Mengenang Edi, Membayangkan KAHMI


Catatan Bang Sèm

WAFATNYA Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE (Edi) tak hanya meninggalkan kenangan hari kemarin.

Di penghujung waktu jelang berpulang ke haribaan Allah SWT, Allahyarham mengingatkan tantangan realitas hari ini dan apa yang kudu dilakoni umat islam terdidik untuk menaklukannya.

Sekaligus melihat berbagai peluang yang terbentang dengan kesadaran sepenuhnya mengakui kelemahan sendiri, sehingga paham merumuskan kekuatan apa yang harus dibangun untuk bangkit dan berjaya.

Allahyarham yang tumbuh dan besar sebagai guru bangsa dan guru besar bagi berbagai kalangan di dunia, itu menapaki jalan kemuliaan dengan proses panjang yang tidak mudah.

Ia, salah satu ‘penempuh rimba kejumudan’ dan ‘pendaki kecendekiaan’ yang tak pernah lelah. Paling tidak, yang saya ingat, sejak aktif dan kemudian memimpin HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Cabang Ciputat pada dekade 1970-an.

Allahyarham berada dalam dinamika kecendekiaan yang mampu mengartikulasikan esensi insan cita HMI, khasnya ‘insan akademisa, insan pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.

Dialektika pemikiran dan debat keilmuannya dengan Fachry Ali, Iqbal Abdurrauf Saimima, Oscar Mansour Faqih, dan kawan-kawan – baik dalam forum diskusi maupun via media massa (Panji Masyarakat, Kompas, Merdeka, dan lain-lain) juga berbagai jurnal seperti Prisma, serta jurnal-jurnal ilmiah sangat mencerahkan.

Sosok Cendekia Tawaddu

Allahyarham dan kolega seangkatannya pada jalur pemikiran intelektualisma Islam di berbagai cabang HMI, memberikan tawaran arus baru, sekaligus memberi nilai tambah atas generasi sebelumnya.

Sebutlah dimensi ke-insancita-an yang sebelumnya menjadi pesona Deliar Noer, Harun Nasution, Nurchalish Madjid, Imaduddin Abdurrachim, Endang Saefuddin Anshari, Ismail Hassan Meutareum, Syafi’i Ma’arif, Abdullah Hehamahua, dan lainnya.

Allahyarham bagi saya, adalah sosok yang konsisten di jalurnya. Pun demikian halnya dengan Fachry Ali yang memang punya cara khas mengarungi perubahan.
Gairah insan cita sangat melekat pada dirinya yang istiqamah dan tawaddu. Ia tak terseret dalam arus besar gelombang politik praktis alumni HMI yang bersekutu dengan penguasa.

Allahyarham menjadi cermin sosok insan cita yang membuktikan dirinya eksis di kancah para akademisi dan ilmuan dunia. Bahkan dalam beberapa hal saya memandang watak Lafran Pane, khasnya adab, ada pada dirinya.

BACA JUGA :  PIDATO

Dia juga menunjukkan dimensi independensi insan cita sangat kuat melekat pada dirinya, tidak terperosok dalam jebakan fantasi. Bahkan mengembangkan imajinasi baru yang khas terkait dengan manifestasi ke-insancita-an dalam dunia nyata.
Hal tersebut terasa ketika Allahyarham menggerakkan transformasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah dengan berbagai pemikiran segar dan aktual, yang belum tergantikan hingga kini.

Alm. Prof Azymardi Azra (kedua dari kanan) bersama tokoh aktivis HMI lainnya di antaranya alm. Nurcholish Madjid dan alm. DR. Kuntowijoyo.


Makalah Terakhir

Pada makalah terakhir yang disiapkannya untuk Muktamar Sanawi ke 51 ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia) di Bangi – Selangor, Malaysia (Sabtu, 17/9/22) — yang urung disajikan secara langsung — ia mengingatkan, sudah cukup lama pemerintahan berbagai muslim di Asia Barat dan Asia Selatan memberikan perhatian khusus dan menaruh harapan pada kaum Muslim Asia Tenggara.
Fenomena ini misalnya terlihat dari kian banyak harapan yang ditumpukan kepada negara-negara Asia Tenggara—khususnya Indonesia dan Malaysia, yang memiliki penduduk Muslim terbesar di Dunia Muslim — untuk memainkan peran lebih proaktif dalam membantu berbagai masalah di dunia.

Semua termaktub dalam wacana menark ‘Suara dari Asia,’ yang ditemukannya dalam dokumen “Voices from Asia: Promoting Political Participation as an Alternative for Extremism” (2006), produk Majlis El-Hassan, Yordania, dengan Sasakawa Peace Foundation, Tokyo, Jepang.

Allahyarham, ‘Suara dari Asia’ tersebut mengemuka, khasnya terkait Indonesia dan Malaysia, karena kawasan yang disebut sebagai WANA (West Asia and North Africa, yang juga biasa disebut sebagai Timur Tengah) ditandai banyak konflik, kekerasan, ekstrimisme yang berkepanjangan.

Banyak kalangan di kawasan WANA sendiri seolah sudah putusasa dengan situasi yang tidak menguntungkan itu, dan kini menoleh ke kawasan lain, khususnya Asia Tenggara.

Kecendekiaan Allahyarham terasa, ketika ia mengingatkan, dokumen itu memandang perlunya keterlibatan aktor-aktor baru yang lebih netral, seperti pemerintah-pemerintah—dan organisasi civil society dari Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Malaysia, untuk terlibat dalam usaha menyelesaikan konflik, ekstrimisme, dan militansi di kawasan WANA.

BACA JUGA :  Din Syamsudin dan Nasib KAMI Kedepan

Indonesia dan Malaysia, menurutnya, mereka harapkan dapat memberikan perspektif lebih segar untuk penyelesaian konflik dan ekstrimisme; dan pada saat yang sama memperkuat kerjasama, reformasi, dan rekonsiliasi politik; dan sekaligus memberdayakan pluralisme dalam Islam atas dasar pengalaman negara-negara Asia Tenggara tersebut selama ini.

Isyarat Edi tentang Indonesia dan Malaysia

Dua negara di Asia Tenggara tersebut, diharapkan memberi sumbangan bagi penyelesaian berbagai masalah itu. Tetapi potensi itu belum bisa diwujudkan. Jumlah penduduk Muslim yang begitu besar belum dapat menjadi aset, tetapi sering lebih merupakan liabilities.

Alm. Prof Dr. H. Azyumardi Azra, M.Phil. CBE

Menurutnya, hal ini tidak lain, karena kebanyakan penduduk Muslim tinggal di negara-negara kerkembang; atau bahkan di negara-negara terkebelakang, yang secara ekonomi menghadapi berbagai kesulitan berat seperti kemiskinan dan pengangguran yang terus meningkat seiring meningkatnya krisis enerji dan krisis pangan dunia.

Allahyarham mengisyaratkan, penting bagi Indonesia dan Malaysia ambil peduli dalam proses konsolidasi demokrasi, politik, dan upaya membalik kemiskinan. Suatu ikhtiar sebagai bagian dari upaya sadar membangun watak kemandirian (independensi) yang mampu secara kongkret membebaskan diri dari arus besar oligarki.

Maknanya adalah kesadaran kuat dan kesungguhan untuk memainkan peran untuk menempuh jalan kebangkitan politik, ekonomi, dan budaya. Tak terkecuali, mengurangi utangnya dari negara-negara atau lembaga-lembaga keuangan Barat seperti World Bank, IMF dan sebagainya.

Mencermati pandangannya yang khas tentang berbagai hal yang nampak di depan mata kini, terutama tentang sikap mental konspiratif sebagai salah satu dampak psikologis dependensi (ketidak-mandirian). Antara lain, persekongkolan para penguasa negara-negara Muslim dengan pihak Barat (dan lainnya), misalnya saja, untuk mengembangkan ekonomi pasar yang liberal di negara-negara Muslimdengan mengorbankan potensi-potensi ekonomi dalam masyarakat Muslim sendiri.

Dampak lebih lanjut dari psikologi konspiratif ini, menurutnya, dengan segera mengalir ke dalam kehidupan politik dalam bentuk ketidakpercayaan pada rejim yang berkuasa, yang pada gilirannya mendorong berlangsungnya instabilitas politik terus menerus di banyak negara Muslim.

Apalagi, menurutnya, psikologi konspiratif lebih jauh lagi membuat kalangan Muslim — khususnya sebagian ulama, pemikir dan aktivis Muslim — terperangkap ke dalam sikap defensif, apologetik dan reaksioner; terpenjara ke dalam enclosed mind atau captive mind, mentalitas tertutup yang penuh kecurigaan dan syak wasangka.

BACA JUGA :  Mengurai Hubungan Jokowi dan Anies Baswedan

Akibatnya kalangan Muslim seperti ini lebih asyik pula dalam masalah-masalah furu’iyyah, baik dalam bidang sosial, budaya, pemikiran dan keagamaan. Buahnya adalah keterjerambaban ke dalam tindakan dan aksi- aksi yang kurang produktif dalam upaya memajukan peradaban Muslim.

Gairah Insan Cita dan Independensi
Pandangan Allahyarham Edi, mestinya menggugah kesadaran alumni HMI untuk segera mendorong KAHMI sungguh menjadi korps alumni HMI, dan tak lagi menjadi kerumunan. Bahkan tak sedikit yang menjadi bagian dari jejaring konspirasi dengan oligarki.

Pada ‘usia’ KAHMI yang masih ‘muda’ (56 tahun) sudah saatnya para alumni HMI melakukan pemikiran ulang (rethinking) melakukan perubahan konstruktif.
Mengubah bentuk dan struktur organisasinya sebagai suatu korps dengan model dan format kepemimpinan yang tak lagi macam arisan komunal.

Kepemimpinan yang hadir melalui proses kompetisi kualitatif yang tak lagi dicemari oleh gaya politik pragmatis. Apalagi teracuni oleh kebiasaan buruk politik transaksional yang merusak demokrasi.

Lebih dari itu, menjadi sangat urgen menjadi KAHMI sungguh sebagai korps, karena sebagai insan cita yang jelas kualifikasi integritasnya dan dilandasi oleh Nilai Dasar Perjuangan (NDP) sejak dalam perkaderan di HMI, menjadi manusia berwatak independen adalah suatu kemuliaan.

Musyawarah Nasional KAHMI, November 2022 mendatang, seharusnya menjadi ajang dan momentum perubahan transformatif bagi organisasi alumni HMI, ini.

Untuk itu, perlu dipilih alumni HMI dengan integritas manusia independen berkualitas pemimpin insan cita memimpin organisasi ini. Pemimpin yang mampu menjadikan KAHMI yang sebagai ajang menempa dan menggerakkan warganya di berbagai lapangan pengabdian sebagai penggerak dan bukan pengekor perubahan.

Mengenang Allahyarham Edi, sudah saatnya gairah insan cita dan sikap inedependensi menjadi raga dan jiwa KAHMI.

pergi ke Palu bawa jambangan
letakkan kembang berhati-hati
kejayaan masa lalu jadi kenangan
terus berjuang ‘tuk berjaya nanti

Komentar