JADI tak jadi, resmi tak resmi, Ibu Kota Negara pindah ke luar Jakarta, saya senantiasa meyakini Jakarta akan harus terus berkembang sebagai kota raya.
Saya membayangkan, perkembangan Jakarta, tak hanya sebagai mega city, melainkan simpul megapolitan, yang akan menghubungkan berbagai kota metropolitan — termasuk metropolitan baru — yang akan terus bertumbuh. Khasnya di Jawa.
Jalur lintas Jawa atau Trans Java membongkar pandangan saya untuk tidak hanya melihat perkembangan kota ini, tak hanya selingkup wilayah inti dengan buffer zone dan hinterland-nya.
Terutama, karena wilayah bufferzone akan juga terus tumbuh dan berkembang. Tangerang akan berkembang menjadi metropolitan Tangerang Raya. Depok, Bogor, Sukabumi, dan Cianjur – termasuk Puncak dan Pelabuhan Ratu boleh jadi akan bertumbuh menjadi Bogor Raya.
Pun, begitu halnya dengan Bekasi, Karawang dan Purwakarta, akan menjadi metropolitan sendiri, entah apa istilahnya kemudian. Bekarta Raya, mungkin. Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, pun saya bayangkan, akan berkembang menjadi metropolitan baru Cirebon Raya.
Jakarta sebagai kota raya akan terhubung dengan metropolitan baru tersebut, selain terhubung dengan Bandung Raya, Semarang, Yogya, Surabaya, Palembang, Medan, dan Surabaya.
Jakarta sebagai kota raya global, juga dengan sendirinya akan terhubung dengan berbagai kota global di dunia lainnya, seperti Singapura, Tokyo, Osaka, Bejing, Sidney, Melbourne, Paris, Berlin, London, Amsterdam, Istanbul, New York, Los Angeles, Vancouver, Ottawa, Montreal, Hongkong, Seoul, Sao Paulo, bahkan Medellin.
Dari proses pembangunan lima tahun terakhir (2017-2022) di bawah kepemimpinan Anies Rasyid Baswedan, perkembangan Jakarta disiapkan sebagai wilayah kota polisentris berbasis kolaborasi dengan sistem smart city yang mengintegrasikan transportasi publik.
Kota Raya Polisentrik
Gagasan dan aksi kepemimpinan Anies membangun Jakarta merupakan suatu lompatan yang melampaui pemikiran para pemimpin kota ini sebelumnya, yang bernaung dalam status sebagai ibu kota negara.
Anies keluar dari frame zona nyaman semacam itu, dan memusatkan perhatian pada pembangunan Jakarta sebagai suatu sentra pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, sosial, dan budaya.
Kota sehat, cerdas, dan mampu secara ekonomi yang berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya, sekaligus manusiawi. Dia berfikir, bersikap, dan bertindak yang mempu berinteraksi dengan tantangan Abad XXI. Khasnya, ketika kota raya Jakarta menjadi salah satu hub strategis dalam perubahan orientasi geo ekonomi dan geo politik yang berubah dari poros Amerika – Eropa ke Asia Pasifik.
Lompatan pemikiran, sikap dan tindakannya ini terespon baik oleh para staf di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, tetapi melampaui wawasan mitra kerjanya di legislatif. Dalam banyak hal, pemikiran, sikap, dan aksinya ‘terkurung’ di dalam batas-batas kewenangan sebagai pemerintah provinsi, karena kekhususan yang dimiliki Jakarta belum lagi jelas.
Meminjam pandangan Allen Scott dari Universitas California, penulis Global City Region, orientasi pemikiran, sikap, dan tindakan Anies tentang wilayah kota polisentris yang besar, menimbulkan masalah yang membingungkan bagi para pembuat kebijakan di tingkat pusat. Tak hanya dalam konteks sistem ekonomi yang kompleks dan tata ruang, melainkan tentang fungsi kota raya Jakarta yang berfungsi sebagai jangkar lokasi utama dari proses globalisasi yang lebih luas. Suatu fenomena kota yang oleh Scott disebut sebagai kota raya polisentrik berjejaring.
Belum lagi pemahaman tentang eksistensi Jakarta terkait dengan proliferasi blok multi-negara, seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN dan APEC (Asia Pacific Economic Cooperation). Demikian juga halnya dengan model kebijakan publik yang dihampiri dengan pendekatan inward dan outward looking.
Kebijakan-kebijakan jalan tengah yang ditempuh Anies berorientasi pada universe prosperity berbasis keadilan (khasnya ekuitas dan ekualitas warga kota), sebagai alternatif ketika kapitalisme global dan sosialisme mondial terbukti rapuh ketika menghadapi pandemi Covid 19 dengan beragam dampak krisis yang menyertainya.
Memimpin kota raya berskala kota global, tak lagi bisa bertumpu hanya dengan birokrasi dan sistem administrasi klasik yang mengacu pada penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pemberdayaan masyarakat secara reguler. Diperlukan visioneering dengan focal concern yang jelas, seperti keadilan, kesejahteraan, kenyamanan, dan kebahagiaan kolektif.
Dari perspektif ini, pemimpin kota tak boleh berhenti mengembangkan inisiatif-inisiatif, kreativitas, inovasi, dan invensi dalam mengubah paradigma dan orientasi tata kelola (governansi). Antara lain melalui kebijakan-kebijakan yang belum dikenal sebelumnya, seperti public service obligation di bidang pangan dan transportasi, juga budaya.
Termasuk berfikir ulang tentang kebijakan fiskal yang selama kota ini dinyatakan sebagai ibukota, selalu dikaitkan dengan pendapatan asli daerah berbasis pajak dan retribusi tak berkeadilan.
Juga pemikiran ulang tentang fungsi dan orientasi badan usaha milik pemerintah (daerah). Muaranya adalah kedaulatan kora raya sebagai daerah otonomi yang luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Bukan sekadar sebagai elemen dari ekonomi daerah dan nasional. Itu sebabnya, berbagai program seperti Jakpreneur, amat terlambat dipahami. Apalagi ketika politik praktis yang berlangsung sangat pragmatis dan hanya berurusan dengan kekuasaan, bukan pelayanan.
Perubahan Budaya
Untuk mengembangkan kota raya Jakarta pasca Anies, sepanjang pada masa transisi selama dua tahun (2022-2024) terjadi aksi kebijakan berbasis keberlanjutan dan pembaruan (continuity and changes) yang tak dibebani oleh political appointee dan political burden, kita tak perlu ragu untuk meyakini perkembangan kota raya Jakarta yang kian maju sesuai dengan zamannya.
Sepanjang pemimpin kota raya Jakarta kelak adalah mereka yang visioner dan tidak berbasis politisi, melainkan negarawan, profesional, dan berpengalaman sukses membangun daerah yang dipimpinnya, kota raya Jakarta sungguh akan menjadi kota global yang gemilang.
Kita, misalnya, punya Ridwan Kamil dan Emil Dardak, yang berpengalaman mengurusi kawasan metropolitan baru, dan piawai dalam transformasi minda dari rural dan sub urban culture ke urban culture.
Keduanya juga mempunyai imajinasi dan daya rekacita dalam konteks menempatkan kota raya Jakarta sebagai kota global yang warganya mampu melayari transhumanitas. Sekaligus punya daya menggerakkan potensi warga memasuki era Society 5.0, termasuk menggerakkan perubahan melalui digital bureaucracy dalam konteks paradigma berbasis warga.
Dari aparatur sipil negara di lingkungan Pemerintah Provinsi Jakarta, tentu tersedia banyak kader yang mampu sebagai Wakil Gubernur yang juga visioner.
Ke depan, memasuki era baru pasca 2024 – 2029, Jakarta akan menghadapi tantangan perubahan budaya yang menuntut kemampuan mempercepat transformasi modal insan (human investment). Khasnya dalam menjawab berbagai cabaran ekologis – termasuk perubahan iklim, kualitas air dan udara, pendidikan, energi, ekonomi dan bisnis (dalam upaya membalik kemiskinan), menaklukan penyakit dan menguatkan kesehatan lingkungan, mengendalikan demografi, mengembangkan gaya hidup lestari, dan merancang peradaban baru.
Tak terkecuali mengembangkan daya cipta berbasis sains dan teknologi.
Masa transisi 2022-2024 sangat menentukan bagaimana nasib Jakarta ke depan. Selama masa ini, Jakarta sebagai Kota Kolaborasi mesti sungguh dikelola secara profesional dan tanpa beban. Apalagi, beban oligarki dan relasi kuasa politik kepentingan sesaat. |
Komentar