Oleh: Yusuf Blegur
ADA perasaan gelisah dan takut terhadap narasi politik identitas di sebagian kalangan umat Islam. Padahal itu menjadi framing dan stereotif kekuasaan beserta cecunguk buzzer dan infuencer bayaran untuk melemahkan umat Islam. Sejatinya umat Islam harus bangga dan menjadikan politik identitas sebagai instrumen kekuatan sosial, politik dan ekonomi dalam membangun rakyat, negara dan bangsa Indonesia.
Islam memang luar biasa. Begitu mengagumkan, menjelajah ke kedalaman ruang batin dan menembus jiwa pada setiap yang bernyawa. Menjadi agama yang melampau batas-batas alam semesta dan makhluk hidup di dalamnya.
Islam menjadi tuntunan dan jalan keselamatan umat manusia di dunia dan kelak dalam kehidupan berikutnya (akherat). Islam telah sempurna dan mencukupkan, mengusung keimanan dan akal, ia memanjakan setiap jasad dan ruh yang melekat pada setiap identitas dan eksistensi manusia yang menganutnya.
Dengan hakikat penghambaan menuju capaian keselamatan kebahagiaan. Islam menjadi sebuah ajaran yang integral komprehensif dan kepatutan konsep kafah bagi pemeluknya. Sebagai sebuah keyakinan trasedental, agama Islam yang mengedepankan wawasan Tauhid dalam Berketuhanan, menjadi agama yang bersandar pada keharmonisan keimanan (ghoib) dan rasionalitas (akal).
Tak ada yang tak bisa dijelaskan dalam Islam, baik terkait materil dan non materil serta spiritual maupun scientifis. Berkiblat pada Allah yang Azza wa jalla serta mengikuti jejak langkah Nabi mulia Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, Islam juga senantiasa menyajikan utamanya tema peribadatan dan masalah-masalah keumatan.
Islam telah nyata dan tegas mengatur tata cara berkehidupan yang diikuti dengan larangan dan kebebasan, tentang surga dan neraka, tentang “punish and reward”, termasuk tentang kepemimpinan dan soal-soal kerakyatan. Semua tentang nilai-nilai Ketuhanan, kemanusiaan dan semesta alam, dalam setiap tarikan napas dan interaksi, dari soal-soal politik, ekonomi hukum dlsb.
Islam juga tak luput mengatur tata cara dan gaya hidup seseorang mulai saat bangun tidur hingga beraktifitas dan tidur kembali, dari hidup menuju kematian hingga dibangkitkan kembali.
Menjadi populasi muslim terbesar di dunia, Islam di Indonesia memiliki potensi dan tantangan tersendiri. Terlebih saat mayoritas umat Islam secara empiris dan historis menjadi entitas sosial politik yang signifikan melahirkan NKRI.
Konstruksi republik yang terbentuk dari bangunan Panca Sila sebagai falsafah negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi yang menjadi sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Tak bisa dibantah dan dinafikan sebagai sebuah toleransi terbesar dan pemakluman tak ternilai dari umat Islam sepanjang sejarah kelahiran dan tumbuh-kembangnya negara dan bangsa Indonesia. Jiwa besar dan karakter legowo pemimpin dan ulama terlihat salah satunya seperti yang tertuang dalam piagam Jakarta 1945.
Pekik merdeka dan takbir Allahuakbar, menjadi ornamen paling fundamental dan kekuatan revolusioner yang mengiringi struktur sosial dan politik rakyat dalam masa perjuangan pergerakan dan capaian kemerdekaan Indonesia. Peran pemimpin, ulama dan habaib yang menorehkan tinta emas dalam masa pergerakan kemerdekaan Indonesia, tak akan bisa dihapus dalam sejarah sampai kapanpun.
Ada basis material dan spiritual yang melekat pada rakyat yang terjajah, yang mampu membebaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing yang menjadi anasir kolonialisme dan imperialisme saat itu.
Pekik merdeka dan takbir Allahuakbar itu menjadi simbol kesadaran sekaligus menyatukan perlawanan rakyat Indonesia terhadap dominasi dan hegemoni kekuatan kapitslistik yang ekspansionis dan superior di bumi nusantara.
Boleh jadi pekik merdeka dan takbir Allahuakbar itu menjadi kesadaran dan perlawanan yang kekal yang menjadi senjata pamungkas melawan penjajahan modern dari kapitalisme dan komunisme yang membonceng pada kolonialisme dan imperialisme yang tak pernah mati juga di dunia, selama keserakahan ada pada manusia.
Momentum Haji dan Meluruskan Politik Identitas
Warga dunia khususnya umat Islam baru saja menjalani ibadah Haji di tanah suci Mekah. Ibadah menunaikan salah satu kewajiban rukun Islam itu yang bertepatan dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha. Masyarakat muslim menyebut lebaran Idul Quŕban sebagai lebaran haji karena waktunya yang bersamaan.
Ibadah haji dan qurban, hakikat keduanya menjadi upaya umat Islam dalam memenuhi panggilan Allah untuk sabar dan ikhlas dalam berkorban demi ketaqwaannya pada Allah semata.
Selain aspek spiritual dalam kedua ibadah itu juga dipenuhi nilai-nilai sosial. Tak cukup pengabdian dan ketaatan kepada Tuhan dalam hubungan vertikal, Haji dan berqurban juga kental dengan aspek ukhuwah atau ubudiyah, solideritas dan kesolehan sosial.
Pada ibadah qurban ada kepedulian dan berbagi pada sesamanya yang tak mampu dan membutuhkan. Begitupun pada ibadah haji ada pertemuan dan persatuan umat Islam di dunia yang tidak mengenal batasan suku bangsa. Semuanya sama di hadapan Allah, tidak dibedakan asal usul, suasana familier dan egaliter. Momen Haji menjadi semacam pertemuan sekaligus konsolisadi umat Islam sedunia terbesar yang dilakukan secara berkala tiap tahunnya dengan terstruktur, sistematik dan masif.
Selain esensi dan substansi nilai ibadah yang bersifat syar’i, ibadah haji menjadi peristiwa yang kolosal, monumental, membuncah kebanggaan dan menjadi politik identitas global umat Islam di dunia. Berkumpulnya muslim dari banyak belahan bumi dari pelbagai strata sosial di satu titik di Baitullah itu, tak bisa dipungkiri dapat dimaknai juga sebagai gerakan sosial dan gerakan politik identitas umat Islam secara internasional.
Menarik mengulas ibadah haji dan korelasinya dengan politik kontemporer di Indonesia. Istilah politik identitas oleh kelompok dan orang-orang tertentu kerap dijadikan isu, intrik dan fitnah terhadap personal maupun institusi tertentu. Politik identitas yang selalu diframing negatif dan jahat sering dipakai sebagai tunggangan untuk kepentingan politik kekuasaan oleh yang melontarkannya, terutama oleh rezim kekuasaan dan sub ordinatnya seperti para buzzer dan influencer bayaran.
Sebagaimana ibadah haji yang begitu luar biasa ditempuh umat Islam mulai dari niat, proses, pelaksanaan dan memelihara makna haji sesudahnya. Selayaknya sebagai muslim tak perlu risau, ciut dan takut apalagi sampai gentar terhadap serangan narasi politik identitas yang dilekatkan ke umat, tokoh dan pemimpin-pemimpin Islam.
Stereotif politik identitas termasuk berupa stempel intoleransi, radikalisme, fundamentalisme dan bahkan terorisme yang mengarah dan menghujam umat Islam selama ini, merupakan gerakan dan operasi terselubung sekaligus terbuka mereduksi Islam dan umatnya. Lebih ekstrim lagi bisa dibilang sebagai tindakan pendangkalan aqidah umat dan marginalisasi Islam dalam peradaban manusia. Skenario dan konspirasi kapitalisme dan komunisme global menjadi aktor utama di belakang ambisi dan syahwat menghancurkan umat Islam termasuk di Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dan sebagai potensi pasar yang menggiurkan.
Umat Islam di negeri yang kemerdekaannya susah payah diperjuangkan dan dipertahankan selalama ini, identik dengan menjadi sapi perahan kepentingan orang, kelompok dan lingkaran kekuasaan. Pemerintahan yang cenderung sekuler dan liberal bersekongkol dengan oligarki pemodal besar, menempatkan umat Islam tetap terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Sektor usaha dan bisnis, pengaruh disertai intervensi terhadap aparat dan pengambil kebijakan, serta akses penguasaan sektor-sektor kepentingan publik yang dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang dan kelompok dalam birokrasi maupun korporasi.
Umat Islam yang mayoritas terus dieksploitasi secara manusia dan bangsa. Dintindas, dirampok dan dimiskinkan sembari digerus iman Islamnya oleh sistem materialisme yang dikuasai minoritas yang hanya segelintir kalangan. Sungguh miris dan begitu memprihatinkan keadaan umat Islam, pemilik dan selaku tuan rumah republik, harus terpojok dan terasing. Kemerdekaan Indonesia dari buah tangannya, kini digenggam bangsa asing dan kacung-kacung komparador berkedok elit politik.
Oleh karena itu, sepantasnya kebangkitan umat Islam sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi dan tak bisa ditunda-tunda lagi. Ia menjadi satu keharusan yang sesegera mungkin harus dilakukan, betapapun resiko yang akan dihadapi, betapapun ongkos sosial dan politik yang harus dibayar umat Islam demi keselamatan dan keberlangsungan NKRI, Panca Sila dan UUD 1945.
Seperti saat melawan nekolim masa silam, sudah saatnya pekik merdeka dan takbir Allahuakbar tanpa takut stigma politik identitas dikumandangkan kembali melawan penjajahan gaya baru di era modern.
Sama halnya dengan ibadah haji di Mekah Arab Saudi, ibadah dan ukhuwah Islamiyah dibumi nusantara boleh belajar dari sana, guna meraih ketaqwaan pada Allah Azza wa jalla dan kesolehan sosial pada sesama manusia, sembari memerdekakan kembali Indonesia dari oligarki korporasi dan partai politik.
Saatnya, umat Islam percaya diri dan bangga dengan ibadah haji yang menyembur tersirat politik identitas global. Saatnya politik identitas global Islam melawan konspirasi kapitalisme dan kominisme global. Jangan takut mengumandangkan pekik merdeka dan takbir Allahuakbar. Jangan takut pada stigma politik identitas. Karena sejatinya Islam adalah universal dan politik identitas global berisi tentang Tauhid dan peradaban manusia.
Politik identitas juga bisa dilihat sebagai kekhasan dan keunikan Islam sebagai agama wahyu. Saatnya umat Islam bersuara lantang kami bangga dengan politik identitas.
Merdeka, Allahuakbar!
Bekasi, 12 Dzulhijjah 1444 H/1 Juli 2023
Komentar