Oleh: Sayid M. Iqbal
SAYA sebaya dengan Ferry Mursyidan Baldan. Ia lahir 5 hari lebih awal dari saya, 16 Juni 1961. Nama Ferry diambil dari nama Ferry Sonneville, kapten Tim Indonesia, yang memastikan kemenangan Tim Thomas Cup Indonesia di bulan Juni 1961.
Pak Haji Baldan (T. Baldan Nyak Oepin Arif) dan Ibunda Syarifah Fatimah Al Idrus adalah perantau dari Aceh Selatan. Orang Aceh berbahasa Jamee yang banyak kosa katanya berasal dari bahasa Minang. Tapi biasanya mereka tetap lancar berbahasa Aceh yang umum.
Mereka menetap di Slipi seperti juga banyak keluarga asal Aceh. Keluarga perantau asal Aceh, cukup kompak.
Secara rutin ada pengajian yang digilir dari rumah ke rumah. Dan pengajian dilakukan dengan membaca kitab Dalail Khairat bersama-sama bernada dan berirama khas Aceh. Buat anak-anak, yang ditunggu adalah acara makan dengan kue-kue khas Aceh.
Sekalipun punya tradisi yang sepertinya NU itu, hampir seluruh orang Aceh adalah motor dan pengurus masjid Al Muhajirin yang Muhammadiyah di Slipi.
Pak Haji Baldan adalah karyawan PTT kemudian menjadi PT Telkom. Dan sejak dulu sudah memiliki telepon (yang station) pada waktu itu masih sangat jarang yang memiliki telepon.
Rumahnya adalah rumah tempat Ferry lahir, dan dibesarkan. Ferry pindah karena kuliah di Bandung sebelum kembali ke rumah tersebut sekitar tahun 1998 sampai ia meninggal dunia.
Lingkungan rumah di Anggrek Cendrawasih itu, sangat akrab dalam bertetangga, untuk ukuran kehidupan kota Jakarta. Tetangga kiri kanan sdh seperti keluarga. Sesuatu yang telah dimulai oleh Pak H. Baldan dan dilanjutkan oleh Ferry dan adik-adiknya serta keluarga besarnya.
Pak Haji Baldan yang juga pengurus Al Muhajirin, masjid Muhammadiyah itu, berinisiatif mendirikan masjid Al Abraar di dekat rumah. Mesjid Al Muhajirin yang berada di depan lapangan sepak bola Romsol Slipi, memang lumayan jauh. Sekitar 3 kilometer dari rumah Ferry.
Sejak kecil Ferry sudah kelihatan sebagai pribadi yang tenang dan santun. Tidak pernah berkonflik, dengan wajah khas yang banyak senyum. Baju seragam dikancing sampai kerah.
Ferry jadi teman favorit. Disukai terutama oleh teman-teman putri. Kalau pun ada yang mengajak berantem gara-gara main bola, biasanya Zul atau Zulkautsar Baldan, adiknya, mengambil alih urusan itu.
Di SD Slipi, Ferry Juara lomba shalat dan juara kedua lomba mengaji. Sebaliknya saya juara kedua lomba shalat dan juara lomba mengaji.
Saat saya diutus mengikuti lomba mengaji ke SD Petamburan, Ferry berinisiatif mengumpulkan kawan-kawan di lingkungannya untuk menjadi supporter. Kami beramai-ramai berjalan kaki dari Slipi ke Petamburan. Walau tidak juara, tapi kami jadi kontingen yang paling ramai dan kompak.
Sekali sekali kami menonton bola di Stadion Utama Senayan (GBK) seperti pertandingan Pre Olimpic Indonesia melawan Korea Utara. Pernah juga saat kejuaraan Soeharto Cup, ketika Persiraja Banda Aceh menenggelamkan Persipura Jayapura di Final.
Biasanya pulang berjalan kaki dari Senayan ke Slipi. Lumayan. Bis Gamadi jurusan Grogol sudah luar biasa penuh dengan penumpang bergelayut di pinggir pintu. Di ujung jalan Anggrek Cendrawasih, sudah ada es kelapa muda yang nikmat sekali. Penjualnya orang Batak yang juga berbisnis tambal ban.
Zaman itu kalau ke Stadion Utama Senayan banyak pedagang untuk jajan, yang tidak ada di tempat lainnya. Seperti gorengan tahu pong dan ubi pong. Tahu dan ubi yang digoreng sampai melendung dan kosong di tengahnya.
Ada tukang ketoprak yang satu piring bisa dimakan berdua atau bertiga, maklum porsinya cukup banyak buat anak-anak. Juga ada ketupat Betawi dengan semur tahu.
Acara itu yang biasa kami lakukan sebelum nonton bola; sungguh mengenyangkan dan menyenangkan.
Kami sama-sama bergiat di pramuka, Gugus Depan Fatahillah Al Muhajirin. Sebagai siaga ada kegiatan berkemah dan mencari jejak diikuti oleh banyak kontingen.
Sekali waktu berkemah di Lapangan Menara Air, Komplek Pajak Kemanggisan. Seorang pembina menyalakan senter di atas menara air. Ferry memegang buku dan mencatat.
Karena instruksi tidak jelas, kami menduga yang dicatat adalah warna warni dari senter yang menyala. Jadilah catatan tersebut muncul dengan imajinasi warna-warni dari senter yang sebenarnya berwarna putih ; biru, merah, hijau dstnya.
Ferry yang mencatat jadi curiga terhadap hasilnya dan mencek ke tenda sebelah. Ternyata itu kode Morse.
Yah…kita kan pramuka siaga belum belajar sampai disitu.