Oleh: Nur Iswan
(Pemerhati Kebijakan Publik, Alumni School of Public Policy and Administration, Carleton University, Canada)
DALAM beberapa dekade terakhir, jika ditanya apakah masalah akut Jakarta? Pasti jawabannya adalah kemacetan. Hal ini benar sekali. Bahkan, penulis sendiri bisa memahami dan menyelaminya karena menjadi warga Jakarta sejak 1986.
Kemacetan bagai ritual bagi warga Jakarta dan sekitaran Jakarta. Meski kadang penuh keluh-kesah, toh Jakarta tetap menjadi impian penghidupan sebagian besar dari kita. Kita “terpaksa” ikhlas menerima kemacetan sebagai bagian dari kenyataan hidup yang harus kita hadapi.
Apa sesungguhnya yang menjadi sebab kemacetan ini sulit teratasi. Kita juga sejernihnya akan menilai kinerja dan upaya apa saja yang telah dilakukan Gubernur Anies Baswedan dan Pemprov DKI Jakarta. Dan apa hasilnya?
SEBAB
Kemacetan di Jakarta disebabkan oleh situasi yang kompleks dan ruwet. Karena ada kontribusi dari kekurang-tepatan pengambilan kebijakan dan ketelanjuran yang dibiarkan berpuluh-puluh tahun.
Menurut Andrinof Chaniago — pakar Kebijakan Publik yang pernah menjadi Penasehat Jokowi dan Menteri Bappenas — secara sederhana ia menyebutkan 2 (dua) hal. Yakni lemahnya kepemimpinan birokrasi di berbagai level dan tidak tepatnya dalam tata kelola anggaran.
Tetapi, jika dikupas lebih dalam, Andrinof menyebut setidaknya ada 9 (sembilan) penyebab kemacetan di Jakarta. Tapi, penulis memadatkannya menjadi 8 (delapan) saja. Ada dua poin disatukan karena saling berhubungan. Yakni terkait pembaharuan moda transportasi.
Pertama, ruas atau Jalan di Jakarta hanya 6,2 persen dari total lahan yang ada. Kedua, minimnya jembatan atau terowongan penyeberangan orang. Ketiga, pembangunan perumahan lebih banyak rumah tapak dibandingkan pemukiman vertikal (susun). Keempat, banyaknya persimpangan sebidang (kurangnya fly-over dan underpass).
Kelima, persentase tinggi urbanisasi dan pertumbuhan penduduk di daerah penyangga yang bekerja di Jakarta. Keenam, banyaknya bottle-neck seperti pintu tol. Ketujuh, belum maksimalnya moda transportasi publik. Dan kedelapan, buruknya tata ruang dan mudahnya pemberian izin Mall dan bangunan lain sebagainya.
Jika merujuk pada akar permasalahan ini, maka solusi yang harus ditempuh haruslah komprehensif.
Kenapa? Karena penanganannya memerlukan konsep maupun narasi yang jelas dan terukur. Disiplin dan komitmen tinggi dalam merealisasikannya. Juga tidak hanya menjadi tanggung jawab Gubernur dan Pemprov DKI semata. Tapi juga melibatkan para ahli, warga masyarakat dan dukungan serta kerjasama dari Pemerintah Pusat dan Pemda Kabupaten/Kota penyangga.
INTEGRASI
Ketika mengemban amanah sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan pasti menyadari problematika ini. Ia sudah pasti mencoba mengidentifikasi dan mengurai akar permasalahannya.
Secara sederhana, ia membahasakan bahwa selama ini pembangunan Jakarta terlalu berorientasi pada kendaraan (car-oriented development). Sehingga semuanya diarahkan untuk “melayani” kendaraan bermotor.
Menurut data terkini, ada sekitar 16 juta motor dan 3.5 juta mobil yang lalu-lalang di Jakarta. Bisa dibayangkan dampak kepada kemacetan yang ditimbulkan.
Akhirnya, Anies merubah paradigma itu menjadi pembangunan berorientasi pada transit (Transit-oriented Development). Artinya, masyarkat didorong untuk mempergunakan transportasi publik sebagai motor utama perpindahan atau perjalanan.
Jadi fokus utama kepemimpinan Anies mengarus-utamakan pembangunan, revitalisasi dan modernisasi transportasi publik. Tentu saja, disertai dengan kebijakan ikutannya yang terkait seperti modernisasi halte, stasiun, digitalisasi account-based ticketing (ABT), hingga pembangunan jalur pedestrian (trotoar). Menurutnya, saudara kembar dari transportasi publik adalah trotoar pejalan kaki (Jalur Pedestrian).
Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Anies membangun kerjasama dan sinergi dengan semua stakeholder. Dari Pemerintah Pusat, BUMN hingga kalangan swasta dan pengusaha angkutan semua moda. Ujungnya yang dituju adalah apa yang disebut sebagai INTEGRASI TRANSPORTASI antar moda (MRT, LRT, Bus dan Angkot). Ditopang dengan Superapps dan Jaklingko.
HASIL
Secara bertahap, pelan tapi pasti kemacetan mulai agak terurai. Warga masyarakat mulai berpindah ke transportasi publik.
Kenapa? Karena moda angkutan ini semakin nyaman dan memberikan pelayanan terbaik dan modern serta murah. Ketepatan waktu dan jarak tempuh dapat diprediksi. Karena jalurnya MRT, commuter, LRT, Bis TransJakarta dan Angkot terintegrasi. Cukup membayar kl Rp 10.000 saja.
Jika pada tahun 2017, cakupan layanan transportasi publik tercatat 42 persen maka angkanya meningkat menjadi 87 persen (2021). Data ini terkonfirmasi juga dengan jumlah penumpang pertahunnya: 144 juta (2017) atau 489,852 orang per hari menjadi dua kali lipat jumlahnya yaitu 288 juta (2020) atau lebih dari 1 juta per hari.
Ketika masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, secara otomatis jumlah kendaraan pribadi berkurang jumlahnya di jalanan. Ditambah lagi, pemberlakukan ganjil-genap.
Tak mengherankan, Data TomTom tentang peringkat kemacetan di seluruh dunia maka Kota Jakarta terus menerus mengalami penurunan signifikan.
Pada tahun 2017, Jakarta menempati peringkat ke-3 dengan level kemacetan 58 persen, 2018 (ke-7, 53 persen), dan 2019 (ke-10, 53 persen). Kemudian merosot secara signifikan pada tahun 2020 (ke-31, 36 persen) dan terakhir 2021 (ke-46, 34 persen).
Melihat data statistik seperti ini, boleh dikatakan capaian penurunannya lumayan dan layak diapresiasi. Oleh karenanya, penanganan kemacetan memang haruslah diteruskan dan berkelanjutan. Siapapun Gubernurnya wajib memiliki komitmen tinggi menangani ini. Dan Anies sudah memulainya dengan INTEGRASI. Terima kasih, Mas!
Komentar