PIALA Dunia Qatar menghipnotis publik. Ada serba pertama dan serba kejutan. Qatar negara Arab pertama yang menggelar FIFA World Cup. Maroko negara Afrika pertama yang tembus semifinal. Megabintang Lionel Messi merngangkat tropi pertama dalam empat kali kesertaannya di Piala Dunia.
Tak hanya itu, kejutan juga mewarnai pesta bolasepak terbesar sejagad ini. Jerman kembali mengulang sejarah buruk secara beruntun. Piala Dunia 2018 tersingkir di fase grup oleh tim Asia Korea Selatan. Di Qatar ini, Jerman lagi-lagi tersingkir oleh tim Asia lainnya Jepang.
Tim favorit dan juara Euro 2020 Italia malah gagal ke Qatar. Belanda yang ingin revans dengan Tim Tango Argentina kembali keok di tangan Messi dkk. Namun Messi dkk kalah 1-2 dari Arab Saudi di laga pertama grup.
Di luar rumput hijau, Qatar jelas menolak budaya LGBT masuk. Suporter dengan simbol-simbol pelanginya tidak ada tempat di negara Islam nan kaya raya itu. Banyak yang protes.
Lantas teringat Ustad Abdul Somad di saat ditolak masuk Singapura. Sebagian yang anti UAS membela Singapura. Mereka mengatakan UAS harus menghargai aturan dalam negeri Singapura. Ketika LGBT dilarang masuk Qatar, mereka teriak. Namun menolak alasan kebijakan dalam negeri Qatar. Standard ganda.
Saya mengikuti lanjutan babak knock out di Rumbia Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Ada perayaan hari ulang tahun ke-19 Kabupaten Bombana. Dua hiiburan disajikan Pj Bupati Bombana Ir H Burhanuddin MSi untuk masyarakat. Yaitu panggung musik dan pesta kembang api terbesar di Sultra. Juga ada nonton bareng Piala Dunia.
Euforia Piala Dunia terasa sekali di sini. Tim unggulan mereka banyak yang runtuh. Mereka tidak sedih karena ada kuda hitam dan pembuat kejutan: Maroko.
Maroko fenomenal sekali. Ada nuansa spirit ideologis ketika menyaksikan pemain Maroko membacakan ayat Quran. Ketika beberapa bintangnya naik ke tribun penonton memeluk ibundanya. Humanis sekali.
Humanism itu membawa spirit dukungan ke Maroko. Apalagi di saat-saat usai menang, saat selebrasi, membentangkan bendera Palestina. Palestina sampai saat ini dijajah Israel, dan belum merdeka-merdeka juga. Sangat jelas pesan-pesan solidaritas itu dari Maroko.
Mantan negara jajahan Prancis itu melibas Spanyol di babak 16 besar. Spanyol adalah negara yang pernah menyandingkan Piala Dunia dan Euro.
Kiper Maroko Yassine Bounou menjadi pahlawan dengan menyingkirkan Matador Spanyol melalui adu penalti. Kini harga penjaga gawang Sevilla — salah satu tim di La Liga Spanyol— itu naik dua kali lipat.
Sampai semifinal, Bounou baru sekali kebobolan. Itu pun karena gol bunuh diri. Gesturnya meliuk-liuk tanpa bisa dibaca penandang-penendang penalti Spanyol.
Di delapan besar, Portugal seperti menganggap enteng Maroko. Itu dibuktikan tidak menurunkan megabintangnya Ronaldo. Di perempat final ini pun, Bounou tidak kebobolan. Maroko menang 1-0 dan masuk semifinal.
Spirit ideologis dunia Islam memuncak. Ulasan mengenai fenomena Maroko menghiasi ranah publik. Afrika dan belahan dunia Islam mengelu-elukan Maroko. Kostum Maroko laris manis. Jersey merah hijau lumut mendominasi stadion saat lawan Prancis di semifinal.
Melawan Prancis seperti kembali le masa lalu kedua negara. Cukup kelam. Apalagi Prancis dibantu Spanyol mencamplok wilayah Maroko. Sebagian wilayah diambil Prancis dan sebagian lagi diambil Spanyol.
Prancis menguasai Maroko melalui perjanjian Traktat Fez pada 30 Maret 1912. Dalam perjanjian itu, Sultan Abdelhafid harus menyerahkan kedaulatan Maroko kepada Prancis, menjadikannya protektorat dan menyelesaikan krisis Agadir pada 1 Juli 1911.
Namun perjanjian itu dianggap sebagai penghianatan oleh kaum nasionalis Maroko yang menyebabkan Perang Rif atau perang Maroko kedua meletus.
Tentara Rif awalnya berhasil mengalahkan tentara Spanyol dengan memanfaatkan taktik gerilya dan merebut senjata-senjata Spanyol. Namun, keterlibatan Prancis membantu Spanyol membuat tentara Rif menyerah.
Prancis kemudian menyerahkan wilayah selatan atau Sahara Maroko kepada Spanyol. Sementara Prancis menguasai wilayah utara Maroko dari tahun 1912 dan menghentikan kekuasaannya pada tahun 1956.
Samifinal Piala Dunia 2022, Maroko kembali menabuh genderang perang melawan Prancis. The Blues ketar-ketir. Ada spirit sejarah perang di dalamnya. Pasukan Ronaldo dan Alvaro Morata sudah ditaklukkan.
Pertahanan Singa Attlas bobol. Rekor clean sheet Yassine Bounou terhenti. Sepakbola sulit diprediksi. Sangat sulit tim-tim kejutan menjadi juara baru. Juara baru terakhir diambil Spanyol.
Setelahnya, tidak ada lagi juara baru. Sepanjang sejarah, negara-negara juara hanya berputar-putar. Bergantian Brasil, Italia, Jerman, Prancis, dan kini kembali ke Argentina menyusul tropi yang diraihnya pada 1978 dan 1986.
Saya fanatisme Jerman. Ketika harus memilih dukungan, apakah ke Argentina atau Prancis di final, saya memilih Tim Tango. Alasannya biar fairness. Sepakbola juga butuh welas kasih, butuh keadilan, pemerataan.
Apa tidak kasian Argentina, enam kali masuk final hanya dua kali juara. Apa tidak kasian Messi empat kali ikut Piala Dunia belum sekali pun mengangkat tropi juara. Karirnya juga sudah di ujung senja.
Prancis? Sudahlah, tidak usah rakus. Toh Piala Dunia 2018 sudah diraihnya. Tampilkan saja sepakbola indah, biar penonton bersorak. Kalah tanpa malu, menang tanpa membusung dada.
Di partai final, memang tersaji sepabola menyerang, kreatif, variasi serangan yang apik, dan efektivitas permainan benar-benar luar biasa. Enam gol di waktu normal dan extratime membuktikan efektivitas serangan keduanya.
Sangat jauh beda partai final 1990 di saat Jerman mengalahkan Argentina 1-0. Gol yang tercipta pun hanya lewat titik penalti dari Andreas Brehme. Padahal di sana ada bintang Maradona, ada Jorge Burruchaga, Lothar Mattheaus, Jurgen Klinsman, dan Rudi Voller. Laga final yang membosankan.
Sepakbola menyerang dimulai pasca laga membosankan itu. Miskin gol alasannya. Jika ingin menciptakan gol, bolehlah pakai Tangan Tuhan. Di sana tidak ada lagi sepakbola indah. Kritik begitu tajam setelahnya.
Kini, sepakbola pragmatisme jadi cemohan. Jika anda bertahan, parkir bus, atau memakai pertahanan grendel, maka ejekan akan datang bertubi-tubi. Industri sepakbola merugi. Tidak ada seni, kecuali selebrasi kemenangan saja.
Laga final Argentina kontra Prancis menujukkan sebaliknya. Sepakbola menyerang menemukan jati dirinya. Ada drama, ada etos, bahkan epos perjuangan.
Kylian Mbappe menunjukkan kelasnya. Messi menunjukkan talenta dan intelektualitasnya. Angel di Maria tampil bak diirigen mengorkestrasi tim. Antoine Griezman dengan kematangannya. Tandem Messi, Julian Alvarez, maju dengan dribel daya dobraknya.
Ketika skor harus kejar-kejaran, ketika 6 gol tercipta dengan indahnya, maka itulah sepakbola menyerang. Maka tatkala dicari siapa pemenang Argentina vs Prancis, maka pemenang sesungguhnya adalah sepakbola itu sendiiri.
Komentar