Ferry Mursyidan Baldan, Sosok Negarawan Muda HMI Milik Semua


Oleh: Syaiful Bahri Ruray

TAK menyangka kepergian Bang Ferry pada 2 Desember 2022, sedemikian cepat, untuk kembali ke haribaan Allah Azzawajalla, sang pemilik kehidupan bagi setiap yang bernyawa. Ia pergi, di saat bangsa Indonesia masih membutuhkan sosok-sosok yang konsisten atas platform kebangsaan, yang akhir-akhir ini semakin ramai diterpa dengan menguatnya isyu oligarki dan dinasti.

Isyu mana tentu saja sangat mengganggu akal sehat para pegiat demokrasi. Tentu saja, terutama bagi mereka-mereka yang pernah turut terlibat dalam upaya rasional dalam merawat dan merekontruksi platform kebangsaan seperti halnya sosok seorang Ferry.

Dimata saya, Ferry bukan lagi milik orang Aceh, ataulah klaim HMI Cabang Bandung misalnya.  Karena beberapa catatan dalam memori saya masih hangat akan sepak terjang Ferry sebagai aktivis politik yang negarawan. Ia turut merajut perdamaian di Tanah Aceh negeri asal kedua orang tuanya, ketika posisi Ferry di Komisi II DPR-RI Fraksi Partai Golkar misalnya.

Satu saat, sekitar tahun 2000-an, Ferry berkunjung ke Ternate, Maluku Utara. Saya dan teman-teman DPRD Provinsi Maluku Utara menerima Ferry saat itu. Ia memberikan buku kecil tulisannya tentang Aceh dan kerja-kerja menggapai perdamaian tersebut. Saya juga memberikan buku kumpulan tulisan saya tentang Maluku Utara kepada Ferry. Ferry dan kawan-kawan dijamu dengan menu makanan khas Maluku Utara saat itu.

Mengenal sosok Ferry, bagi saya tentu tak terlepas dari sama-sama aktivitas kami di HMI. Ketika 1988, Ferry menjadi Ketua Umum BADKO HMI Jawa Barat, menggantikan Kang Berliana Kartakusuma, saya adalah Sekretaris Jenderal PB HMI, yang datang bersama Ketua Umum PB HMI Ir. Herman Widyananda (1988-1990) dan Mas Awod Said, Bendahara Umum PB HMI. Kami bertiga hadir dalam sebuah ruang kelas di Kampus UNISBA Bandung. Sayapun didaulat untuk mengambil sumpah jabatan (baiat) Ferry sebagai Ketua Umum BADKO Jawa Babar saat itu.

Sambutan alumni Bandung disampaikan oleh Mang Endang Saifuddin Anshari, MA. Mang Endang adalah senior yang cukup fenomenal dimata kami aktivis HMI. Karena ia adalah salah satu cendikiawan HMI dan perumus NDP (Nilai Dasar Perjuangan) HMI, selain Cak Nur dan Syakib Mahmud, sebagaimana direkomendasikan dalam Kongres Solo pada 8 September 1966, untuk menyempurnakan konsep awal Nurcholish Madjid tentang NDP yang disampaikan dalam forum Kongres Solo tersebut.

Ada catatan kecil dimata saya malam itu, karena pada naskah berita acara pelantikan kepengurusan BADKO Jawa Barat yang akan ditandatangani Ferry dan Kang Ber, tercantum nama saksi adalah Letjen TNI (Purn) Achmad Tirtosudiro di atas meterai pula.

Pak Mad Tirto yang kebetulan saat itu menjabat sebagai rektor UNISBA, setelah beliau menyelesaikan beberapa tour of duty nya sebagai diplomat (Duta Besar Indonesia) di manca negara. Dan nama Mang Endang tak tercantum dalam naskah berita acara tersebut, akhirnya Mang Edang memberikan sambutan atas nama KAHMI Bandung, namun ia menyatakan segan ikut menandatangani berita acara, karena kebetulan tertera nama Pak Achmad Tirtosudiro, yang memang berhalangan hadir malam itu karena ada tugas lain di Jakarta.

Maklum saja, nama Achmad Tirtosudiro, sangatlah monumental. Beliau adalah seorang alumni HMI yang turut memanggul senjata selama Agresi Militer Belanda I pada II (1947 hingga 1948), pada momentum awal berdirinya HMI di Jogjakarta. Bahkan nama beliau dan Pakde Dahlan Ranuwihardjo tercatat membentuk Corps Mahasiswa (CM) dan turut dalam menghadapi pemberontakan PKI Maidun (1948). Adapun Mang Endang sendiri, adalah seorang cendikiawan HMI lulusan McGill University, Kanada, yang menulis tesis yang sangat monumental tentang relasi Islam dan Konstitusi Negara Indonesia.

BACA JUGA :  “Mazhab” RISKA

Nakh, seorang Ferry, dalam persepsi saya, adalah seorang kader HMI tulen, yang besar diantara senior-senior yang memiliki perjalanan kejuangan dan pikiran intelektualnya, dalam merajut keindonesiaan sebagai sebuah nation state. Untuk memahami sosok Ferry, memang harus dilihat dimana ia menjadi aktivis HMI dan atmosfir keintelektualannya yang melingkupinya.

Selain itu, di luar ber-HMI, saya juga tahu Ferry telah menjadi seorang staff dan periset pada LP3ES, sebuah NGO awal Indonesia yang sangat giat dalam melakukan riset sosial ekonomi di Indonesia yang didirikan sejak 1971. Nyaris semua aktivis era 1980-an, seangkatan Ferry dan saya, pastilah banyak bersentuhan dengan setiap terbitan Majalah Prisma, milik LP3ES.

Karena setiap isyu utamanya selalu menjadi rujukan bagi kami dalam kajian-kajian lepas di HMI dan dunia kemahasiswaan lainnya. Saya baru tahu kemudian, dalam takziyah, bahwa Ferry direkrut masuk ke LP3ES, oleh abangnya Fachry Ali,PhD. Bang Fachry memang adalah seorang aktivis HMI Ciputat, sekaligus cendikiawan muda yang luar biasa sangat produktif pada LP3ES.

Dengan background seperti itulah, dalam sosok ke-HMI-an seorang Ferry, tumbuh bukan saja menjadi politisi, bahkan ia adalah negarawan muda dimata saya. Terutama ketika ia turut terlibat memberikan kontribusi dalam perdamaian Aceh, hingga jejak-jejak kepiawaiannya dalam menghadirkan wilayah-wilayah DOB baru di Indonesia, yang salah satu adalah Maluku Utara.

Dengan demikian, sosok seorang Ferry tak lagi sebatas Aceh, sebagaimana yang selama ini sering didengungkan orang banyak. Tulisan kecil ini, adalah catatan kesaksian dari seorang sahabat dekat, yang turut menyaksikan kiprah sosok Ferry sebagai politisi negarawan.

Dengan seiring begulirnya reformasi pada tahun 1998, Provinsi Maluku pun bergiat untuk dimekarkan. Sebagai salah satu dari 8 (delapan) provinsi awal kemerdekaan Indonesia, Provinsi Maluku adalah satu-satunya provinsi yang belum pernah dimekarkan wilayahnya sama sekali sejak awal kemerdekaan Indonesia. Adapun Maluku Utara sendiri, sebenarnya telah bergiat memperjuangkan wilayahnya untuk menjadi provinsi sendiri, terhitung sejak tahun 1957. Hingga pada tanggal 27 Oktober 1998, Kabupaten Maluku Utara, menggagas kembali pembentukan Provinsi Maluku Utara, sebagai pemekaran dari Provinsi Maluku induk yang beribukota di Ambon.

Dari Ternate, saya pun mulai intens mengontak Ferry di Jakarta, setelah memperoleh nomor kontak Ferry via Mas Awod Said. Pada Oktober 1999 Provinsi Maluku Utara pun akhirnya disetujui Presiden B.J. Habibie, setelah dibahas di DPR-RI. Apakah Maluku Utara telah selesai disitu? Ternyata belum. Karena kami di Maluku Utara masih harus membentuk dan memekarkan wilayah-wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi baru ini.

Nakh, disinilah peran Ferry sangat signifikan, dalam meloloskan perjuangan pembentukan wilayah-wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara tersebut.

BACA JUGA :  Berita Duka, Wartawan Senior Salim Said Meninggal Dunia

Saya menyaksikan melalui tangan dinginnya Ferry, cita-cita lama masyarakat Maluku Utara dapat terwujud. Kebetulan saya sempat hadir, mewakili tim daerah, sambil membawa banyak database, data potensi wilayah, bahkan pernah menyiapkan draft UU Pembentukan Provinsi Maluku Utara (1998). Karena selalu saja diundang Ferry untuk mengikuti pembahasan pada Sub-Tim Komisi II DPR-RI tentang Pembentukan Wilayah Daerah Otonomi Baru (DOB) yang ia pimpin.

Ferry mengundang hampir semua tim dari daerah-daerah seindonesia yang sementara mengajukan pemekaran wilayah DOB, untuk hadir dan terlibat dalam setiap pembahasan. Ia memimpin pembahasan tersebut, yang kadang berjalan alot dan tegang, namun sangatlah cermat. Dapat kita maklumi, karena Pemerintah Pusat sendiri, tidak serta merta mau menyetujui pengusulan DOB yang diusulkan oleh daerah. Halmana menyangkut daya dukung keuangan negara, selain kemampuan dan kemandirian DOB yang akan dibentuk nanti, termasuk aspek span of control dan carrying capacity birokrasi lokal. Soal pelik lain adalah penetapan posisi ibukota DOB misalnya.

Dengan kecermatan seorang Ferry, dalam pembahasan, tidak terlihat bahwa ia begitu saja menyetujui pemekaran sebuah wilayah hanya sekedar karena dorongan euforia politik elite lokal semata-mata. Pembahasan kadang berlangsung panas, namun saja Ferry memiliki daya pikat tersendiri dimata saya, ia dengan senyumnya yang khas dan argumentasi yang cool, nyaris membuat forum tak lagi gaduh. Saya bahkan belum pernah melihat Ferry marah.

Alhamdulillah, usulan kami delegasi dari Maluku Utara, yang dilibatkan Ferry dalam setiap pembahasan pada Sub-Tim Komisi II DPR-RI yang ia pimpin, selalu berlangsung mulus. Karena dukungan database dan persyaratan yang relatif telah terpenuhi. Itulah mengapa ketika Ferry berkunjung ke Ternate, saya mengundang timnya dan menggelar forum khusus untuk berdialog di DPRD Provinsi Maluku Utara. Dan kami berdua berbagi buku disitu, ia memberikan bukunya tentang Aceh, saya memberikan buku saya tentang Maluku Utara.

Beberapa waktu silam, saya dan beberapa senior HMI Cabang Manado, kumpul sambil olah raga di GBK Senayan. Ada senior-senior seperti Bang Ade Adam, Bang Sophian Mile, Dr. Abeng Elong dkk, sambil lesehan menggelar tikar, kami pun mencicipi nasi kuning Manado dan segerombolan kue khas Manado, sebuat saja panada, lalampa dan lapis bandera, yang disiapkan Sarinandhe Djibran dan Sri Bowta Cs.

Kamipun berdiskusi lepas tentang HMI Manado. Tak disangka-sangka Ferry yang kebetulan ada di GBK, pun datang dan langsung melibatkan diri. Ia ikutan lesehan dan mencicipi nasi kuning khas Manado.  Ferry pun saya tanya gimana cara HMI Bandung secepat itu membangun Graha Insan Cita, Sekretariat HMI Cabang Bandung yang sedemikian megah di Jalan Sabang 17 Bandung. Dengan senyum khasnya, Ferry menjelaskan bagaimana ia mengontak via telpon kepada teman-teman eks Kelompok Cipayung, untuk memberikan bantuan mendirikan Sekretariat HMI Bandung tersebut.

Ia menyebut beberapa nama bahkan Senior PMKRI, dan organisasi diluar HMI dll, untuk ikut menyumbang. Mereka bahkan ada yang mengirim bantuan semen bahkan dana cash. Tentu saja semua itu terjadi, karena trust mereka terhadap sosok Ferry sangatlah tinggi. Selepas dari lesehan alumni HMI Manado, Ferry masih mengajak saya dan beberapa senior Manado, untuk lanjut ngopi tubruk di kafe di Komplek GBK tersebut dimana ada Bang Tigor juga saat itu. Nakh, modal personality seorang Ferry inilah yang dimata saya sangat luar biasa.

BACA JUGA :  Lieus Sungkharisma Tutup Usia, Geisz Chalifah Sampaikan Kesan

Hari itu, saya pun sempat kaget bahwa Sekretariat HMI Bandung, mendapat dukungan sedemikian meluas, tak terbatas pada keluarga besar HMI dan KAHMI belaka. Dan itu semua terjadi karena sosok Ferry. Dalam konteks ini, Ferry pada hakikatnya bukan lagi miliki kelompok, sebut saja HMI misalnya. Ia bukan lagi miliki Aceh, tanah asal leluhurnya, walaupun Ferry sendiri kelahiran Jakarta pada 16 Juni 1961.
Karena jejak-jejak langkahnya, telah melintasi limitasi wilayah bahkan kelompok.

Saya tak bisa membayangkan, seandainya Provinsi Maluku Utara, tak di back up Ferry dalam pembahasan-pembahasan wilayah pemekaran Kabupaten/Kotanya. Buktinya, ketika Ferry tak lagi di Senayan sana, banyak pengusulan DOB dari daerah-daerah se Indonesia, masih dimoratorium hingga kini. Hanyalah wilayah Papua yang memiliki pertimbangan khusus, hingga dapat membentuk 3 Provinsi baru sekarang.

Saat masih menjabat sebagai Menteri Negara, Ferry masih menyempatkan hadir di Bandara Cengkareng, ketika Lion Air memberikan fasilitas tumpangan bagi delegasi Kongres HMI. Hadir juga Bang Akbar Tandjung saat itu. Delegasi Kongres HMI dari seluruh Indonesia mendapat fasilitas gratis dari Lion Air atas upaya Suhendro Boroma, pegiat pers Harian Manado Post dan aktivis HMI Cabang Manado yang tengah memegang pucuk pimpinan Jawa Post Grop saat itu.

Hendro lah yang melobby Dirut dan CEO Maskapai Lion Air, Pak Edward Sirait. Bang Akbar Tandjung, Ferry, Edward Sirait, Suhendro dan saya, ikut hadir saat pencanangan perdana kerja sama Lion Air dan HMI tersebut di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng Banten. Ferry, sang menteri hadir tanpa protokoler formal selayaknya seorang pejabat negara. Saya melihat bagaimana para crew dan pramugari Lion Air rame-rame berebutan mengajak berfoto bersama. Dan Ferry dengan senyum dan low profile, menghampiri mereka untuk berfoto bersama.

Ferry juga tercatat paling lantang berbicara tentang penguasaan tanah bagi warga negara wong cilik, yang selama ini seakan terbelenggu dengan birokrasi panjang untuk memperoleh legitimasi negara atas kepemilikan lahan mereka. Ferry walau relatif singkat dalam menjabat posisinya sebagai Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang Indonesia (27 Oktober 2015-27 Juli 2016), namun ia mencatat keberhasilan, bahkan sedikit nekat memangkas prosedur panjang selama ini.

Dan kita semua terkejut, terpana. Tiba-tiba saja pada 2 Desember 2022, mendapat kabar bahwa Ferry telah berpulang. Indonesia kehilangan sosok seorang negarawan muda. Ferry seakan meninggalkan kita, disaat Indonesia tengah bergelut dengan banyak isyu yang seakan mendegradasi kasadaran kolektif kita tentang soliditas nation state.

Kita rindu kehadiran sosok negarawan seorang Ferry, yang cool dalam beragumentasi, dengan hiasan senyumnya yang khas, ketika membahas sepelik apapun isyu-isyu panas politik sekarang ini.

Walau saja Ferry telah meninggalkan kita, namun legacy yang telah diwariskannya, selalu menjadi inspirasi faktual bagi kita dan generasi selanjutnya, bahwa berpolitik, tak selalu harus dengan kening berkerut.

Semoga jannah tempatmu, sahabatku.

Ternate, 20 Desember 2022.

Komentar