Oleh: Ludiro Prajoko
(Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)
MEMASUKI pekan ketiga, aksi demo menolak kenaikan harga BBM terus bergemuruh di sejumlah kota. Kaum buruh dan elemen masyarakat lain, berarak memadati jalanan kota Surabaya, juga di Semarang. Aksi pasukan Ojol di depan Gedung DPR dikabarkan sempat ricuh. Mahasiswa menggelar aksi serupa di kediaman Wali Kota Solo. Tentu menarik, karena pilihan lokasi itu memberikan efek tersendiri.
Hari-hari kedepan tampaknya bakal bertambah riuh. Sekelompok massa telah memulai long march dari Puncak ke Jakarta. Akbar (Aksi Bela Rakyat) kedua yang dikomando GNPR direncakan digelar Jum’at 23 September 2022. Aksi Mahasiswa, buruh, dan elemen kritis lain bakal terus berlanjut.
Tuntutan aksi semakin mengerucut: Turunkan Jokowi. Diteriakkan lantang, menggenapi saran Dr. Mulyadi, seorang pembicara pada forum diskusi KAMI yang dipandu Hersubeno Arif: Pastikan kekuasan itu jatuh. Kalau tidak jatuh tidak ada gunanya. Berbagai pihak memang menyerukan-mendukung aksi demo ini.
Sejauh ini, belum nampak gelagat tuntutan rakyat-pendemo (pembatalan kenaikan harga BBM) direspon Pemerintah. Demokrasi di negeri ini, memang menyerupai pajangan perkakas rusak. Nyaris tak ada laku politik yang sesuai nalar demokrasi. Jangan-jangan, bangsa ini memang dirancang tidak compatible dengan demokrasi. Masuk akal bila sampai tutup tahun nanti marak, masif aksi demo.
Akankah Pemerintah, tepatnya Presiden jatuh? Di waktu lalu, aksi demo memang memicu-mengantarkan kejatuhan Presiden (Soekarno, Suharto, juga Gus Dur). Tentu saja faktor penentu kejatuhan itu terletak dalam domain dinamika elite kunci kekuasaan. TNI-AD (Soekarno), TNI-AD, elite Pemerintahan, konglomerat (Suharto), elite politik yang berujung SI MPR-pemakzulan (Gus Dur).
Jelas, peran aksi demo sangat krusial. Memacu gesekan antarelite. Khusus aksi demo yang mengantarkan kejatuhan Suharto, disertai serangkaian tindak kekerasan: penjarahan, bakar-bakaran, penembakan, …….. Tanpa kekerasan demo tak akan berhasil. Tapi itu rumus anarki, bukan demokrasi. Memang, kompromi keduanya: ultra demokrasi, sejenis adonan demokrasi dan anarki seperlunya acap kali terjadi.
Sejauh dalam koridor demokrasi dan agar aksi demo efektif mencapai tujuannya, sesuai konteks perjuangan hari ini, tampaknya perlu memberikan perhatian lebih terhadap keberadaan Parpol blok koalisi. Sesuai kaidah: Parpol sebagai prima principa demokrasi. Maka, Pemerintah (kekuasaan, policy dan kinerjanya) bermula dan dalam asuhan Parpol. Perspektif struktural-fungsional Almond tuntas menjelaskan soal itu.
Maka, sudah seharusnya Parpol (Blok Koalisi) ditempatkan sebagai sasaran tembak langsung aksi demo. Mereka memang harus bertanggungjawab atas kekacauan pengelolaan negara. Pada demo pekan lalu, terjadi aksi pencopotan paksa bendera Parpol koalisi. Sebaiknya, aksi-aksi demo selanjutnya memberikan serangan keras, gencar, dan meluas kepada Parpol Blok Koalisi. Bila masih bernalar, tentu mereka merisaukan nasib politiknya pada Pemilu mendatang.
Pemilihan lokasi aksi tampaknya juga perlu ditimbang ulang. Selama ini aksi digelar dititik-titik yang menjadi simbol kuat kekuasaan (Istana-Patung Kuda, Gedung DPR). Kesannya politik hanya urusan penguasa. Tak memberi kesan dan pesan bahwa politik juga menjadi urusan para pebisnis, kelas menengah. Tapat tidaknya kesan itu, perlu diuji dengan meluaskan titik-titik gelaran aksi, misalnya ke kawasan SCBD (menguji sensitifitas demo terhadap kaum profesional, juga aktifitas bursa). Juga di kawasan Glodok. Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan, perlu dimaklumkan agar toko-toko ditutup pada hari-hari aksi demo digelar.
Aspek psikopolitis juga perlu dipertimbangkan dalam menggelar aksi. Demo Mahasiswa (Angkatan 66) meneriakkan: Soekarno anjing Peking…. Mahmilubkan! Soekarno tukang kawin….. Mahmilubkan! Teriakan tentu tentu amat melecehkan. Pasti Bung Karno murka. Boleh jadi, seorang tokoh perempuan yang telah lansia, rentan sensitifitas terhadap serangan psikopolitis. Demo tak harus kering dari aksi humoris dengan daya tonjok psikopolitis yang kuat. Selamat berjuang Angkatan 22.
Komentar