Abaikan Manajemen Risiko Depo Plumpang, Ancaman Bencana Industri di Kota

TILIK.ID — Sebagai salah bentuk program respon kejadian kebakaran di Depo Pertamina Plumpang, Indonesia Resilience baru saja mengadakan kegiatan Seri Diskusi #GenerasiTangguh “Kebakaran Depo Plumpang; Ancaman Bencana Industri di kota”.

Diikuti oleh puluhan peserta, diskusi yang digelar Ahad (12/3/2023) itu berjalan dengan lancar karena banyaknya pertanyaan dan pendapat yang muncul dari peserta.

Diskusi diawali oleh Muhammad Huda dari Forum Komunikasi Tanah Merah Bersatu (FKTMB) yang membahas tentang bagaimana terjadinya peristiwa kebakaran Plumpang beserta kondisi masyarakat saat ini dan sejarah konflik agraria di kawasan Tanah Merah.

“Awal kejadian, terdapat bau menyengat hingga warga mengalami muntah. Mereka bertanya-tanya bagaimana sistem keamanannya. Selama tinggal di Tanah Merah, pihak Pertamina tidak pernah ada yang namanya CSR. Artinya tidak ada mitigasi bencana di lingkungan sekitar, seperti informasi jalur evakuasi. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat sebagai bentuk early warning system.” ungkap Huda.

Kemudian diskusi disambung oleh Hafidz Affandi dari Sustainability Learning Center (SLC). Hafidz mengatakan penyelamatan manusia adalah di atas segalanya.

BACA JUGA :  IRES Kecam Penangkapan Brutal Suami Istri Warga Kampung Susun Bayam

“Dalam setiap tragedi bencana yang perlu diselamatkan adalah korban dan manusia. Jangan diseret ke politis. Pertamina harus segera menyelamatkan manusia. Selain itu korporat, holding juga harus turun tangan. Kedua, masalah agraria harus ada putusan politik,” ujarnya.

Ia menyampaikan bahwa Pertamina harus menata dua hal, yaitu manajemen risiko di lingkungan sekitar dan dari sisi perusahaan perlu memikirkan ulang bagaimana mereka membangun sistem ulang dan tidak hanya menyalahkan human error.

Pembicara lain yaitu Direktur Eksekutif Indonesia Resilience (IRE) Hari Akbar Apriawan. Menurutnya, dalam konteks bencana, kita tidak bisa memindahkan masyarakatnya. Jika dipindahkan habitat hidupnya akan pupus.

“Kita tidak bisa memindahkan masyarakatnya. Ketika relokasi di wilayah tersebut, maka kita akan menghilangkan ekonomi, tempat tinggal, budaya, dan lain-lain. Yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas di masyarakat agar dapat menjauhi ancamannya,” kata Hari Akbar.

Harapannya, kejadian kebakaran di Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) Plumpang dapat menjadi titik balik dalam membangun kesadaran kolektif untuk memastikan sistem bisnis berkelanjutan di perusahaan-perusahaan yang memiliki risiko tinggi.

BACA JUGA :  Alumni HMI Doakan Kepergian dr Abdul Gafur

Perusahaan perlu melakukan investigasi dan audit internal atas kejadian tersebut. Di sisi lain, perlu menjadi perhatian bagi para stakeholder utamanya perusahaan, masyarakat, dan pemerintah daerah, untuk bersama-sama membangun kesadaran tanggap bencana yang partisipatif dan responsif di lingkungan industri berisiko tinggi, terutama yang terkait pencegahan dan mitigasi bencana. (kmn)

Komentar