Oleh: Yusuf Blegur
(Alumni GNNI, Mantan Aktivis 1998)
TOPENG tak hanya untuk menutupi wajah. Topeng juga bisa dipakai menggelapkan jiwa dan raga. Etika dan moralitas menguap, terbang terusir oleh kepalsuan diri. Seluruh tubuh dan ruhnya, tenggelam oleh pesona dan kemolekan citra. Semu memang, meski terlihat indah sesaat. Tak sekedar tanpa integritas, hadirnya juga tanpa kemanusiaan yang hakiki.
Angin kebencian dan permusuhan terus menggelayuti kiprah Anies sebagai pemimpin yang terus “flowering”.
Seakan tak pernah surut dari gelombang dendam sosial dan politik. Anies bersahaja dan bergeming melewati badai isu, intrik dan fitnah yang ingin membunuh karakter kepemimpinannya.
Prestasinya diabaikan, penghargannya tak dinilai, begitulah upaya menjegal Anies dibawa sampai ke kedengkian hati oleh lawan-lawan politiknya. Amarah dan dengan disertai oleh perilaku jahat yang kuat korelasinya dengan kekuasaan, tak pernah sepi dari perjalanan karir Anies. Asal bukan Anies dan kalau perlu Anies harus disingkirkan dari dinamika politik, terutama dalam menghadapi pesta demokrasi dalam pilpres 2024.
Namun sayang sungguh sayang, upaya setengah mati dari konspirasi menyingkirkan Anies tak pernah berbuah manis. Selalu kegagalan dan jalan buntu menjungkalkan Anies yang dijumpai lawan politik, para pelaku tabiat buruk manusia yang berkolaborasi dengan setan. Menjadi budak kapitalis dan kacung komunis, gerombolan lingkaran dan sub koordinat rezim itu dengan segala cara ingin menjatuhkan Anies. Sebuah hawa nafsu jahat berbentuk sistem dengan sekumpulan orang, yang tidak ingin Anies tampil sebagai pemimpin yang mencerahkan bagi rakyat, negara dan bangsa serta agama.
Kenapa upaya membegal Anies dengan pelbagai cara keji dan berbiaya mahal itu tak kunjung berhasil. Jawabannya sederhana, selain didukung rakyat, Anies selalu tampil apa adanya. Dengan kesederhanaan, ketulusan dan kejujuran dalam bertugas mengemban amanat rakyat. Tentu saja dengan kerja keras dan kerja cerdas, yang dibekali qua intelektual dan qua ideologi. Sikap rendah hati, terbuka dan egaliter juga menjadi penguat behavior cerdas dan santun yang dimiliki Anies. Kenyataan-kenyataan itu yang tak terbantahkan dan tak bisa dimanipulasi, oleh anasir kekuatan apapun yang tak ingin perubahan Indonesia yang lebih baik dibawah kepemimpinan Anies.
Dengan tidak mengecilkan dan “under estimate”, kebanyakan sosok pemimpin lain yang ikut memeriahkan kontestasi capres. Memang tak bisa ditutup-tutupi dan tidak bisa disembunyikan, para politisi dan pejabat kompetitor Anies, kebanyakan sudah tersandera bahkan hampir semuanya terbelenggu dalam dosa politik dan catatan hitam sejarah. Ada yang terlibat skandal korupsi E-KTP, kasus Semen Mendem, tragedi Wadas hingga kejahatan terhadap perusakan lingkungan dan komunitas. Mirisnya lagi, capres-capres mentereng dan penuh gaya itu, juga sering terlibat dalam pembajakan kostitusi, hingga berhubungan gelap dengan korporasi hitam dan mafia, serta pelbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. Betapapun populer dan eksentriknya bertingkah, capres-capres yang sangat bergantung pada oligarki itu, sudah menjadi kartu mati di mata rakyat. Betapapun uang berlimpah dan fasilitas menggiurkan miliknya berupaya membeli demokrasi.
Mengapa hal itu terjadi dan mengemuka menelanjangi pemimpin yang cenderung disebut boneka atau wayang kekuasaan. Penilaiannya juga tidak terlalu rumit, mereka itu pemimpin palsu, pemimpin yang lahir dari demokrasi kapitalistik dan transaksional. Mereka yang membeli jabatan dengan uangnya, kemudian menghisap kekayaaan negara sebesar-besarnya dengan menggunakan kekuasaannya. Uang yang membeli dan membangun pencitraan yang sesungguhnya bertolak-belakang dengan realitas dirinya. Harta dan kewenangannya mungkin bisa menjadi bengkel yang dapat memperbaiki rupanya, tapi tak akan mampu mengobati dan menyembuhkan penyakit pikiran dan hatinya. Tetap menjadi virus berbahaya bagi demokrasi yang sehat, karena orientasi jahat dan distorsi kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bagus kemasannya sangat buruk isinya, begitulah karakter beberapa capres yang tidak ada dalam figur Anies.
Sekali lagi, isi lebih penting dan utama daripada kemasannya. Isi akan menemukan bentuknya, sebaliknya kemasan yang akan mencari bentuknya. Tak ada kemasan tanpa isinya. Tak sekedar baik di luar, namun bobrok di dalamnya. Menjual sesuatu yang menarik dan menggoda, namun sejatinya penuh kepalsuan. Berbeda dengan figur Anies yang asli dan genuin, figurnya merupakan fakta bukan citra.
Kepribadian Anies yang otentik, yang memiliki karakter dan integritas, jauh dari pencitraan. Ya, bukan pencitraan yang selama ini bertebaran dalam wujud banyak pemimpin penuh janji dan segudang kebohongan. Keji pula.
Bekasi Kota Patriot, 31 Oktober 2022/5 Rabi’ul akhir 1444 H.
Komentar