan dengan kearifan, transhumanitas, dan proses akselerasi pembangunan modal insan (bukan lagi sekadar sumberdaya manusia).
Menjadi Kebudayaan sebagai panglima dengan kesadaran, bahwa seluruh penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan penguatan peran masyarakat sebagai gerakan kebudayaan, akan mencegah bangsa ini oleng diterpa perubahan cepat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Saya percaya, pasangan AMIN jernih dan fokus mengenali rakyatnya di tengah persimpangan zaman. Karenanya, saya yakin pasangan ini juga paham bagaimana menggerakkan seluruh elemen rakyat memasuki era platinum (Seabad Indonesia Merdeka 2045). Era di mana ekonomi budaya akan menopang penemuan dan pencapaian baru kesejahteraan semesta (universe prosperity) yang membuat seluruh rakyatnya bahagia dan mampu tersenyum yang melambangkan optimisme.
Tidak mudah memang. Tetapi dengan menjadikan Kebudayaan (dalam makna luas) sebagai panglima, akan terbangun suatu masyarakat yang berkesadaran dan antusias menghidupkan simpati, empati, apresiasi, respek, dan cinta. Suatu masyarakat dan bangsa yang unggul karena politik akal-budi, bukan terperosok dalam jebakan fantasi karena akal-akalan politik.
Dengan menempatkan Kebudayaan sebagai panglima, maka pasangan AMIN saya yakini bisa menjawab cabaran yang tersimpan dalam syair tembang masa silam dari Rempang, Lancang Kuning akan menjadi isyarat zaman. Lancang Kuning berlayar malam, menuju lautan dalam. Pabila nahkoda tidaklah paham, alamat kapal akan tenggelam.
Semoga Tuhan Sumber Segala Sumber Kuasa menjadikan pasangan AMIN sebagai nahkoda yang paham sepaham-pahamnya realitas negara bangsa !
[rumah_akarpadi, 5.10.23]
Komentar